Pesta : Lompat, Om!




Cerita sebelumnya

            Jumat sore, jalanan belum terlalu macet. Fadlan mengendarai mobilnya menuju indekos Rana.

            Indekos Rana ada tak begitu jauh dari kampusnya. Tapi tempatnya relatif sempit dan—menurut Fadlan—pasti akan membuat Rana merasa tidak nyaman baik ketika belajar ataupun mengerjakan skripsi. Beberapa kali dia meminta Rana untuk pindah tempat tinggal yang lebih luas dan lebih nyaman, beberapa kali pula Rana menolak dan menjawab,

            “Kosan aku udah paling nyaman sedunia, Om!” akhirnya, setelah permintaan yang kesepuluh, Fadlan menyerah menawarkan Rana satu unit apartemen miliknya untuk perempuan itu tinggali.

            Biasanya, Rana sudah menunggu di depan indekosnya. Tiap kali mereka berkencan, biasanya Fadlan akan memberi tahu ke tempat seperti apa mereka akan menghabiskan waktu. Dan Rana secara otomatis menyesuaikan penampilannya. Akan menemaninya dinner mewah, atau hanya menghabiskan akhir minggu di kondominium milik Fadlan.

            Tapi Jumat ini lain. Kemarin Rana hanya mengirimkan pesan, “Jumat ini bisa ketemu, Om?” dan tanpa banyak tanya, Fadlan mengiyakan permintaan perempuan itu. Mungkin Rana sendiri belum memiliki rencana akan ke mana mereka akhir minggu ini, tapi Fadlan tahu ini bukan agenda pertemuan seperti biasanya. Saat Fadlan sudah sampai di depan indekos Rana, dia menemukan perempuan itu sedang duduk dengan rok lipit warna cokelat muda selutut dan blus putih gading yang dibalut cardigan warna cokelat tua. Rambutnya digerai biasa dan sore ini Rana memakai kacamata.

            Rana tesenyum saat Fadlan membuka jendela mobilnya, dan secara otomatis membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang.

            “Kita mau ke mana, Rana?”

---

            Di mobil, hujan tiba-tiba saja turun relatif deras.

            Biasanya, Rana akan mengajak Fadlan untuk menceritakan bagaimana hidup laki-laki selama seminggu. Kemudian Fadlan balas menanyakan bagaimana kegiatannya sepanjang minggu. Mereka akan sibuk mengobrol sampai tiba di restoran, makan malam, lalu pergi ke kondominium milik Fadlan di tengah kota dan menghabiskan waktu di sana sampai minggu siang.

            Tapi, situasi yang seperti ini jauh dari ‘biasanya’.

            Rana benci sesuatu yang canggung, tapi dia juga tidak punya cukup tenaga untuk mencairkan suasana di dalam mobil ini. Jadi dia diam saja selama lima belas menit Fadlan memacu mobilnya entah ke arah mana. Mungkin ini lima belas menit terpanjang dalam hidupnya, sementara dia hanya duduk diam di kursi penumpang, bahkan tanpa selera untuk menyalakan musik seperti biasanya dia mengenalkan lagu-lagu gen Z kepada Fadlan.

            “Kenapa aku akhir-akhir ini merasa jauh dari kamu, ya, Rana?”

            Rana tercekat. Sejujurnya, dia tidak mengira Fadlan akan memecah hening duluan.

            “Hm.. nggak ... tahu?” Rana menjawab gugup.

            “Kamu mau bicara apa, Rana?”       

            Tapi Rana tidak buru-buru menjawab. Seperti semua kalimat yang sudah ia susun rapi di sel otaknya lebur bersama perasaan ragu yang tiba-tiba saja menyergapnya. Ia menolehkan kepala menghadap jendela dan menatap hujan yang turun semakin deras di luar sana.

            Ada bagian dari diri Rana yang meledak-ledak dan agresif untuk pernyataan ini, tapi di lain sisi—ada ketakutan yang merayap pelan-pelan. Bahwa dia bisa saja ditolak, bahwa dia bisa saja dicampakkan, dan bahwa ada seribu satu kemungkinan lain yang memotivasinya untuk urung.

            Tapi,

            “Pas Om telpon Evan nyari aku, itu sebenernya aku lagi bareng Evan.”

            Rana bisa merasakan bahu Fadlan sedikit berjengit terkejut. Tapi laki-laki itu tetap tenang dan berkata dengan suara rendah, “Oh ya?”

            Rana selalu lupa bahwa ada koneksi antara laki-laki paruh baya ini dengan yang namanya dominasi. Karena bahkan dalam situasi setenang ini pun, eksistensi Fadlan, suara rendahnya, dan kepasifannya untuk tidak memaksa Rana bicara membuat Rana justru terintimidasi.

            “Iya, pas aku menjauh dari Om itu, aku selalu di tempat Evan.”

            Tapi kali ini, dominasi dan segala boundaries itu lenyap secara telanjang di mata Rana begitu dia menyadari bahwa jemari Fadlan yang berada di setir mengerat.

            “Evan and you seems a good friend.

            Rana nyaris saja berteriak, “And we fucked!” tapi urung karena resikonya, Fadlan bisa saja menabrakkan Tesla ini ke benda keras apa saja di depannya. Maka Rana mengembuskan napas dan berkata kasar, “Yes, we are.”

            “Kenapa Evan tidak bilang, ya, kalau sedang bersama kamu? Kamu yang minta dia?” tanya Fadlan. Terlalu tenang, terlalu teratur.

            “Om ...”

            Rana menghela napas.

            You just have to say, jangan.”

            Fadlan menoleh.

            “Om cuma perlu bilang ‘jangan’, dan aku nggak akan kabur ke tempat Evan.”

            Fadlan paham apa maksudnya. Tapi dia tetap pada konsentrasinya mengemudi, membiarkan Rana bicara.

            How if I had sex with somebody else, Om?”

            Fadlan masih diam.

            “Om jawab aku.”

            “Siapa, Rana?”

            Tapi Rana tidak bersuara. Sisi berani dan meluap-luap tadi mendadak menyublim jadi kaca di pelupuk matanya. Rana tidak mau menangis sekarang, atau setidaknya secepat ini. Masih ada ribuan kalimat yang dia siapkan untuk mencecar laki-laki bernama Fadlan ini dan dia harus menyiapkan tenaga untuk segala kemungkinan.

            “Itu penting buat Om? Aku kira nggak ada rules untuk kita nggak boleh tidur sama orang lain?”

            Dan Fadlan terdiam lagi. Rana menatap sisi wajah Fadlan yang tertangkap sudut matanya sambil mendengarkan suara hujan yang menembus keheningan yang menyergap mereka lagi-lagi. Begitu menyadari bahwa laju mobil ini melambat lalu berhenti, Rana segera mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia tidak sadar bahwa mereka sudah menjauhi pusat kota dan kini berada di perbatasan menuju kawasan suburban yang relatif sepi. Lalu kembali menoleh dan menatap Fadlan, dan laki-laki itu masih menatap lurus ke depan sambil mendengarkan air hujan.

            “Om, you just have to say no.” Rana menghela napas, “Or I will keep doing this. To make sure ...

            “That I don’t fall too deep into you.”

            Rana menggigit bibirnya. Hampir menangis.

            “Om cuma harus bilang jangan dan aku nggak akan ke mana-mana, Om.”

---

            Aslinya, Fadlan bisa saja bilang jangan. Dan semua perkara ini selesai lebih mudah. Tapi, Fadlan tidak ingin, Rana jadi pengganti. Karena saat dia menatap mata bulat Rana yang terlapisi kacamata itu, wajah Diana tiba-tiba muncul sekelebat.

            Maka Fadlan menghela napas, “Ini sulit buatku, Rana.”   

            Dan Fadlan bisa melihat perempuan itu mendengus kasar sambil melepas kacamatanya. “Aku tidak mau mengurung kamu lebih jauh dari ini. Aku ... nggak mau bertaruh.”

            Tapi Fadlan tidak tahu bahwa dengan berkata seperti tadi, Rana sudah bertaruh. Dia sudah menukar semua yang dia punya dan tetap di sini. Bahwa Rana sudah melompati batas-batas yang rupanya, sejak awal sudah kabur.

            “Ini soal apa sih, Om?” desak Rana.

            “Rana, usia kamu bahkan nggak sampai setengah usiaku.”

            “Om kira pas aku sepakat untuk menjalani hubungan ini, aku peduli sama hal-hal kayak gitu? Kalau baru dibahas sekarang, Om telat satu tahun.”

            Rana sama sekali tidak bodoh. Kalau malam ini dia sudah bersikap seperti menyebalkan dan mendesak jawaban, dia sudah tahu konsekuensinya. Dan dia memang butuh jawabannya. Ini sama sekali bukan tanpa tedeng aling-aling, karena Rana bahwa ketika dia sudah memutuskan untuk melompat melewati tebing dan menghancurkan batas-batas itu, dia menyadari bahwa dia menuntut yang lebih dari apa yang dia jalan kemarin. Rana sudah terjun bebas, dan dia butuh Fadlan untuk menangkapnya agar jatuhnya tidak begitu sakit.

            Tapi Fadlan pengecut. Pria yang mendominasi hubungan mereka selama setahun ini, ternyata pengecut. Jadi, Rana bilang.

            “Aku pengecut, ya?”

            Pria pengecut ini, juga pria yang sama yang membuatnya tergila-gila. Karena pria yang ada di sampingnya ini punya label harga yang sangat tinggi, dan barangkali Rana tidak bisa membayarnya. Tapi dia nekat, dia sudah nekat.

            Karena di sini, Rana sudah bicara cinta. Karena di sini, Rana sudah menukar semua perasaan yang dia punya—betapa dia menginginkan laki-laki ini, dan betapa dia juga ingin, sama diinginkannya.

            “Nggak juga. Tapi,” Rana menghela napas. “Aku udah lompat, Om. Aku udah nabrak semuanya. Dan aku ... nggak mau sendirian.”

            Fadlan menelan kering tenggorokannya.

            Dia ... juga mau lompat.

            Diraihnya tangan kanan Rana yang lalu membuat perempuan itu mengerjapkan matanya berkali. Dibawanya jemari itu masuk ke dalam jari-jarinya.

            Fadlan juga mau melompat.

            “Jangan—“

            Tanpa melepaskan genggamannya, Fadlan maju dan meraih rahang Rana mendekat ke arahnya, lalu berbisik—lagi-lagi dengan suara rendah, tepat di rahang Rana.

            Stop doing this. Jangan kabur ke Evan ... atau ke siapapun.”

            Fadlan beralih ke mata bulat Rana. Yang kini sedang menahan napas.

            “Karena aku mau lompat juga, Rana.”

            Dan Fadlan membawa rahang Rana mendekat sekali lagi untuk mencium bibirnya, melumatnya, membiarkan cinta menguasai pergerakan mulutnya. Sementara Rana mengeratkan genggaman Fadlan sambil memejamkan mata.

            Jumat sore, hujan mengurung mereka. Jalanan masih saja sepi, tapi baik kupu-kupu di perut Fadlan maupun Rana, ramai sekali.

            Setidaknya, untuk saat ini. Biar dia terobos semuanya, dia lewati semuanya, dia lawan semuanya. Toh, semua manusia berhak bahagia. Jadi, biarkan malam ini, dia melepas ciumannya ke Rana, tersenyum sambil menatap perempuan itu, lalu menciumnya sekali lagi.

            Toh, semua manusia, berhak bahagia.

Komentar

What's most