Pesta : Lompat, Om!
Cerita sebelumnya
[4] Pesta : Kastil
Jumat sore,
jalanan belum terlalu macet. Fadlan mengendarai mobilnya menuju indekos Rana.
Indekos Rana
ada tak begitu jauh dari kampusnya. Tapi tempatnya relatif sempit dan—menurut
Fadlan—pasti akan membuat Rana merasa tidak nyaman baik ketika belajar ataupun
mengerjakan skripsi. Beberapa kali dia meminta Rana untuk pindah tempat tinggal
yang lebih luas dan lebih nyaman, beberapa kali pula Rana menolak dan menjawab,
“Kosan aku
udah paling nyaman sedunia, Om!” akhirnya, setelah permintaan yang kesepuluh,
Fadlan menyerah menawarkan Rana satu unit apartemen miliknya untuk perempuan
itu tinggali.
Biasanya,
Rana sudah menunggu di depan indekosnya. Tiap kali mereka berkencan, biasanya
Fadlan akan memberi tahu ke tempat seperti apa mereka akan menghabiskan waktu.
Dan Rana secara otomatis menyesuaikan penampilannya. Akan menemaninya dinner mewah, atau hanya menghabiskan
akhir minggu di kondominium milik Fadlan.
Tapi Jumat
ini lain. Kemarin Rana hanya mengirimkan pesan, “Jumat ini bisa ketemu, Om?” dan tanpa banyak tanya, Fadlan
mengiyakan permintaan perempuan itu. Mungkin Rana sendiri belum memiliki
rencana akan ke mana mereka akhir minggu ini, tapi Fadlan tahu ini bukan agenda
pertemuan seperti biasanya. Saat Fadlan sudah sampai di depan indekos Rana, dia
menemukan perempuan itu sedang duduk dengan rok lipit warna cokelat muda
selutut dan blus putih gading yang dibalut cardigan
warna cokelat tua. Rambutnya digerai biasa dan sore ini Rana memakai kacamata.
Rana tesenyum
saat Fadlan membuka jendela mobilnya, dan secara otomatis membuka pintu mobil
dan duduk di kursi penumpang.
“Kita mau ke
mana, Rana?”
---
Di mobil,
hujan tiba-tiba saja turun relatif deras.
Biasanya,
Rana akan mengajak Fadlan untuk menceritakan bagaimana hidup laki-laki selama
seminggu. Kemudian Fadlan balas menanyakan bagaimana kegiatannya sepanjang
minggu. Mereka akan sibuk mengobrol sampai tiba di restoran, makan malam, lalu
pergi ke kondominium milik Fadlan di tengah kota dan menghabiskan waktu di sana
sampai minggu siang.
Tapi, situasi
yang seperti ini jauh dari ‘biasanya’.
Rana benci
sesuatu yang canggung, tapi dia juga tidak punya cukup tenaga untuk mencairkan
suasana di dalam mobil ini. Jadi dia diam saja selama lima belas menit Fadlan
memacu mobilnya entah ke arah mana. Mungkin ini lima belas menit terpanjang
dalam hidupnya, sementara dia hanya duduk diam di kursi penumpang, bahkan tanpa
selera untuk menyalakan musik seperti biasanya dia mengenalkan lagu-lagu gen Z
kepada Fadlan.
“Kenapa aku
akhir-akhir ini merasa jauh dari kamu, ya, Rana?”
Rana
tercekat. Sejujurnya, dia tidak mengira Fadlan akan memecah hening duluan.
“Hm.. nggak
... tahu?” Rana menjawab gugup.
“Kamu mau
bicara apa, Rana?”
Tapi Rana
tidak buru-buru menjawab. Seperti semua kalimat yang sudah ia susun rapi di sel
otaknya lebur bersama perasaan ragu yang tiba-tiba saja menyergapnya. Ia menolehkan
kepala menghadap jendela dan menatap hujan yang turun semakin deras di luar
sana.
Ada bagian
dari diri Rana yang meledak-ledak dan agresif untuk pernyataan ini, tapi di
lain sisi—ada ketakutan yang merayap pelan-pelan. Bahwa dia bisa saja ditolak,
bahwa dia bisa saja dicampakkan, dan bahwa ada seribu satu kemungkinan lain
yang memotivasinya untuk urung.
Tapi,
“Pas Om
telpon Evan nyari aku, itu sebenernya aku lagi bareng Evan.”
Rana bisa
merasakan bahu Fadlan sedikit berjengit terkejut. Tapi laki-laki itu tetap
tenang dan berkata dengan suara rendah, “Oh ya?”
Rana selalu
lupa bahwa ada koneksi antara laki-laki paruh baya ini dengan yang namanya
dominasi. Karena bahkan dalam situasi setenang ini pun, eksistensi Fadlan,
suara rendahnya, dan kepasifannya untuk tidak memaksa Rana bicara membuat Rana
justru terintimidasi.
“Iya, pas aku
menjauh dari Om itu, aku selalu di tempat Evan.”
Tapi kali
ini, dominasi dan segala boundaries
itu lenyap secara telanjang di mata Rana begitu dia menyadari bahwa jemari
Fadlan yang berada di setir mengerat.
“Evan and you seems a good friend.”
Rana nyaris
saja berteriak, “And we fucked!” tapi
urung karena resikonya, Fadlan bisa saja menabrakkan Tesla ini ke benda keras
apa saja di depannya. Maka Rana mengembuskan napas dan berkata kasar, “Yes, we are.”
“Kenapa Evan
tidak bilang, ya, kalau sedang bersama kamu? Kamu yang minta dia?” tanya
Fadlan. Terlalu tenang, terlalu teratur.
“Om ...”
Rana menghela
napas.
“You just have to say, jangan.”
Fadlan menoleh.
“Om cuma
perlu bilang ‘jangan’, dan aku nggak akan kabur ke tempat Evan.”
Fadlan paham
apa maksudnya. Tapi dia tetap pada konsentrasinya mengemudi, membiarkan Rana
bicara.
“How if I had sex with somebody else,
Om?”
Fadlan masih
diam.
“Om jawab
aku.”
“Siapa,
Rana?”
Tapi Rana
tidak bersuara. Sisi berani dan meluap-luap tadi mendadak menyublim jadi kaca
di pelupuk matanya. Rana tidak mau menangis sekarang, atau setidaknya secepat
ini. Masih ada ribuan kalimat yang dia siapkan untuk mencecar laki-laki bernama
Fadlan ini dan dia harus menyiapkan tenaga untuk segala kemungkinan.
“Itu penting
buat Om? Aku kira nggak ada rules
untuk kita nggak boleh tidur sama orang lain?”
Dan Fadlan
terdiam lagi. Rana menatap sisi wajah Fadlan yang tertangkap sudut matanya sambil
mendengarkan suara hujan yang menembus keheningan yang menyergap mereka
lagi-lagi. Begitu menyadari bahwa laju mobil ini melambat lalu berhenti, Rana
segera mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia tidak sadar bahwa mereka
sudah menjauhi pusat kota dan kini berada di perbatasan menuju kawasan suburban
yang relatif sepi. Lalu kembali menoleh dan menatap Fadlan, dan laki-laki itu
masih menatap lurus ke depan sambil mendengarkan air hujan.
“Om, you just have to say no.” Rana menghela
napas, “Or I will keep doing this. To
make sure ...
“That I don’t fall too deep into you.”
Rana
menggigit bibirnya. Hampir menangis.
“Om cuma
harus bilang jangan dan aku nggak akan ke mana-mana, Om.”
---
Aslinya,
Fadlan bisa saja bilang jangan. Dan semua perkara ini selesai lebih mudah.
Tapi, Fadlan tidak ingin, Rana jadi pengganti. Karena saat dia menatap mata
bulat Rana yang terlapisi kacamata itu, wajah Diana tiba-tiba muncul sekelebat.
Maka Fadlan
menghela napas, “Ini sulit buatku, Rana.”
Dan Fadlan
bisa melihat perempuan itu mendengus kasar sambil melepas kacamatanya. “Aku
tidak mau mengurung kamu lebih jauh dari ini. Aku ... nggak mau bertaruh.”
Tapi Fadlan
tidak tahu bahwa dengan berkata seperti tadi, Rana sudah bertaruh. Dia sudah
menukar semua yang dia punya dan tetap di sini. Bahwa Rana sudah melompati
batas-batas yang rupanya, sejak awal sudah kabur.
“Ini soal apa
sih, Om?” desak Rana.
“Rana, usia
kamu bahkan nggak sampai setengah usiaku.”
“Om kira pas
aku sepakat untuk menjalani hubungan ini, aku peduli sama hal-hal kayak gitu?
Kalau baru dibahas sekarang, Om telat satu tahun.”
Rana sama
sekali tidak bodoh. Kalau malam ini dia sudah bersikap seperti menyebalkan dan
mendesak jawaban, dia sudah tahu konsekuensinya. Dan dia memang butuh jawabannya. Ini sama sekali bukan
tanpa tedeng aling-aling, karena Rana bahwa ketika dia sudah memutuskan untuk
melompat melewati tebing dan menghancurkan batas-batas itu, dia menyadari bahwa
dia menuntut yang lebih dari apa yang dia jalan kemarin. Rana sudah terjun
bebas, dan dia butuh Fadlan untuk menangkapnya agar jatuhnya tidak begitu sakit.
Tapi Fadlan
pengecut. Pria yang mendominasi hubungan mereka selama setahun ini, ternyata
pengecut. Jadi, Rana bilang.
“Aku
pengecut, ya?”
Pria pengecut
ini, juga pria yang sama yang membuatnya tergila-gila. Karena pria yang ada di
sampingnya ini punya label harga yang sangat tinggi, dan barangkali Rana tidak
bisa membayarnya. Tapi dia nekat, dia
sudah nekat.
Karena di sini,
Rana sudah bicara cinta. Karena di sini, Rana sudah menukar semua perasaan yang
dia punya—betapa dia menginginkan laki-laki ini, dan betapa dia juga ingin,
sama diinginkannya.
“Nggak juga.
Tapi,” Rana menghela napas. “Aku udah lompat, Om. Aku udah nabrak semuanya. Dan
aku ... nggak mau sendirian.”
Fadlan
menelan kering tenggorokannya.
Dia ... juga
mau lompat.
Diraihnya
tangan kanan Rana yang lalu membuat perempuan itu mengerjapkan matanya berkali.
Dibawanya jemari itu masuk ke dalam jari-jarinya.
Fadlan juga
mau melompat.
“Jangan—“
Tanpa melepaskan
genggamannya, Fadlan maju dan meraih rahang Rana mendekat ke arahnya, lalu
berbisik—lagi-lagi dengan suara rendah, tepat di rahang Rana.
“Stop doing this. Jangan kabur ke Evan
... atau ke siapapun.”
Fadlan beralih
ke mata bulat Rana. Yang kini sedang menahan napas.
“Karena aku mau
lompat juga, Rana.”
Dan Fadlan
membawa rahang Rana mendekat sekali lagi untuk mencium bibirnya, melumatnya, membiarkan
cinta menguasai pergerakan mulutnya. Sementara Rana mengeratkan genggaman
Fadlan sambil memejamkan mata.
Jumat sore,
hujan mengurung mereka. Jalanan masih saja sepi, tapi baik kupu-kupu di perut Fadlan
maupun Rana, ramai sekali.
Setidaknya, untuk saat ini. Biar dia terobos semuanya, dia lewati semuanya, dia lawan semuanya. Toh, semua manusia berhak bahagia. Jadi, biarkan malam ini, dia melepas ciumannya ke Rana, tersenyum sambil menatap perempuan itu, lalu menciumnya sekali lagi.
Toh, semua manusia, berhak bahagia.
Komentar
Posting Komentar