[Surat Cinta #5] Dariku untuk Alfina

            Aku belajar banyak dari kehilangan, bahwa senyata apapun; tak ada kebahagiaan yang kekal. Begtiupun kisah kita—denganmu.

            Ingatkah kau malam itu, saat kita berdua tengah mencari tugas di internet, dan pada akhirnya malah nyasar ke situs Youtube? Kita menonton video klip dari lagu Reboot  milik vokaloid Hatsune Miku. Dalam video tersebut, adalah sebuah persahabatan tentang tiga orang gadis. Mereka bertiga menggunakan simbol bintang sebagai tanda persahabatan mereka. Hingga karena satu hal sepele, dua diantara mereka, bertengkar dan menyebabkan simbol bintang yang mereka kenakan terlempar. Lalu, sisa dari mereka--yang tidak bertengkar-- itu hendak mengambil simbol bintang itu, dan kemudian menyebabkannya pergi.

            Iya, pergi—atau lebih tepatnya, mati.

            Dia tertabrak truk dan akhirnya meninggal. Ingatkah kau apa yang bisa dilakukan dua sahabatnya yang lain?

            Mereka berdua menyesal. Hanya itu.

            Tidakkah kau membaca ada sebuah kemiripan dari kisah mereka dan cerita antara aku, kau, dan Bene? Ada. Kutahu kaupasti bisa melihat ada benang merah yang menjadikan dua kisah itu mirip.

            Penyesalan dan ... perpisahan.

            Aku tidak akan menyalahkan siapapun tentang kisah yang entah layak disebut apa ini hingga tiba-tiba berakhir. Atau, katakan saja bahwa itu semua terenggut oleh Sang Takdir. Aku tak tahu apakah kau menyebutku sahabatmu, atau hanya temanmu, atau mungkin sekadar orang yang tiba-tiba datang ke dalam kehidupanmu, menghancurkan kebahagiaanmu, dan layak kautinggalkan.

            Aku tidak tahu kau menganggapku apa tapi yang jelas aku menganggapmu sahabatku. Iya, kau tak salah dengar. Kau adalah sahabatku. Orang yang namanya kutulis istimewa di dalam hatiku. Orang yang kuanggap bisa jadi tempatku berbagi kasih selain dengan orang tuaku. Orang yang ingin kuajak bahagia bersamaku.

            Orang itu kau.

            Tapi, siapa sangka bahwa Tuhan dapat membolak-balikan takdir kita hanya dalam sekali detik berpindah tempat? Siapa sangka Tuhan ternyata mengakhiri, sebuah kisah yang kupikir bisa berjalan lebih lama lagi? Siapa sangka bahwa hal seindah ini, harus hancur secepat ini?

            Aku pikir, jika semua perasaanku kutumpahruahkan semua di sini, tulisan ini tak akan jadi surat cinta lagi. Melainkan essai berlembar-lembar seperti essai tentang perang dunia. Tenang saja, aku tak akan menyulitkanmu dengan harus membaca kisah semacam itu, meski aku sedikit ragu akankah kausudi mampir ke blogku dan membaca kisah ini. Tapi, tidak salah, ‘kan, aku berharap banyak?

            Biarkan aku mulai dari sini. Aku merindukanmu, Pin, dan aku tak lagi paham harus mengatakannya dengan cara apa dan bagaimana menyampaikannya. Kau tentu tahu bahwa semua kini tak lagi sama, dan hal itu memaksaku untuk terus menahan rasa, dan terus bersikap munafik dengan menunjukan diri bahwa aku sangat membencimu. Asal kau tahu, kenyataan tidak semudah itu. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya membenci orang yang bagiku sangat berarti.

            Aku tak tahu bagaimana caranya membencimu.

            Aku tak tahu perasaan ini disebut apa, tapi ketika hari-hariku tak lagi diisi olehmu, dan aku harus membiasakan diri hidup tanpamu, aku merasa begitu kosong. Ada sesuatu dalam hatiku yang tiba-tiba terenggut, dan akhirnya menciptakan lubang besar menganga di hatiku. 

            Sungguh, ini seharusnya menjadi surat cinta pendek kurang dari lima ratus kata, tapi mengapa malah jadi sepanjang ini?

            Jadi, apa kau mulai tahu bagaimana rasanya berpura-pura saling membenci? Atau—eh, memangnya aku yakin bahwa kau tidak benar-benar membenciku?

            Aku tak sengaja melihat beberapa foto kenangan kita di galeri ponselku, dan air mata bodoh-sialan ini tiba-tiba mengalir. Kau mau bilang bahwa ini drama? Silakan. Aku bahkan belum pernah merasa sebaik ini dalam berakting. Lagipula, harusnya kauingat bahwa aku selalu lemah dalam adegan menangis. Aku tak bisa berpura-pura untuk melakukan yang satu itu.

            Sekarang, saat semua sudah berubah lebih dar 360o, aku—dan seharusnya Bene juga—tak tahu harus mengembalikan segalanya atau cukup menerima bahwa semua tak lagi sama. Aku belum memutuskannya. Karena bahkan aku baru tahu bahwa kehilangan kamu rasanya sesakit itu.

            Sakit, sakit sekali. Lebih parah daripada kehilangan pria yang selama ini sering membuatku meraung di tulsianku yang sebelumnya. Jauh lebih pedih dari pada itu.

            Oke, kau bisa cek sendiri bahwa ternyata surat ini lebih dari tujuh ratus kata. Kita sudah sampai di paragraf penghujung dan ini saatnya aku menuliskan tentang harapanku. Harapanku agar kau membaca ini, dari awal sampai akhir. Walau tak segalanya sanggup kutuliskan, tapi setidaknya ada satu dariku yang tersampaikan. Aku merindukanmu, Pin, tapi tipis harapanku untuk kau kembali. Jadi, aku sadar diri dengan tak berharap banyak mengenai hal itu.

            Di dunia penuh kata yang kuciptakan sendiri ini, aku akan menyampaikan bahwa aku sangat menyayangimu, seseorang yang sudah dengan sukarela menjadi sahabatku—walau tak yakin rasanya kau menganggapku begitu.

            Terima kasih untuk segalanya, Alfina. :) 

            PS : Aku ingin bilang kenyataan yang sebenarnya, tapi aku yakin tentu kau tak akan percaya.

Komentar

What's most