Seminggu Tanpa Kamu

Untuk senjaku, yang bahagia bersama matahari terbitnya.

Seminggu ini, kamu menjadi dewa pengabai nomor satu. Segala percakapan yang kumulai, pesan singkat yang kukirim, dan sapaan yang kuucap tiap pagi tak kau gubris sama sekali. Entah apa yang jadi alasannya, yang jelas aku tersiksa kau perlakukan seperti ini.

Tiap langkah tanpa genggamanmu, membuat langkahku semakin tertaih. Ditambah kehadiran masa lalumu yang membuatmu semakin melupakanku, menjauh dari sisiku, terlepas dari genggamanku.
Aku tidak tahu untuk apa aku merasa setersiksa ini melihatmu semakin dekat dengan mantanmu. Aku tidak tahu mengapa aku bisa secemburu itu tiap kali genggaman tanganmu mendarat ditangannya. Apapun alasannya, aku tidak mau tahu.

Aku merindukanmu. Katakan saja seperti itu. Rindu yang jauh lebih dalam dari rindu yang dirasakan wanita pada sahabat lelakinya. Jauh lebih dalam dan berbeda daripada itu.

Seminggu sudah berlalu dan sikapmu masih tetap dingin kepadaku. Sungguh, aku takut kalau perubahan sikapmu berlanjut sampai berbulan-bulan kelak. Aku tidak mau kehilangan kamu, tidak mau kehilangan persahabatan kita. Kalau untuk tetap memiliki semua itu aku harus mengubur dalam-dalam dan mengusaikan secepat mungkin perasaanku, aku siap melakukannya.

Pangeran pemecah tawaku, jika aku merindukan celetukan konyolmu, akankah kau juga akan merindukan tawaku?
Sekarang ini, tiap kamu mengucapkan beragam kalimat lucu yang tak kutahu kau dapatkan dari siapa, aku selalu menganggap suaramu adalah pencabut nyawa bagiku. Tawamu seperti tombak yang menusuk-nusuk jantungku.
Aku selalu meringkuk, menggigil, membisikan namamu dalam sela-sela air mataku. Sakit yang tak berkesudahan membuatku semakin tak kuat didiamkan kamu. Jarak yang kau buat diantara kita membuatmu semakin menjauh dari hatiku. Salahkah aku berdoa agar kau lekas kembali mendekat padaku?

Sejauh ini, aktingku cukup lumayan. Air mataku dapat kusembunyikan dengan baik dari kamu yang tak sepeka itu. Aku masih sanggup melewati setiap pelajaran disekolah walau tanpa kamu yang biasa duduk disebelahku. Aku masih sanggup untuk menyembunyikan perasaan.

Sayang, jika memang ada alasan mengapa kamu mendiamkanku, katakan. Luapkan segala amarah yang membuatmu menjaga jarak antara kita. Caci maki aku jika segalanya membuat segalanya kembali menjadi baik-baik saja.
Jika aku boleh minta, maukah kamu kembali, menjadi sahabatku lagi? Tanpa jarak, seperti saat ini?

Dari sahabatmu,
yang tersika didiamkan.

Komentar

What's most