Nindia

            Sebelumnya : Farrel

            Angin yang terlalu kencang berhembus, atau aku yang lemah hingga begitu mudah terhempas?

            ---

            Pria itu masuk begitu saja hingga kemudian memenuhi rongga-rongga hatiku. Ia menelusup begitu saja untuk mengisi labirin-labirin kosongnya. Begitu saja; tanpa seizinku.

            Ketika aku mengenalnya, aku tahu bahwa pria itu telah berdua. Pria itu sudah memiliki kekasih yang bernama Arina. Tapi tetap saja, hatiku yang angkuh terus maju untuk mengejar pria itu. Perlahan aku berhasil mencairkan hatinya yang beku dengan pesonaku.

            Ah, jadi begini rasanya jadi orang ketiga?

            Waktu itu, aku tak pernah berpikir bahwa ternyata perasaanku malah tumbuh semakin jauh. Kupikir aku tak akan menganggap Rehan adalah satu hal yang perlu kuseriusi. Aku berpikir bahwa menjadi orang ketiga hanya sejenis pelepasanku untuk mencoba sesuatu yang baru dalam hal jatuh cinta.

            Tapi, nyatanya aku salah.

            Perasaan ini menjelma menjadi sesuatu yang begitu hebat. Semakin kuat, semakin dalam, dan aku menjadi semakin tak mengerti. Tiba-tiba saja, aku dirajai oleh ketakutan-ketakutan itu; yang sama sekali tak bisa kupahami.

            Aku menjadi sangat mencintai Rehan dan tak ingin kehilangan sosok itu. Aku semakin terikat padanya. Semakin jatuh pada pesonanya. Jatuh dalam sekali.

            Waktu itu, aku berusaha menjadi segalanya bagi Rehan. Aku berusaha selalu ada, selalu mengerti dia, dan berusaha menjadi apa yang dibutuhkan oleh pria yang sulit kutebak itu. Tapi, tentu bahwa dengan posisiku yang seperti ini, memiliki Rehan seutuhnya adalah delusi. Aku menjadi terbiasa dengan duniaku—bersama Rehan—yang tercipta secara sembunyi-sembunyi. Bagiku, bersama Rehan seperti menemukan matahari setelah aku terbiasa dengan mendung yang sepi. Bersama Rehan; aku seperti menemukan belahan jiwa, walau belahan jiwa itu telah memiliki belahan jiwa yang lain.

            Huh! Secantik apa, sih, Arina itu?

            Tapi terlepas dari semua itu, aku tak tahu mengapa aku yang angkuh dan sinis ini bisa mencair melihat Rehan. Pria seniman dengan tampilan awut-awutan itu entah mengapa terlihat begitu tampan dan menggemaskan. Aku bukan tipe pecinta yang berpikir bahwa tampilan luar itu nomor satu, tapi aku selalu tenggelam pada senyum Rehan yang dalam dan memabukkan. Senyuman itu menambah sisi tampannya menjadi terakreditasi A.

            Senyum itu; yang membuatku jadi sangat mencintainya.

            Seharian ini aku sibuk mengajar murid-muridku yang  menggemaskan. Anak-anak taman kanak-kanak memang selalu membuatku bahagia. Setidaknya, senyum mereka bisa membuatku sejenak lupa dengan dunia luar yang menyeramkan dan menyedihkan. Aku bisa melupakan rasa takutku, rasa sedihku, rasa kalutku, dan menyembunyikan air mata ini dibalik senyum palsu.

            Senyum palsu yang terbiasa menghiasi bibirku sejak empat tahun lalu ini disebabkan oleh kehilangan yang kualami bertubi-tubi. Orang tuaku meninggal karena kecelakaan dan sejak itu aku mulai membangun hidupku sendirian. Kemudian aku bertemu Rehan, jatuh cinta padanya, memilikinya, dan ... harus terpaksa ikhlas kehilangan dia. Rasa sakit itu datang bertubi-tubi, menghajarku, menyiksaku, dan seolah ingin membunuhku dalam sekali tebas. Kesakitan itu seolah tertawa ketika melihatku nyaris mati sejak percobaan bunuh diriku dulu. Sayangnya, digagalkan oleh pria itu.

            Aku sedikit kesal dan malu mengingatnya. Aku hendak menjatuhkan diriku ke sungai dan tiba-tiba dia datang dengan niat menyelamatkanku. Pria yang tampak seperti pekerja kantoran itu berlari heboh ke arahku dan mencegah percobaan bunuh diriku. Dia menceramahiku panjang lebar seolah dia adalah manusia paling bijak sedunia padahal tampak jelas bahwa dia adalah pria yang bermasalah juga sepertiku. Mulutnya bau alkohol, dan, hell, siapa yang berkeliaran di sungai pukul dua dini hari?

            “Kamu masih muda! Cantik pula! Jelaskan apa yang membuat kamu bertindak bodoh dengan mencoba bunuh diri begini?!”

            Aku tertawa mendengarnya bercakap seperti itu dan dalam sedetik niat bunuh diriku berubah goyah.

            Aku berterima kasih pada Tuhan, atau apapun itu karena jika aku tidak punya niat bunuh diri, aku tidak akan mengenal pria itu. Pria yang kini menjadi donatur terbesar di yayasan taman kanak-kanak milikku. Well, meski pria itu terlihat seperti seseorang yang punya banyak masalah, dia bernasib lebih baik daripada aku karena dia sudah punya kekasih. Walau terakhir kali dia menceritakan padaku dia bilang bahwa kekasihnya itu tampak tidak mencintainya. Walau begitu, dia tetap akan menikahi gadis itu. Alasannya klise, dia sangat mencintainya. Aku tertawa ngakak.

            Tapi, tidak ketika baru saja dia meneleponku.

            Dia berencana membatalkan pernikahnnya padahal itu akan dilaksanakan minggu depan.


            Siapa yang tidak kaget?

Komentar

What's most