Pesta : Kastil


Cerita sebelumnya :

            Yang dia berusaha raih sejujurnya tidak sebanyak ini—seharusnya. Tapi dia sulit membayangkan betapa sepinya kehidupan yang tak ada, atau tak benar-benar ada, walau banyak yang ditinggalkannya.

            Bulan-bulan awal, bahkan sampai setahun pertama, dia berharap mungkin sebentar lagi waktunya. Mungkin dia tidak perlu menunggu lama-lama. Tapi seberapapun dia berusaha membiarkan jantungnya pelan-pelan berhenti, Tuhan, atau segala yang isi semesta ini sembah dan percayai, tak ada yang bisa membuatnya mati. Dia tetap hidup dengan segala rasa sakit yang tidak bisa dijelaskannya pada siapa-siapa. Did you know your starway lies on the whispering wind?

            Kadang-kadang, bentuknya bayangan. Kadang-kadang, hadir seperti mati. Yang lebih sering, ia berwujud patah hati, yang sembuhnya tidak bisa diperkirakan. Secara spesifik atau statistik. Sakit hati itu terlalu panjang dan secara defenitif, dia harus bisa hidup dengan luka itu selamanya.

                Bagaimana cara kerja belahan jiwa?

            Fadlan tadinya percaya bahwa belahan jiwanya adalah Diana, atau setidaknya Diana telah mewakili segala definisi yang ditawarkan isi dunia mengenai belahan jiwa, atau jodoh, atau sehidup semati. Tapi, kemudian, dunia bekerja secara kontradiktif dengan merenggut yang dia kira akan membawanya ikut mati jika dia pergi.

                       Fadlan masih hidup.

            Maka, yang dia pikirkan adalah bagaimana mengesampingkan segala sepi itu. Mengesampingkan segala yang mungkin. Melanjutkan hidup.

                   Fadlan kira dunia tidak bisa lebih sialan lagi. Sampai kemudian dia bertemu seorang perempuan bernama Kirana, yang membawanya terseret arus, mengikuti gelombang muda mudi, yang dia kira tidak bisa dia rasakan lagi. Rana mengenalkannya pada dunia, menghapus rasa sekarat yang selama ini dia biarkan hidup bersisian dengan paru-parunya, memberinya sedikit harapan bahwa masih banyak yang dia punya.

            Hidup adalah pembelajaran yang panjang. Even at his age.

            Dari hal-hal sekecil emotikon ponsel, ataupun UAS adalah singkatan dari ujian akhir semester, dan bahwa ada jutaan hal yang lain yang membuatnya merasa seperti katak dalam tempurung. Ada seribu satu hal yang selama ini tidak dia ketahui eksistensinya, dan Rana menunjukan nyaris semuanya.

            Dan Fadlan ingin membayar pembelajaran itu. Dengan materi berlimpah untuk Rana, atau apapun yang perempuan itu inginkan. Ditukar dengan waktu, pengetahuan baru, dan ...

                   Keberadaan Rana.

            Seperti ketika malam ini dia sadar bahwa Rana mematikan ponselnya lebih dari seminggu—nyaris dua minggu justru. Minggu lalu dia sibuk untuk mengurus cabang perusahaannya yang akan dia bangun di kota sebelah, yang mana berarti dia tak sempat menghubungi perempuan yang sudah selama setahun ini menjadi teman kencannya. Biasanya, Rana tak banyak protes. Paling tiba-tiba akan mengirimkan pesan-pesan perkara rindu atau kapan perempuan itu dan Fadlan bisa bertemu. Tapi kemarin pesan-pesan itu tak datang, dan ketika Fadlan sadar, sepertinya Rana agak menghindar.

            Fadlan bukannya tidak kehilangan. Selama ini kehadiran Rana sudah seperti orbit untuk peredarannya yang kacau. Dan Rana yang menghilang seperti ini tidak membuat perputaran dunianya lebih baik. Tapi Fadlan menghargai Rana. Mungkin perempuan itu punya kesibukan yang tidak bisa Fadlan ganggu, atau ada sesuatu yang harus dia urus dengan skripsi yang dia tunda itu.

            Hanya saja ... Fadlan tak bisa menunggu lama.

            Ini jadi terasa konyol untuknya. Usia lima puluh dua bukan usia yang tepat untuk dia merasa uring-uringan hanya karena perasaan kangen atau dibuat galau oleh perempuan, yang usianya bahkan tak sampai setengah miliknya. Tapi Fadlan benci diperlakukan seperti ini. Fadlan tidak tahu mengapa dia merasa ada kekosongan yang tidak bisa dijelaskan selama lebih dari seminggu dia tidak mengetahui kabar perempuan itu.

            Mungkin, kalau Fadlan mau sedikit percaya diri, karena tingkah aneh Rana—beberapa minggu sebelum menghindar.

            Fadlan barangkali memang tua dan kuno. Selama ini hidupnya adalah kertas-kertas saham dan segala sesuatu yang bergerak seperti nilai mata uang, tapi Fadlan tidak bodoh. Lebih dari setengah abad dia hidup dan konyol jika ia tidak bisa menebak apa sebab dari gelagat aneh Rana belakangan ini. Tapi dia diam, membiarkan Rana mungkin menyerah atau mengakui sendiri, bahwa yang ada di antara dia dan Fadlan bukan lagi sekadar itu. Ada sesuatu yang tumbuh lebih serius daripada bisa dibayangkannya, dan Fadlan benci kenyataan bahwa dia tidak bisa berpura-pura buta akan perubahan itu.

            Malam ini di rumahnya yang besar dan mewah tapi kosong melompong.

Kadangkala, Fadlan berharap Diana masih ada.

            Mungkin, kalau Diana ada, dia bukan om-om liar nan sialan yang bisa-bisanya mencari perempuan untuk dikencani dan dihujani materi hanya karena merasa kesepian setelah ditinggalkan. Apa itu tadi, belahan jiwa? Kalau Diana masih ada, mungkin dia tidak perlu merasa bersalah karena pernah berpikir bahwa bisa saja, manusia punya lebih dari satu belahan jiwa. Kalau Diana masih ada, dia tidak perlu dihantui rasa bersalah seperti ini.

            Ingatan yang melaju seperti musim panas dan penyesalan-penyesalan yang menyusul. Barangkali bentuknya serupa dia yang pelan-pelan melupakan kehadiran Diana, atau keterbiasaannya dengan semua yang sering dilakukan istrinya itu. Fadlan benci pada dirinya sendiri yang tidak terbiasa dengan sepi, sampai-sampai merasa butuh mencari pelarian hanya untuk mengusir rasa sedih yang tidak bisa ia tampung sendiri.

            Andai, andai lawan kata kesepian dalam hidup adalah keramaian. Fadlan tidak perlu khawatir mengapa semudah itu dia bisa merasa sudah melupakan Diana dalam waktu dua tahun. Andai lawan kata kesepian adalah keramaian, mungkin Fadlan tidak perlu merasa sehaus ini akan kehadiran Rana yang sudah lebih dari seminggu tidak menghubunginya. Andai Fadlan hanya kesepian, mungkin dia tidak perlu sepanik ini.

            Kenapa ... kenapa semudah itu Rana menyusup dan memporak porandakan apa yang telah dia bangun sedemikian rupa?

            Di satu sisi manusiawinya yang egois dan haus, Fadlan tahu bahwa dia membutuhkan Rana lebih dari yang dia kira. Tapi ada banyak sekali mimpi yang bisa Rana raih tanpa dirinya dan itu membuatnya kecut, urung, dan tidak percaya diri. Bahwa harusnya dia sudah lama menyerah dengan urusan ini dan dia tak perlu sibuk mencari jawaban mengapa dia merasa sedemikian gelisah. Harusnya, tidak ada yang dia lanjutkan. Tidak ada yang perlu dia lanjutkan.

            Segala pikir itu berkecamuk dan menyiksa Fadlan, seolah-olah kerangka otaknya memang didesain untuk itu. Bahwa dia harusnya tak boleh egois, bahwa ada banyak jutaan laki-laki lain yang akan menukar nyawanya untuk bisa mendapatkan Rana, dan harusnya dia tidak mengurung perempuan itu di kastil yang tidak dia beri nama ini.

            Yang dia ragu, bahwa mungkin saja dia sebenarnya membuka kastil itu lebar-lebar, tapi Rana tak pernah mau keluar.

            Saat ini Fadlan berbaring di kasurnya yang mewah, besar, tapi terasa kosong. Sudah lama sejak terakhir kali dia mengirimkan pesan kepada Rana dan masih belum ada balasan sama sekali.

            Baru ketika dia hendak mematikan ponselnya dan bersiap terpejam, ada pesan masuk ke ponselnya :

            Rana.  


            Pesan itu urung dikirimkanya karena mungkin,

            Lebih baik Fadlan saja yang bermimpi selamanya.

Komentar

What's most