Pesta : Duit dan Cinta
Cerita sebelumnya : Pesta
“Emang
duit dari bokap gue kurang ya, Ran?”
“Apaan
sih, kagak.”
Rana
duduk bersila di ruang televisi apartemen pribadi Evan—yang baru diketaui Rana
bahwa cowok crazy rich ini ternyata
punya apartemen kecil dekat kampus Rana. Maksudnya, Evan punya puluhan unit
apartemen di seluruh penjuru kota ini. Asetnya tersebar di mana-mana. Tapi yang
dia tinggali adalah unit apartemen kecil daerah selatan di wilayah pendidikan
yang hanya cukup ditinggali satu orang. Yang kadang Rana nggak mengerti kenapa
Evan memilih tinggal di tempat seperti ini daripada di kondominium yang bisa dia
beli dalam waktu kurang dari sedetik.
Tadinya
Rana mencibir. Itu beberapa bulan lalu saat dia baru saja kenalan dengan anak
dari Om-nya, yang godain Rana dengan minta nomor whatsapp-nya di tengah-tengah pesta pasca rapat umum pemegang saham
tahunan. Sekarang dia malah jadi akrab dengan laki-laki tengil ini, dengan
sepengetahuan ayah Evan tentu saja. Biasanya Rana ke apartment Evan di weekend
saat ayah Evan ada kunjungan ke luar kota atau agenda pekerjaannya. Cuma akhir-akhir
ini intensitasnya main ke apartemen Evan jadi lebih sering—bahkan di jam-jam weekend saat di mana biasanya itu
menjadi jadwal Rana untuk menemani ayah Evan. Tapi nggak, perempuan ini justru
datang siang-siang di hari Sabtu dan mengganggu jam istirahat Evan, membawa beberapa
kotak pizza dan botol-botol soda.
“Habis
lo jarang sama bokap gue sekarang tiap weekend,
malah nangkring di sini mulu.” Walaupun komplen, Evan rebahan di karpet merah
bulunya sambil mengunyah pizza yang
dibawa Rana.
“Kalau
makan duduk dong, Van,” Rana menegur Evan yang makan sambil tiduran. Evan
meliriknya lalu mencibir. Tapi dia menurut juga. Potongan pizza itu dia letakkan di boksnya lagi, kemudian duduk menghadap
Rana, mengambil kembali pizza-nya dan
menggigitnya sedikit, sebelum berkata :
“Iya,
Ma.”
Rana
menjitak kepala Evan yang dibalas dengan kekehan menyebalkan Evan. Rana meraih
remote televisi Evan, mengganti-ganti saluran di sana, lalu berhenti di Disney Channel.
“Cerita
kali, Ran.”
Rana
terdiam mendengar kata-kata Evan. Sejujurnya, tujuannya ke sini memang untuk
itu. Bercerita pada Evan tentang sesuatu yang
tengah terjadi pada Rana. Keanehan-keanehan yang dirasakan Rana,
perasaannya yang jadi asing, dan semua bermuara pada ayah dari laki-laki
menyebalkan yang duduk sambil makan pizza
di hadapannya kini.
Waktu
dia dengan sengaja meninggalkan kertas berisi nomor ponsel-nya, sejujurnya Rana
tidak berharap-berharap amat bakal dihubungi laki-laki itu. Rana justru sempat
berpikir bahwa mungkin saja Evan tidak menyadari kertas yang ditinggalkannya,
lalu berakhir dengan Evan yang membencinya karena menjadi ‘pacar’ ayahnya—yang
juga menjadi seseorang dengan kesengajaan berlebih mengeruk harta kekayaan
ayahnya. Rana mana mengira kalau sebuah pesan mampir ke ponselnya kesokan
paginya setelah mereka bertemu di pesta.
Ternyata nomor lo kombinasi, ya, Rana.
Dan
Rana langsung paham pesan itu dari siapa.
Tadinya
dia kira, hubungannya dengan Evan akan berhenti di situ. Sekadar saling
menyimpan nomor, lalu sudah. Tapi justru Evan jadi beberapa kali mengajaknya
nongkrong, atau sekadar membalas instastory-nya
dengan komentar konyol seperti, “pasti
lagi belanja pake duit bokap gue ya?!”. Rana tidak marah sama sekali, toh
memang itu duit bapaknya. Rana paling hanya sebal sedikit ketika Evan mulai
mengulang-ulang jokes yang sama. Selebihnya
dia hanya membalas chat Evan dengan selfie dirinya berpose menunjukan jari
tengah.
Karena
Evan menyenangkan. Setidaknya itulah yang Rana rasakan selama beberapa bulan
menjadi temannya—yang walaupun intensitas bertemunya sangat minimal mengingat
kesibukan Evan hampir sama dengan ayahnya.
Tiba-tiba,
ponsel Evan berbunyi. Evan menelan seluruh pizza-nya
lalu mengangkat panggilan yang ternyata dari ayahnya itu sambil meminum soda
yang tadi sempat dituangkan Rana ke gelas kaca.
Ketika
mendengar, “Halo, Pa?” dari mulu Evan, Rana langsung panik luar biasa. Dia heboh
menabok pundak Evan sambil memberi kode untuk menyalakan loadspeaker yang langsung dibalas Evan dengan tabokan yang sama pada
lengan Rana—tentu saja sambil mendelik tanpa melakukan apa yang disuruh Rana.
“Rana?”
Evan
melirik ke Rana. Rana memberikan kode lengannya yang dipersilangkan sambil
berbisik, ‘jangan bilang gue di sini!’
“Nggak
tau deh, Pa, Evan dari tadi istirahat doang di apartemen yang di selatan. Nggak
bareng Rana.”
Rana
mengelus-elus dadanya lega.
“Hah
handphone-nya mati dari kemarin?”
Evan terkejut sambil melirik tajam Rana yang kini nyengir tanpa rasa berdosa. Pantas
tadi Rana menghubungi lewat direct
message Instagram ketika akan mengunjungi tempatnya. Papa-nya yang boomer mana main.
“Papa
udah ke kosan Rana?”
....
“Oh,
gitu. Mungkin Rana sibuk skripsi?” Evan
menekankan kata skripsi yang dibalas dengan pelototan Rana.
“Nanti
kalau Evan tahu Evan telpon Papa, ya. Papa istirahat aja weekend ini. Awas jangan banyak minum kopi!”
...
“Daa,
Pa, have a nice day.”
Evan
lalu menabok lengan Rana sambil memelototinya, “Lo tuh gila, ya, kalau bokap
gue tau lo di sini apa nggak digibeng gue?”
“Van,
sakit ih!”
“Ya
lo bloon banget jadi orang. Kenapa sih? Duit bokap gue mau lo keruk sampe mana
juga nggak bakalan abis, anjir—“
“Van,
ini tuh bukan soal duit! Duit gue udah banyak!”
“Oh,
lo mau ninggalin bokap gue?”
“Van
lo diem atau gue tendang?”
Evan
kadang tidak paham apa yang membuatnya ayahnya menyukai Rana. Ayahnya sering
bilang bahwa yang dia kejar dari Rana bukan semata-mata kepuasan seksual, namun
lebih dari itu. Rana punya otak cemerlang dan perempuan ini sangat percaya
diri. Ayahnya suka pemikiran-pemikiran Rana—semua rasa ingin tahu Rana soal
masalah-masalah di perusahaannya, dan lain-lain. Rana unik dan utuh. Buktinya,
walaupun sudah mendapatkan uang bulanan dari ayahnya, Rana masih menerima usaha
joki tugas dan mengambil job part-time tiap libur semester. Tapi, sifat
bar-bar Rana ini kadang melebihi level yang bisa ditoleransi. Agak berbeda
dengan selera ayahnya (ini Evan ngomongin ibunya)—apa karena Rana muda, ya?
Rana
tidak betul-betul serius dengan ancamannya menendang Evan. Perempuan itu malah
diam, lalu mengambil gelas soda dan meminum isinya sedikit.
“Gue
jauhin Om Fadlan tuh sebenernya dari minggu lalu. Cuma gara-gara bokap lo sibuk
banget, tuh, baru dia ngeh sekarang.” Rana menjelaskan tanpa melirik Evan. Dahi
Evan berkerut.
“Duit—“
“Van,
lo tuh nganggep gue cewek yang doyan meres duit bokap lo doang, ya?” Rana
berkata sambil melirik Evan—kata-katanya tenang dan teratur, tidak ada sakit hati
di sana, tapi entah kenapa membuat Evan merasa bersalah.
“Maaf,
Ran, bukan gitu. Tapi gue nggak ngerti kenapa lo harus jauhin bokap gue begini
kalau lo nggak ngasih tahu alasannya.”
“Gue
tuh, bingung aja. Dan ngerasa patethic
banget. Dari awal gue bikin agreement
smaa Om Fadlan, gue tahu this
relationship hanya akan bersifat transaksional buat both of us—jujur gue menikmati banget. Walaupun gue sedikit haus
afeksi, tapi gue bikin boundaries
kalo sama bokap lo. Gue tahu ini nggak akan berjalan ke mana-mana. Hubungan ini
bakal berhenti ketika gue atau bokap lo bosan.”
Evan
tidak mengerti percakapan ini akan mengarah ke mana.
“Gue
merasa untuk yang kayak gini, usia hubungan gue dan Om Fadlan berjalan terlalu
lama. Dan gue tiba-tiba lupa ke mana boundaries
yang gue pasang itu, apakah hancur, atau apakah masih ada tapi gue bablas melewatinya
dan gue nggak sadar.” Rana meneguk lagi sodanya.
“Gue
nggak paham, Ran, sorry banget nih.”
“Temen
gue ada juga yang baby, dan dia sama sponsornya
tuh kayak cuma sebulan dua bulan. Paling lama lima bulan, dan itupun kaya raya
banget. Sementara kalau dihitung dari pertama ketemu sampai sekarang, hubungan
gue sama Om Fadlan tuh udah setahun, lebihnya banyak banget—“
“Terus?”
“Gue
capek.”
“Lo
bosen? Mau ganti?”
“Gue
jatuh cinta.”
Evan
terdiam. Amat sangat terkejut.
“Gue
tahu bokap lo bukan orang yang tepat untuk gue jatuh cintai—maksudnya kayak anjir
gue dari dua minggu lalu baru dua puluh dua, sementara—ya lo tahu lah, Van, males
gue ngomongin angka begini. Tapi yang paling penting tuh, gue tahu buat bokap
lo, hubungan ini pasti bakal selesai. Nothing
last forever, tapi bahkan jadi nothing
pun gue nggak bisa.”
“Bokap
lo tuh ada di balik batas yang udah gue bikin—dan jatuh cinta ini tuh kayak gue
yang nekat buat hancurin tembok yang gue bikin sendiri.”
Rana
terdiam. Sementara Evan masih memproses semua kata-kata yang baru saja keluar
dari mulut Rana. Tiba-tiba, Rana menangis—dan Evan tidak punya cukup kuasa untuk
melakukan sesuatu selain mendiamkan Rana menutupi wajahnya dan menambah sesak
tangisannya.
Evan
tidak tahu kenapa, anehnya, mendengar ayahnya dicintai oleh seorang gadis muda
tidak membuatnya bahagia. Evan juga tidak paham kenapa dadanya didominasi
perasaan tidak suka. Entah apakah karena tiba-tiba saja Evan teringat mamanya,
atau dia tidak menyukai kenyataan bahwa, bisa saja, kemungkinannya sama sekali
tidak tertutup, bahwa perasaan Rana tidak berjalan searah.
Di
lain sisi Evan tahu bahwa ayahnya mungkin tidak memiliki cukup ruang di hati untuk
menyukai seseorang lebih dari yang dia lakukan kepada Rana. Memberinya materi
secara impulsif—yang katanya membuatnya bahagia—sementara perempuan yang dia
perlakukan begitu ternyata merasakan sesuatu yang lain. Yang bukan lagi
transaksi, bukan lagi semata-mata pemenuhan kebutuhan tersier. Rana, dengan
lantang dan percaya diri, bicara cinta.
Bagi
Rana yang kini sedang sibuk menangis, berkata jujur pada Evan mungkin saja langkah
terakhir yang bisa dia lakukan untuk melegakan perasaannya. Bahwa dia ternyata
tidak sekuat itu untuk pura-pura tidak
melewati batas, bersikap sebagaimana Rana harus, dan menyiksa diri lebih lama.
Dia tidak tahu, how long Om Fadlan
willing to stay, dan kenyataan itu membuatnya sedih. Bahwa hubungan ini
jadi lebih rumit dari yang dia bayangkan dan penyebabnya adalah Rana sendiri. Rana
merasa bodoh, dan lebih dari itu, Rana merasa dia ingin dicintai juga.
Evan
dan Rana sama-sama terdiam. Sementara Evan mulai menyadari satu hal.
Perasaan
tidak suka yang muncul itu bukan tanpa sebab. Dia tidak suka dengan kenyataan yang
akan menanti mereka bertiga ke depannya jika pada akhirnya ini berakhir tidak
seperti yang semula direncanakan. Ini akan jadi lebih menyebalkan karena,
perasaan tidak suka itu, bukan semata-mata karena Evan khawatir akan apa yang
bisa terjadi pada Rana ataupun ayahnya.
Dia
khawatir pada apa yang bisa terjadi pada
dirinya sendiri.
Televisi
dengan tayangan Disney Channel itu
masih menyala, tapi Evan memutuskan untuk mematikannya dan membiarkan suara
isak Rana mengisi ruang sempit apartemen-nya. Toh, semenarik apapun kartun yang
ditayangkan hari itu, baik Evan maupun Rana sama-sama tidak memperhatikan dan
melihatnya.
Seperti
(mungkin) Om Fadlan tidak melihat Rana. Seperti Rana tidak melihatnya.
Komentar
Posting Komentar