Farrel

Sebelumnya :Arina

Jangan lagi bohongi dirimu sendiri. Aku tidak sebodoh itu hingga tak bisa membaca takdir bahwa kenyataannya hatimu masih tertinggal di masa lalu.
---

             Aku menghabiskan seharian ini dengan berkas-berkas kantor yang menumpuk. Aku melirik arloji, ah, sudah pukul lima sore. Aku meraih ponselku, menghubungi nomor yang namanya selalu peringkat satu di log panggilanku. Arina.

            Arina adalah calon istriku. Minggu depan kami akan menikah, tapi aku tahu ada hal yang masih membuatnya ragu untuk menikahiku. Entah, dia bisa menyembunyikan segalanya dengan baik, tapi aku tahu ada hal yang membuatnya seolah enggan. Aku mencoba menerka-nerka, tapi gagal. Arina terlalu misterius dan sulit ditebak, itu yang membuatku kadang tak mengerti jalan pikirnya.

            Minggu lalu, aku tak sengaja melihat folder tulisannya di laptop. Ada beberapa rangkaian paragraf karya Arina yang manis—seperti sang empunya. Sekitar dua puluh cerita pendek yang kubaca, dan rata-rata isinya adalah tentang kesukaran seseorang untuk lepas dari jerat masa lalu. Dan semua tokoh pria-nya, Arina beri nama Rehan.

            Aku bisa melihat bahwa Arina menulis menggunakan hatinya. Setiap kalimat yang ia ciptakan seperti gambaran betapa kalut hatinya saat itu. Walau Arina terlihat selalu ceria, tapi aku tahu bahwa gadis itu sebenarnya rapuh. Arina bisa membohongi siapapun, tapi tidak dengan orang yang sangat mencintainya—aku.

            Aku tahu bahwa tokoh Rehan bukan sekadar fiksi. Sosok Rehan tentu ada di masa lalu Arina, entah siapa dia, aku tak tahu. Tapi jelas terlihat bahwa tentu Rehan bukan sekadar tokoh yang Arina ciptakan sendiri. Aku tahu Rehan nyata—dan dengan begitu artinya kekalutan Arina juga nyata.

            Saat itu, aku tenggelam dalam jalan pikirku sendiri. Aku tiba-tiba saja takut kehilangan Arina, dan ketakutan itu semakin kutepis malah semakin menjadi-jadi. Aku semakin terlarut dalam tulisan Arina tentang masa lalunya. Dan aku membaca dia seperti sosok yang berbeda. Aku merasa sudah mengenal Arina, tapi di sisi lain dia terlihat asing, abu-abu, dan begitu sulit untuk kusentuh.

            Tiba-tiba saja, aku begitu geram. Aku marah pada Rehan-yang-entah-siapa-itu terasa begitu Arina cintai.

            Aku mendesah keras dan melihat ke pemandangan luar yang dapat kusaksikan lewat jendela besar kantorku. Suasana romantis kotaku terlihat semakin kental jika malam tiba. Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang tak membuat jalanan ramai, bahkan bisa dibilang renggang. Nuansa yang tenang, sepi, dan damai seperti ini selalu membuatku jatuh cinta. Jatuh sejatuh-jatuhnya seperti ketika aku tahu bahwa sosok Rehan memang nyata.

            Aku tahu karena aku melihat sebuah amplop yang berisi undangan pernikahanku dengan Arina. Undangan yang Arina letakkan di atas meja di sudut kamarnya. Undangan yang berbeda sendiri karena sengaja Arina bungkus rapi.

            Dan di atas kertas yang tertempel di badan undangan, tertulis dengan rapi, oleh tulisan tangan milik Arina sendiri ; Rehan Abiphraya.

            Aku menempelkan ponsel ke telinga sambil menunggu panggilan tersambung, dan saat tersambung, seperti biasa, hatiku berdebar, bergetar hebat mendengar suara seseorang yang kucintai.   

            “Hallo, Farrel?” desis Arina dari ujung telepon sana. Tungu ... ada yang berbeda dari nada suaranya, seperti suara seseorang yang baru usai menangis.

            “Kamu gak apa-apa, Arina?” tanyaku khawatir.

            “Aku selalu gak apa-apa tiap kamu telepon, Rel.” Bodoh, aku tahu kamu bohong, Arina.

            “Ya sudah,” berpura-pura tidak peka lebih baik. “Ada acara besok pagi?” lanjutku bertanya.

            “Nggak. Mau ketemu?”

            “Iya. Ada hal penting yang harus kita omongin. Besok aku ke rumah kamu,” aku mengela napas, “Usahakan orang tua kamu ada di rumah. Mereka juga harus—“

            “ Perihal apa, Farrel?”

            “Ini perihal kita.” Aku mematikan panggilan sebelum aku semakin tak sanggup menahan diri. Aku menggaruk kepalaku kasar. Aku benar-benar frustasi. Semua jalan membuatku tersesat, semua arah terlihat salah; dan semuanya karena aku terlalu mencintai gadis itu yang kutahu bahwa dia tak balas mencintaiku.

            Aku tahu aku bodoh.

            Aku tahu di tak mencintaiku, tapi aku selalu memaksanya untuk begitu.

            Ah, Arina, tidakkah kau tahu bahwa saat ini hatiku begitu hancur?

            Selanjutnya : Nindia

Komentar

What's most