Perbedaan dan Kesakitan

Mengingatmu adalah caraku mengurai rasa sakit. Saat rona jingga membelah langit, waktu memberitahuku satu kenyataan pahit. Kautahu apa itu?

Pahit saat tahu bahwa aku harus merelakanmu.
Pahit saat tahu bahwa tanpa pernah memilikimu, aku harus melepaskanmu.

Tuan Maha Jauh, kau tentu tahu bahwa sejak kita terlibat dalam cakap panjang waktu itu, dadaku mulai bergemuruh. Padahal aku tahu, semakin mencintaimu, maka semakin pula jiwaku merapuh. Hal itu membuatku yakin pada kesimpulan bahwa jatuh cinta padamu seperti berjalan sendiri untuk untuk menjemput kematianku.

Diamku membuatku semakin hebat merasakan rindu. Dadaku berdebar, membuat semua puing-puing kenangan tentangmu semakin terbakar. Aku mulai mengais-ais, apapun yang bisa kutulis. Kautahu bahwa aku tak bisa sepertimu, Tuan Puitis. Aku tak pandai merangkai kata hingga membentuk kalimat romastis. Aku tak lihai menyulap puisi menjadi satu hal yang sakral dan magis. Yang kutahu hanya menangis, dan dengan air mata itu aku menulis.

Kau boleh mengumpatiku labil karena aku tak menulis seperti biasanya. Tapi jika masih bercerita tentangmu, semua yang kaubaca akan terlihat sama. Masih penuh luka, penuh duka, dan penuh air mata. Tentu, apa yang bisa dibanggakan dari cinta yang bertepuk sebelah saja?

Ingatkah kau pertemuan kita waktu itu? Saat aku menyeduh dua gelas kopi untuk kunikmati bersamamu, yang akan sesekali kau sesap di sela ceritamu. Kita duduk di teras studio lukismu, bercerita panjang lebar tentang banyak hal. Dari harga BBM yang kini semakin mahal, sampai tentang puisi bebal yang membuatku menangis karena di sana cinta beda agama terlihat halal. Kau menenangkanku, dan aku malah semakin ingin menangis karenamu.

Pada percakapan panjang kita waktu itu, hujan turun dengan beringas. Airnya menggagahi tanah dengan kapasitasnya yang deras. Tapi kau tentu tahu bahwa derasnya air hujan masih kalah memilukan dibanding derasnya air mataku.

Kala itu, kopimu sudah habis dan kopiku masih setengah. Kita sibuk dengan keheningan masing-masing walau di antara kita saling mengakui bahwa diam itu bengah. Di sela sepi itu, kau genggam tanganku. Kau remas dengan eratnya dan membuatku sangat ragu apa kau akan sanggup meninggalkanku. Kau selipkan jarimu di sela jariku. Saling menaut, saling menyatu.

Tapi, siapa sangka bahwa ternyata Tuhan itu lebih kejam daripada keadaan?

Dalam waktu sepersekian detik, aku bisa merasakan getar suaramu ketika kau bilang "Pergilah." dengan titik. Kau tahu betapa hancurnya aku waktu itu? Kau tahu betapa kalutnya perasaanku? Kau bilang kau mencintaiku, jadi, jelaskan padaku sejak kapan cinta selicik itu!

Kau terus bercerita tentang keadaan, tentang takdir dan kita yang menurutmu tak sejalan. Bahkan, kau tak pernah benar-benar memperjuangkan. Kau tak pernah serius menghadapi semuanya dan serius mempertahankan. Sayang, aku bahkan yakin bahwa kau hanya menganggap cinta ini sekadar guyonan.

Kau bilang, ini yang terbaik. Dari mana kau yakin bahwa tak ada yang lebih buruk dari ini? Tentang kita yang dipaksa meloncat ke kenyataan saat kita tengah terbuai mimpi. Aku tak pernah sebegitu dalam tersakiti oleh harapan, tapi sekali terkena jeratnya, aku tak bisa tahan oleh sakitnya. Aku menangis, dan yang kali ini hatiku benar-benar teriris. Rasa sakitku menjelma egois. Air mata yang kali ini nyata, bukan drama.

Aku tahu kau mencintaiku, tapi aku tak tahu bahwa ternyata cinta bisa menjelma menjadi selicik itu.

Oh, mungkin, bukan cinta yang licik, tapi Tuhan yang tak merestui bersatunya dua hamba yang menyembah-Nya dengan cara yang berbeda.

Begitu, 'kan, katamu?

Aku mencintaimu, kau mencintaku. Tapi cinta kita bertepuk sebelah tangan dengan Tuhan. Dan saat aku--kuharap juga kamu--tengah menangisi perpisahan, bisa kaulihat bahwa mereka yang menghujat cinta beda agama tengah puas bertepuk tangan.

Dari Muslim,
yang mencintaimu;
Si Katholik.

Selanjutnya : (Tak Seperti) Istiqlal dan Katedral

Komentar

What's most