Arina
Sebelumnya : Rehan
Aku ialah butiran debu, sementara kau ialah angin yang menerbangkannya. Aku selalu kalah jika lawannya adalah; mencintaimu.
Aku ialah butiran debu, sementara kau ialah angin yang menerbangkannya. Aku selalu kalah jika lawannya adalah; mencintaimu.
---
Aku menyela air mataku yang tak lagi bisa kutahan
derasnya. Kepalaku sudah super pening tapi mendung di mataku tak bisa
menoleransi—hujan yang ia ciptakan semakin deras. Aku menangis lagi, untuk
alasan yang sama, karena sosok yang sama.
Aku menghela napas, seharusnya aku bisa lebih bahagia
daripada ini.
Rehan. Sosok itu masih belum hilang dari ingatanku. Pria
yang kebahagiaannya selalu kuperjuangkan empat tahun yang lalu. Pria yang dari
pengabaiannya malah membuatku semakin menggilainya. Pria yang sikap angkuhnya
selalu membuatku jatuh semakin dalam pada pesonanya. Pria seniman yang hanya
tahu melukis dan tak pernah mempedulikan apapun jika sudah bertemu kuas dan
kanvas.
Pria—yang sangat kucintai.
Aku menghabiskan waktu sejak sore ini untuk menulis. Ah,
aku bukan penulis yang handal, tapi jika yang kuceritakan adalah tentang Rehan,
jemariku yang kaku selalu sanggup menari di atas keyboard dari malam sampai
pagi.
Kenalkan, namaku Arina. Seseorang yang terbiasa menulis
dengan air mata. Seseorang yang terbiasa menguliti luka. Seseorang yang masih
mencintai masa lalunya.
Aku kembali memutar ingatanku ke empat tahun yang lalu.
Memori-memori itu terputar begitu saja—seperti roll film. Saat-saat
perkenalanku dengan Rehan. Sejujurnya, aku sudah mengenalnya; jauh sebelum
perkenalan resmi itu terjadi. Hari pertama aku menjadi mahasiswa, aku sudah
mengenal—mengetahui sosok itu. Pria slengekan
yang terkesan acuh dengan suasana di sekitarnya. Pria yang entah mengapa
terkesan begitu misterius membuatku penasaran.
Dan rasa penasaran itu membawaku semakin jauh.
Tanpa kusadari, perasaan yang bermula dari rasa penasaran
itu tumbuh begitu saja dengan cepat di luar kendaliku. Aku selalu mencuri-curi
waktu untuk bertemu dengannya dengan makan di kantin Fakultas Seni, meski aku
masuk jurusan Sastra. Hal itu semata-mata hanya untuk melihatnya, pria yang
belakangan kuketahui bernama Rehan Abiphraya.
Ketika pada akhirnya perjuanganku bersambut dan kami
resmi menjadi sepasang kekasih, aku tak menemukan alasan untuk meninggalkan
pria itu meski aku tak pernah dipedulikannya. Dia hanya peduli pada kanvas,
kuas, dan buku sketsanya. Aku bisa menerima itu, aku masih senantiasa
membawakannya makan saat ia lembur dengan gambar-gambarnya. Aku berusaha selalu
ada; walau aku tahu bahwa aku bahkan tidak dianggap ada.
Aku masih bisa menerima itu sampai dia menduakan cintaku.
Dia membagi hatinya dengan gadis jalang itu. Aku merasa hancur. Benar-benar
hancur.
“Kita sampai di sini saja, Rehan. Tak ada lagi alasan
bagi kita untuk terus mempertahankan. Segalanya terlalu menyakitkan ... “
kataku waktu itu. Di sudut kafe tempat aku dan Rehan biasa bertemu.
“Semua salahku, Arina.” Katanya terdengar menyesal. Tapi,
aku menulikan telingaku, berusaha tidak peduli. Walau saat itu aku mati-matian
menahan perasaan untuk menyelamatkan hatiku.
Dan akhirnya, aku pergi. Aku pergi meninggalkannya
terpaku. Aku berlalu—dengan begitu bodoh—karena tak membawa kepingan hatiku
ikut serta.
Iya, hatiku masih di sana. Bersama pria yang juga sedang
terpaku di sana.
Aku menyeka air mataku entah untuk keberapa kalinya. Aku
melirik ke sudut kamarku. Di atas meja, ada sebuah amplop yang sudah kubungkus
rapi. Di dalamnya berisi sebuah undangan; undangan pernikahanku. Iya, aku akan
menikah minggu depan. Dengan pria bernama Farrel yang selama ini selalu berada
di sisiku sejak empat tahun lalu.
Ah, undangan itu seharusnya sudah aku berikan. Tapi,
bagaimana caranya? Bagaimana caranya menahan diri untuk tidak memeluknya jika aku akan
bertemu dengannya lagi?
Ponsel yang kuletakkan di samping kiriku berbunyi dan
menampilkan nama Farrel. Aku menarik napas, menguatkan diri.
“Halo, Farrel?” sejauh ini lebih baik. Aku mengatur
posisi dudukku agar suaraku tak terdengar seperti orang habis menangis walau
kenyataannya memang seperti itu. Aku berusaha; menegarkan diri, menyembunyikan
kerapuhanku.
Rehan, aku akan menikah minggu depan.
Tapi hatiku kosong, duniaku hampa.
Komentar
Posting Komentar