Rehan
Aku mencarimu, terus mencarimu
walau kutahu kau tak akan kutemukan. Aku berjalan, terus berjalan walau kutahu;
tak ada engkau di ujung perjalananku.
---
Aku menghisap
rokokku lagi. Dua jam ini entah sudah berapa batang yang kuhabiskan. Aku mengabaikan
kanvas-kanvas dan cat air-cat air yang tercecer di ruanganku. Aku juga
mengabaikan semua pesanan klienku. Aku mengabaikan segala hal; tapi tidak
dengan Arina.
Arina-ku, yang
sekarang berusaha kubahagiakan tanpa sepengetahuannya. Gadis yang wajahnya
selalu ingin kuabadikan di atas kanvas. Siluet mukanya, bola mata-nya yang
hitam dan sorotnya yang bening, alisnya yang hitam alami, pipinya yang tirus
tapi mengagumkan. Segala yang ada padanya adalah pahatan surga, yang selalu
gagal kulukiskan di atas kanvas karena terlalu sempurnanya.
Arina adalah
satu-satunya gadis yang rela mengabdikan hidupnya untukku, tapi kesetiannya
malah kuabaikan. Gadis itu tak menuntut apapun, malah selalu menurut. Dia
selalu mendengar keluh kesahku, tanpa mengeluh. Arina tak merengek manja padaku
agar aku mengantarkannya kemanapun. Juga tak menuntut agar aku selalu
memberinya kabar. Dia yang selalu mengirimiku makan ketika pesanan lukisan
menumpuk. Arina selalu tahu cara untuk membahagiakanku, walau aku sangat sadar
bahwa aku tak pernah membahagiakannya. Selama bersamanya, yang bisa kulakukan
hanyalah menyakitinya.
Arina adalah
korban sandiwara yang seharusnya tak pernah ada ini. Sandiwara yang kuciptakan
sendiri, ketika tak sengaja perasaanku terbagi. Ketika mataku menjamah pesona
gadis lain dan hatiku merasakan getar aneh yang tak pernah kurasakan
sebelumnya. Arina tak tahu apa-apa, tapi dia yang terluka. Ketika aku membagi
cintanya untuk gadis lain atau tepatnya ketika Arina mengetahui hal itu, ia
tetap tak menyalahkanku. Ia malah menyalahkan dirinya sendiri yang merasa tak
becus membahagiakanku hingga aku jadi mencari kebahagiaan lain yang bukan dari
dirinya. Ah, Arina, bukan salahmu.
Ketika Arina
memutuskan pergi, aku sadar bahwa sebagian hidupku terbawa bersamanya. Kini, dunia-ku
kosong, dunia-ku hampa. Dan aku, sangat merindukan Arina.
“Tak ada yang
salah, Re, wajar saja kalau kau tertarik dengannya, dia cantik dan tak dekil
sepertiku,” ujarnya lembut kala kita bertemu waktu itu. Setelah ia mengetahui
bahwa aku membagi cintanya ia masih bisa berucap begitu.
“Aku tolol,
Arina,” desisku lirih sambil menggenggenggam tangannya. Tapi, Arina tak lagi
sama. Ia menarik tangannya dan seolah tak mau digenggam olehku. Arina,
senyumnya tak pernah surut,
“Tidak, Rehan,
segalanya akan tetap baik-baik saja. Sekarang, aku harus pergi.”
Itu adalah
pertemuan terakhirku dengan gadis itu. Setelah itu, kami jarang bertemu,
bertatap muka, apalagi bertukar cerita. Aku baru menyadarinya ketika Arina yang
semakin jauh, ternyata depak langkahnya membawa kepingan hatiku ikut serta. Aku
tak bisa mencintai siapapun, bahkan seseorang yang dulu membuatku bingung harus
menentukan pilihan untuk bersamanya atau Arina. Aku mati rasa. Kini aku
sendirian, dan aku juga tak berharap akan ada orang lain yang akan menemaniku;
kecuali dia Arina.
Aku masih menyesap
rokokku. Potongan-potongan memori tentang Arina ternyata sama sekali belum
hilang dari otakku meski itu sudah dua tahun berlalu. Aku menatap kanvasku,ada
gambar yang berupa sketsa dan belum kuberi warna. Lagi-lagi yang terlukis di
sana, wajahnya, Arina. Aku menarik napas berat. Mau sampai kapan aku begini,
Arina?
Aku menarik kanvas
dari tempatnya, memeluk bayangan Arina yang tetap saja tak tersentuh. Memeluk
bayangannya yang takkan pernah jadi nyata. Memeluk sosoknya yang tak lagi bisa
kusentuh. Tak lagi; setelah kusia-siakan dulu.
Aku belum
melepaskan pelukku dari kanvas itu. Aku merasakan pipiku basah entah oleh apa,
bahkan aku yakin Arina pun tak akan tahu karena kini ia juga tak akan mengerti
rasa sakitku. Sakit yang begitu hebat, begitu kuat, begitu menggebu. Aku
merasakan ada yang mencengkeram kuat dadaku, rasanya perih, Arina.
Kini, semua tak
bisa kukembalikan. Meski duniaku lumpuh tanpa Arina, waktu tetap berjalan. Sekeras
apapun aku mencoba melupakannya,mencoba mengabaikan semua rasa sakit yang
menyertainya, rasanya tetap menyakitkan. Tetap menyakitkan, Arina. Apalagi
ketika tadi pagi ada seseorang yang mengantarkan sebuah surat. Awalnya kupikir
begitu. Sebuah surat karena ia terbungkus amplop, tapi ternyata tidak.
Di dalamnya berisi
sebuah undangan.
Arina akan menikah
minggu depan.
Dan duniaku
semakin hancur.
Selanjutnya : Arina
Komentar
Posting Komentar