[Surat Cinta #4] Dariku untuk Benedikta
Untuk yang selalu merasa bahwa dirinya lucu dan
menggemaskan.
Terus terang, kau adalah mahluk paling keras kepala yang
pernah kukenal. Kau juga mahluk paling ambisius yang sangat menyebalkan. Kau
tak pernah menggunakan perasaanmu saat bicara, dan menggunakan otakmu saat
berbicara. Kau adalah Si Aneh yang merasa bahwa kau kawaii. Kau adalah segala
hal paling menyebalkan yang diciptakan satu paket dan ditiupkan dalam ruh
seseorang.
Tapi, entah mengapa aku sangat betah bersahabat denganmu.
Terlepas dari semua keanehan itu, kau adalah sosok paling
tegar yang pernah kutahu. Kekuatanmu, keteguhanmu menghadapi semua itu,
kecerdasanmu dalam beradu argumen, kelihaianmu dalam mematahkan pendapat semua
orang. Kau adalah sosok idealis yang tak gentar.
Kau itu kau. Dan aku bahagia mengenalmu.
Tunggu, jangan tinggi hati dulu. Kau tidak sehebat yang
kau kira, ya! Kalau kau benar-benar hebat, orang-orang itu tak akan men-judge dirimu. Mereka tak akan menilai
kauburuk. Mereka tak akan memberimu tekanan-tekanan yang terpaksa kauterima.
Jika kau benar-benar hebat, kau tak perlu menulikan telinga saat bisikan busuk
itu mulai menjamah dan menggerayangimu.
Kau tidak sehebat itu, tapi kau adalah sahabatku.
Semesum apapun kau, semenyebalkan apapun kau, kau adalah
sahabatku. Bahkan sekalipun bercandamu tak bisa kutoleransi (kuyakin kautertawa
membaca ini), kau adalah sahabatku. Dan rasanya, sulit membayangkan untuk hidup
tanpa mahluk sepertimu. Bayangkan, bagaimana manusia seperti aku harus hidup
normal?
Aku tidak tahu akan mulai bercerita dari mana karena
rasanya kisah persahabatan kita terlalu manis jika kutulis satu persatu. Oke,
alasan sebenarnya bukan itu. Otak dengan kapasitas tak seberapa milikku ini tak
begitu sanggup untuk menyimpan semua kenangan itu. Aku tak sanggup untuk
mengingat semuanya karena terlalu banyak dan ... terlalu indah.
Indah. Karena sejak mengenalmu, (aku agak menyesal
mengapa kita tak dekat sejak awal SMP) aku mulai bisa melihat warna dari
sesuatu yang dulunya abu-abu. Kau membantu membukakan mataku bahwa jalan tak
hanya satu. Kau membantuku—secara tak sadar—untuk melihat dunia, dari sisi yang
berbeda.
Kau tahu, ‘kan, kisah persahabatan kita terlalu dramatis
untuk diabaikan, tapi terlalu aneh untuk dijadikan novel. Jadi, aku tak sering
mengabadikan cerita-cerita tentang kita dalam bentuk karya sastra. Aku cukup
membukukannya dalam buku kenangan dan sesekali membukanya saat aku tak tahu harus
bagaimana menghadapi dunia.
Ternyata benar, ya, punya sahabat itu menguatkan.
Ben, jangan baper
jika aku menulis bagian ini dengan sedikit bumbu dramatis!
Kau tahu, ada banyak hal yang sebenarnya menggangguku
akhir-akhir ini. Ada begitu banyak ketakutan, rasa sakit, dan yang lainnya.
Semuanya terlalu banyak dan kekuatanku yang kupelajari darimu tak lagi bisa
menampung semuanya. Kau mau tahu apa yang menjadi salah satunya?
Kehilangan dan ... perpisahan.
Selepas kita pulang dari hang out kita Rabu lalu, aku membayangkan bagaimana jika ternyata
takdir menuntutku untuk kehilangan kau juga. Aku takut dan akhirnya aku sadar
saat ini aku belum cukup kuat untuk kehilangan seorang sahabat lagi.
Membayangkannya pun ternyata menyakitkan.
Jika iya, tak ada lagi temanku berbagi hal baru, berbagi
kebahagiaan, berbagi rasa sakit, berbagi luka, berbagi air mata, berbagi gosip,
berbagi pelukan, berbagi tawa, dan berbagi boncabe
saat kita makan mie bersama. Sulit rasanya membayangkan harus hidup tanpa
hal-hal sesederhana itu bersamamu.
Aku takut kehilangan kau, Ben. Aku tak ingin kehilangan
separuh hati lagi setelah aku kehilangan dia. Dunia ini cukup menyakitkan jika
harus kunikmati sendiri.
Jangan nangis, Bodoh!
Aku menulis ini malam-malam dan ternyata rasa kantukku
terlalu kuat untuk kulawan. Ini tak bisa kausebut surat cinta karena ini penuh
dengan curhat-baper khas kita. Jadi,
sebut saja ini adalah caraku mengabadikan kita.
Terus perjuangkan apa yang jadi cita-citamu, Ben. Kau
tahu, salah satunya adalah, naiklah semakin tinggi, tanpa menjatuhkan siapapun.
Aku menyayangimu.
Komentar
Posting Komentar