Pesta : I Love You


Cerita sebelumnya :
[1] Pesta 
[2] Pesta : Duit dan Cinta

This story contains some mature scene. I ask you to check your id and make sure that you are 18 and above. Read at your own risk.

            Evan menatap rokok yang diapitnya di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.  Ini pukul dua pagi—sudah menjelang Senin. Rokoknya masih panjang, tapi bagian ujungnya sudah mati; mungkin terkena angin, atau memang hanya sesebentar itu. Toh, mengisap tembakau bukan lagi fokusnya saat ini. Evan hanya mau sendirian. Tapi dengan kenyataan bahwa pukul sembilan pagi nanti dia ada rapat umum pemegang saham, sementara Evan tetap duduk dengan kaos tanpa lengan di balkon apartemennya yang dingin dan sepi, sesungguhnya adalah upaya cari mati.

            Pandangannya kosong tapi pikirannya penuh. Evan tidak merokok, tapi dia suka menyesapnya sesekali saat dirasanya butuh. Di sisi kiri tempat dia duduk, ada satu botol cognac dari Martell berukuran  tujuh ratus mililiter dan gelas kecil yang sudah kosong. Tangan kanannya melempar rokok yang tadi diapitnya ke luar balkon. Membuangnya. Lalu beralih untuk menuang kembali isi dari botol tersebut ke dalam gelas kecil di sebelahnya, tuangannya untuk keempat sepanjang dini hari ini ... atau lima? Evan tidak ingat. Tadinya dia hanya ingin sekadar minum segelas, meredakan berisik di kepalanya, lalu tidur dan mempersiapkan agenda besok pagi. Tadinya, begitu.

            Tapi kemudian dia sadar bahwa, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa salah. Karena sesuatu yang tidak selesai—karena sesuatu yang terlanjur, sampai.

            Evan menegak sedikit cognac-nya, lalu terdiam lagi sambil menggenggam erat isi gelasnya. Ada sesuatu yang salah, ada yang salah, karena hal itu cukup dominan sampai membuat kantuknya berubah jadi asap yang kemudian tidak terjangkau lagi. Agak asing bagi Evan yang mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan istirahat, kemudia harus terjaga sampai jam dua pagi.

            Dan kelihatannya, Evan tahu apa yang salah itu. Setidaknya Evan tahu apa namanya.

            Rana.

            Segala yang dipelajari Evan selama ini adalah angka, atau lembar-lembar kertas yang bisa ditukar dengan valuta. Semua harus rasional, baru otak Evan bisa terima. Ada sesuatu yang menggelora dari dalam diri Evan sejak akhirnya dia mampu menduduki kursi direksi di usia semuda ini—terlepas dari privilege yang memang sudah disematkan di dadanya sejak dia adalah anak dari orang seperti ayahnya—sesuatu yang cukup signifikan sampai orang-orang tahu kenapa Evan layak memiliki segala jabatan itu. Kendali, kemampuan kendalinya, nyaris sempurna.

            Kendali itu banyak objeknya. Tapi karena ini perusahaan, kendali Evan adalah bentuk kebijakan-kebijakan untuk membawa perusahaannya maju ke depan, termasuk idenya untuk merombak penuh salah satu strategi marketing perusahaannya. Hasilnya? Keuntungan terbesar perusahaan sejak lima tahun terakhir, yang pada akhirnya dirayakan dengan sebuah pesta, di mana Evan akhirnya bertemu Rana.

            Kendali itu juga bisa tentang dirinya, yang menerima perjodohan konyol yang diidekan ayahnya, dengan seorang perempuan manis yang kini tengah menempuh gelar masternya di Belanda. Perempuan manis yang menyenangkan, yang mungkin saja sama tidak cintanya dengan Evan, tapi harus terpaksa menurut untuk kepentingan bisnis yang sesungguhnya Evan tidak betul-betul paham apa dampaknya. Tapi lagi-lagi, ini soal kendali. Evan dan perempuan itu tahu betul bahwa setidaknya mereka harus pura-pura sepakat sampai waktu yang entah kapan, atau sampai salah satu dari mereka berdua punya cukup keberanian untuk menolak dan kabur, atau yang sedikit lebih materialistis, sampai perusahaan orang tua perempuan itu mencapai keuntungan yang tidak membutuhkan perusahaan Evan.

            Padahal, Evan toh tidak butuh cinta jika itu hanya akan menjadi angka-angka dalam buku perusahaannya. Tapi ayahnya yang telat bandel tapi konvensional itu ngotot Evan harus bersama dengan perempuan yang sepadan dengannya, sementara dia sendiri boleh tidur dengan perempuan yang berusia kurang dari setengah usianya sendiri. Evan sendiri agak tidak menangkap apa definisi sepadan sementara yang dia kenal dari perempuan yang kini menjadi ‘tunangannya’ itu adalah perempuan yang amat sangat, tidak cocok, dengan orang seperti Evan. Manis dan menyenangkan, tapi Evan tidak mencari hal-hal yang seperti itu. Setidaknya Evan tahu bahwa kendalinya soal hati adalah cinta yang tidak punya arti banyak, selebihnya dia hanya mau ranjang yang panas dan perasaan yang dingin.

            Pengakuan : Evan tidak percaya cinta.  Orang tuanya mengajarkannya soal uang sejak dia bahkan belum paham bagaimana cara mengeja. Garis hidupnya sudah diatur sedemikian lurus, dan Evan mana punya pilihan. Toh segala harta kekayaan ini bukan hal yang buruk. Banyak yang bisa dia nikmati dengan semua yang dia punya sekarang. Yang jelas, cinta bukan pengajaran yang dia dapatkan dari angka-angka itu.

            Tapi kemudian dia mendapat pengecualian. Konyol dan cenderung absurd. Pengecualian itu ditemuinya di samping meja dimsum, pada suatu pesta perayaan kesuksesannya, sendirian dan kedinginan. Seperti ada benang yang menarik Evan mendekat, tapi kemudian mengulur lagi, kemudian mendekat lagi. Lalu, Evan nekat menggunting benang itu dan mengajukan diri.

            Sejak kenal Rana, Evan sudah tidak kenal lagi yang namanya kendali. Orang tolol mana yang bersahabat dengan perempuan yang jelas-jelas mengeruk harta kekayaan ayahnya? Tapi Evan suka segala ketololan itu. Ada adrenalin yang terpacu saat dia menggoda Rana bahwa dia sedang menggunakan uang ayahnya untuk membelanjakan kebutuhan tersier perempuan itu. Ada tantangan, ada letupan-letupan, yang Evan tidak begitu kenal, tapi begitu Evan nikmati.

            Sampai kemudian dia sadar bahwa perempuan ini, meletakkan sesuatu, yang lebih dari nilai rupiah, di atas perjanjiannya dengan ayah Evan. Sesuatu yang tidak Evan kira bakal dirasakan perempuan itu, sesuatu yang tidak Evan kira bakal membuatnya gelap mata.

            Evan, diam-diam berharap, dia masih tidak percaya cinta.

            Tapi dia tidak mengerti kenapa rasanya tidak nyaman sama sekali ketika Rana berkata padanya, “Kalau sama bokap lo, it’s  all agreement¸ tapi kalau ini, accident, Van.” Dan meninggalkan Evan sendirian tercenung malam itu.

            Dia terkejut mengetahui kenyataan bahwa Rana dengan percaya diri mengaku bahwa dia mencintai ayahnya. Lebih terkejut lagi ketika perempuan itu serius. Semula dia kira, Rana dan ayahnya, hanya sebatas perjanjian untuk saling memuaskan dari segi keuangan dan selangkangan. Dan harusnya semua memang berhenti di situ. Kenapa tiba-tiba ada cinta? Dan kenapa pula, Evan merasa, ini juga urusannya?

            Karena memang ini tidak akan jadi urusannya, kalau saja hari itu, hari ketika Rana mengatakan soal perasaannya, tidak ada hal tolol lainnya, yang terjadi.

            Mungkin saat itu, Evan merasa sudah terlalu lama Rana menangis—dan dia merasa perlu melakukan sesuatu. Pelukan singkat dan pat pat yang menenangkan.

            Yang jelas bukan ciuman yang liar seperti ini.

            Evan tidak ingat betul siapa yang memulainya, tapi tiba-tiba saja bibirnya sudah ada di bibir Rana. Awalnya dalam dan penuh perasaan—setidaknya bagi Evan—tapi kemudian ciuman itu berubah menuntut, melesak maju, memaksa seperti hanya dari bibir itulah Evan bisa meraih apa-apa yang jadi cita-cita hormonnya. Dia dan Rana berhenti ketika mengambil napas, kemudian ditatapnya mata sayu Rana, dan bekas-bekas air mata yang masih ada di sana. Diusapnya lembut kantong mata Rana, lalu maju untuk mengecup kedua kelopaknya, yang dibalas perempuan itu dengan remasan di kaos Evan.

            Sambil menatap Rana sekali lagi, Evan bertanya, “Boleh, Ran?”

            “Boleh apa?” tanya Rana, seduktif.

            “Disebut?”

            “Sebut dong, biar gue makin kepengen ...”

            Dan Evan mencium Rana lagi. Kali itu, bukan lagi ciuman yang dimulai dengan penuh perasaan. Evan melakukannya dengan menuntut, ditopang dengan tangannya di rahang Rana, mengelusnya sedikit, tapi kemudian mendorong kepala Rana agar bisa lebih maju ke arahnya. Lidahnya juga tidak diam, dia menyapu permukaan bibir Rana, menginterupsi oral Rana setiap incinya. Lalu beberapa detik kemudian, tangan Evan sudah menjalar ke mana-mana.        

            “Ran, boleh?”

            “Iya.”

            Dan semuanya terjadi begitu saja di depan ruang televisi Evan yang tayangannya sudah dimatikan sejak tadi. Ciuman mereka sudah terlepas dan Evan kini sibuk menelusuri leher Rana, membenamkan kepalanya di ceruk rahang dan leher Rana, menghisap dan menghirup aroma feromon Rana yang tiba-tiba saja bisa dibauinya. Yang jelas Evan mabuk. Sementara Rana memejamkan mata sambil sesekali mengeluarkan suara, yang, kalau Evan sedang tidak sibuk mengabsensi permukaan leher Rana, akan bisa didengarkannya dengan seksama.

            “Van—hh..”

            Begitu beberapa kali, sampai Evan merasa namanya dipanggil terlalu sering, dan itu tidak menganggunya sama sekali. Suara itu memacu darah yang ada pada dirinya, kemudian lari ke daerah selatan, pusat segala hasrat hormonalnya berserikat.

            Evan mengubah posisi Rana berpindah ke pangkuannya. Tubuh Evan disandarkannya nyaman ke sofa, dan kembali mencium Rana. Perempuan itu kini mengambil kendali permainan. Ditangkupnya rahang Evan lalu dia telusuri ceruknya—sama seperti Evan memperlakukannya tadi. Sambil tubuhnya ia gerakkan maju mundur pelan-pelan, menimbulkan friksi yang, walaupun keduanya masih berpakaian lengkap, tapi mampu membuat Evan memejamkan mata.

            Evan lalu mengangkat tubuh Rana dan membawanya rebah di sofa. Semuanya tidak perlu dideskripsikan lebih jauh karena Evan sudah tidak ambil pusing lagi tentang, siapa perempuan yang ada di bawahnya kini, dan kenapa harusnya Evan tidak perlu memulai apa-apa sama sekali. Tapi, kendalinya, sudah bukan lagi dari kepala. Ah, apa pula itu kendali. Evan sekali lagi menatap Rana, tangannya mengurung tubuh kurus Rana, dengan kedua telapak tangannya masing-masing di sebelah bahu Rana, menahan badan Evan sendiri. Dia membuka blus Rana hanya dengan satu tangan kiri, yang dibantu Rana sendiri, lalu blus itu tanggal berikut dalamannya.

            Sementara Evan sibuk meraba sana-sini, Rana sibuk menikmati tubuhnya yang dipreparasi. Sesekali membisikan desahan yang membuat Evan harus mengeluarkan tenaga lebih untuk membungkamnya dengan ciuman. Evan berdiri sebentar, melepas kaos, berikut celananya, lalu melakukan hal yang sama pada celana Rana.

            Saat sebagian tubuh Evan sudah ada di dalam Rana, baik Rana maupun Evan sudah tidak lagi menahan suaranya. Gerakan Evan semakin brutal dan Rana semakin menggila. Terus menerus, keluar masuk, dan Evan tidak mengejar apa-apa lagi selain putih. Upayanya itu bukan tanpa tenaga, ditambahnya lagi kecepatannya dan Rana berteriak kecil. Hampir sampai. Dan desahan-desahan yang muncul setelahnya adalah sorakan agar yang selanjutnya terjadi lebih nikmat lagi, lagi, dan lagi.

            “T—terus.., Vanhh—“

            “Lagi, Van, lagi ...”

            “Jago banget, Ranhh—“

            “Van, gue ... hampir ...”

            “Evanhh—“

            “Ran .. ahh—“

            I love you.”
---

            Dan begitulah kira-kira, gambaran accident, kata Rana, yang membuatnya meninggalkan apartemen Evan dengan pandangan bingung. Hal yang sama yang membuat Evan masih belum meninggalkan balkonnya yang dingin dan menusuk. Yang kemudian terjadi adalah, the most awkward memakai kaos dan memakai celana moment dalam hidup Evan. Begitu juga Rana yang terburu-buru memakai blus dan celananya, memberesi tasnya, lalu meninggalkan apartemen Evan, lalu berkata.

            It’s accident—“

            Yang Evan kira lanjutannya dalam hati, mungkin saja adalah, “Let’s pretend we never did that.” tapi tak kuasa disampaikan Rana. Karena gadis itu berlalu begitu saja tanpa mengucap satu patah kata lagi, bahkan untuk sekadar bertanya apa maksud “I love you.” yang tadi. Satu hal yang bisa dipahami Evan bahwa, bahkan setelah seminggu berlalu, Rana bukan lagi hanya menghindari ayahnya, tapi juga menghindarinya.

            Dampaknya dahsyat. Salah satunya adalah, upaya membiarkan diri mati kedinginan, seperti yang dini hari ini tengah dilakukan Evan.

            Mungkin saja, agak tidak sopan, atau bahkan terlalu gamblang; karena cinta yang disampaikannya seolah-olah hanya kata-kata semangat di tengah seks agar orgasme mereka semakin nikmat. Evan jelas tidak melakukannya dengan sengaja, tapi bukan berarti Evan tidak memaknainya. The I love you, Evan means it quite literally. Hanya saja mungkin medianya salah, atau subjeknya, atau caranya, atau momennya, atau prosesnya, atau I love you-nya sendiri sejak awal sudah salah.

            Dan kini sudah setengah tiga pagi, dan kantuk itu belum hadir. Yang hebat malah efek cognac yang kini makin masif memengaruhi otaknya. Sibuk berkompetisi dengan wajah Rana, mana yang mampu membuat kepalanya lebih pusing.

            Jelas yang pertama menang telak.

            Evan menuang cognac sekali lagi, lalu menghabiskannya dalam sekali tenggak. Ini jelas lagi bukan kendali. Ini sepenuhnya perasaan, yang Evan aslinya benci setengah mati, tapi tidak bisa ia sangkal juga bahkan setelah setengah botolnya sudah habis. Di detik-detik terakhir ini, Evan masih punya harapan, andai dia masih tidak percaya cinta.

            Karena tadinya, Evan hanya mau ranjang yang panas dan perasaan yang dingin. Tapi kalau soal Rana, perasaannya ikut panas juga.

Komentar

What's most