Tetaplah Tinggal

Mungkin seharusnya, sebagai sahabat yang baik, aku harus memberimu selamat, tetapi entah rasa sakit ini menahanku untuk melakukannya, sehingga membuatku tetap bungkam, seolah takut untuk sekadar bicara. Salahkah jika aku patah hati kamu pergi?

Cerita tadi cukup membuatku terpukul. Entah sudah berapa lama kamu menjalin hubungan serius dengannya dan aku tidak tahu sama sekali. Aku begitu lugu sampai jadi tidak tahu bahwa selama ini kamu yang kukenal sudah jadi abu-abu, samar-samar, dan tidak tersentuh.
Sulit membayangkan bagaimana tadi sakitnya seperti apa. Senyum yang senantiasa melengkung dibibir saat temanku bercerita tentang hubunganmu dengannya benar-benar terlihat palsu dan getir. Malam tadi benar-benar menjadi malam terdingin dalam hidupku, dan pentas seni di alun-alun kota tadi benar-benar menjadi pentas paling menyeramkan yang pernah terjadi. Semuanya karena rasa sakit itu, yang terbentuk begitu dalam karena; kamu.

Belum habis rinduku terobati, kamu sudah buru-buru pergi lagi. Pergi bersama seseorang yang kini akan menjadi sayap barumu, yang sebentar lagi akan senantiasa mengiringmu kemanapun kamu pergi. Yang akan menjadi tempat dimana kamu akan tinggal dan menetap disana. Menggantikan posisiku; yang sebelumnya hanya sahabatmu.
Bukan kau yang sejahat itu meninggalkanku pergi, tapi aku yang tetap setolol itu mengharapkanmu agar tetap tinggal. Padahal aku bukan tempatmu menetap, tapi mengapa seolah-olah kamu begitu abadi disana?

Tentu, kamu tidak akan mengerti bagaimana aku bisa sepatah hati ini. Kamu adalah dewa paling tidak peka yang pernah hidup dan kucinta, dan entah mengapa aku bisa begitu bodoh mencintai manusia serba tak perasa seperti kamu, serba tidak peduli seperti kamu. Entah sejak kapan aku jadi sebodoh itu, mungkin sejak mencintai kamu. 

Persahabatan selama tiga tahun kupikir akan membuatku mati rasa, sehingga cinta takkan pernah tercipta diantara kita. Tapi dasar hati, tak bisa diantisipasi, apalagi dimanipulasi. Segalanya tercipta, terasa, ada begitu saja, tapi sebisa mungkin kusembunyikan. Aku takut, jikalau kamu tahu kamu akan pergi dan meninggalkanku, memutuskan persahabatan kita. Makanya sebisa mungkin aku ingin mengusaikan perasaanku secepatnya, tapi apakah melupakan dapat direncanakan?

Dan malam ini, ketika rasa cintaku sedang dalam puncak-puncaknya, kutahu kau sudah tidak lagi mencintai masa lalumu, tetapi mencintai orang lain, yang kini sudah jadi kebahagiaanmu. Segala rasa sakit itu bertumpuk, berlipat, berbisik lirik makin menyakitkan. Seperti menekan palu yang membuat sebuah lubang besar didadaku, sesak tiada tara, sakit tiada akhir. Iya, aku sehancur itu. Benar-benar sehancur itu.
Kepergianmu, bersama orang lain, membuat duniaku terasa seperti neraka. Segalanya kau bawa, termasuk hatiku.

Sayang, jika kuminta kautetap tinggal untuk tidak pergi, salahkah? Aku bukannya tidak ingin melepasmu pergi untuk bahagia, hanya aku belum begitu sanggup untuk hidup tertatih tanpamu, walau kutahu kautakkan jadi milikku.
Jika kuminta kautetap disini untuk menjadi temanku, salahkah? Aku hanya terlalu rapuh untuk hidup tanpa status kita, sebagai sahabat. Terlalu takut kehilangan rasa nyaman yang sudah begitu kuat tergali dalam hatiku.
Jika selama ini aku diam-diam mencintaimu, akankah kau tahu dan bisa menerimanya?

Untuk pria, yang menjadi tidak mungkinku.
Aku tahu kebahagiaanmu bukan ada padaku, tetapi jika aku berusaha untuk selalu ada, akankah kau berubah pikiran? Entah mengapa aku begitu tak rela untuk membiarkanmu pergi bersama wanita yang mungkin lebih sanggup menjadi membuatmu bahagia. Dan jika aku sudah relapun, akankah ada jaminan aku takkan merindukanmu?

Sayang, jikalau kuminta agar kau tetap tinggal disini, salahkah? Jikalau kuminta kau tetap bersamaku, tak bolehkah?

Dari seseorang
Yang takut kehilangan

Komentar

What's most