Roda Becak yang Berbicara

            “Tulung, Ra, bertahan sediluk maneh. Hampir sampai.” Ujar Fadil yang duduk si sebelah kiri di kursi penumpang becak yang mereka tunggangi.

            Haryo—yang menggenjot becak—semakin memacu pedalnya dengan kuat. Peluh bercucuran di pelipisnya, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin Ira—wanita yang akan melahirkan itu—segera sampai ke rumah sakit.

            “A-aku ... ndak yakin ... bisa nunggu.”
            ---

            Aku menunggu Pak Haryo, tukang becak yang biasa mengantarku sekolah di depan rumahku. Subuh tadi, ayahku sudah berangkat menuju lahan proyek tempatnya bekerja sebagai kuli. Aku sudah menunggu sejak pukul enam tadi dan sekarang, sudah pukul setengah tujuh dan Pak Haryo belum menampakkan dirinya. Aku mulai cemas, aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk padanya.

            Aku memainkan dasi merahku yang menggantung di leher untuk mengusir bosan sekaligus menepis rasa cemas. Duduk setengah jam lamanya di kursi depan rumahku membuat pantatku terasa kurang nyaman. Aku memutuskan berdiri, meliukkan badanku ke kiri dan ke kanan. Dan saat aku menengok ke arah kanan, aku menemukan Pak Haryo tengah mengayuhkan pedal becaknya menuju rumahku. Aku tersenyum.

            “Maaf, Nok, barusan Bapak nganterin korban kecelakaan di depan gang ke rumah sakit. Kasihan ... daripada tunggu ambulan lebih baik Bapak antar. Lagipula cedhak, kok,” jelas Pak Haryo ketika ia sudah sampai tepat di hadapanku—tanpa turun dari becaknya.

            “Korbannya luka parah, ndak, Pak? Terus pripun we, niku?” tanyaku simpatik.

 Pak Haryo tersenyum seraya menggeleng, “Ndak. Sikile ae luka, karo getihe metu akeh,” ujarnya lalu mengambil handuk di kursi becak yang tampak ada sedikit bercak darahnya, dan menyampirkannya di pundak kanan. “Ayo, Nok, berangkat sekarang. Nanti kowe telat.”

            Aku mengangguk dan segera naik ke kursi penumpang becak. Pak Haryo mengayuh becaknya pelan, menuju sekolahku.
            ---

            Aku bukan orang yang kaya. Seperti yang kukatakan tadi, bahkan ayahku seorang kuli. Banyak yang sering bertanya, mengapa aku selalu berangkat diantar becak? Apa tukang becak itu ayahku? Atau, apa ayahku membayar becak itu untuk mengantarkanku? Kalau iya, dapat uang dari mana?

            Dan setiap ditanya begitu, aku selalu menggeleng tegas dan berkata. “Ndak ngertos.

            Aku memang tak mengerti bagaimana awalnya Pak Haryo menjadi tukang becakku. Yang bisa kuingat adalah, sejak kelas satu sekolah dasar, aku selalu berangkat bersama Pak Haryo. Ayahku tak banyak bicara perihal itu, karena jujur akupun jarang bertegur sapa  dengannya. Ia berangkat bekerja subuh-subuh sekali dan baru akan pulang pukul sembilan malam, saat aku sudah mengusaikan belajarku dan beranjak tidur. Pak Haryo hanya datang begitu saja—saat hari pertama aku masuk SD—dan berkata bahwa aku akan berangkat dengannya setiap pagi, dan saat pulang sekolah dia juga yang akan mengantarkanku pulang. Oh, sebelumnya ayahku sempat berkata tentang ‘berangkat naik becak’, tapi aku tak begitu mendengarnya karena saat itu aku sedang mandi.

            Ibuku meninggal saat ia melahirkanku. Itu yang ayah katakan saat aku bertanya perihal ibuku, ketika aku kelas lima. Hanya sepotong yang ia katakan, karena setelah itu ia segera melangkahkan kakinya menujur kamar tidurnya, kemudian tak kudengar suara lagi.

            Waktu itu aku juga pernah bertanya pada Pak Haryo tentang siapa dia dan mengapa dia begitu baik hati rela mengantar dan menjemputku sekolah selama enam tahun lamanya, tanpa dibayar sepeserpun.

            Dan dia hanya menjawab, “Ndak ono alasane. Soale Pak Haryo niki, ‘kan, sahabate Nok Fira.”

            Hanya sebatas itu yang kutahu.
            ---

            “Fira, aku pulang dulu, ya! Kamu sama Pak Haryo, ‘kan?”

            “Iya, Dik, aku tak nunggu di sini, kamu pulang dulu wae,” ujarku pada Dikta, sahabatku yang paling dekat selama enam tahun bersekolah di sini.

            “Oh, iya, Fir, kamu ikut piknik ke Pagilaran minggu depan? Iurannya dikumpulin ning aku. Paling lambat lusa,” kata Dikta sebelum ia naik ke mobil ayahnya. Aku tiba-tiba teringat, ah, piknik. Aku bahkan tidak tahu akan ikut atau tidak piknik tersebut. Aku belum membicarakannya dengan ayahku.

            “Belum tahu, Dik, besok wes tak kabari,” ujarku yang disambut dengan anggukan dari Dikta.
            Aku memutuskan menunggu Pak Haryo di bangku warung depan sekolahku. Di sana, aku tak memesan apapun karena aku tak membawa uang sama sekali. Ayahku memang meninggaliku uang sepuluh ribu rupiah setiap harinya, untuk uang saku dan untuk makanku siang.  Tapi, aku lebih memilihnya untuk menabungnya dengan menyimpannya di dompet dan hanya menggunakan separuh untuk membeli nasi megono lauk tempe sebagai makan siang. Uang yang ada di dompetku sudah cukup banyak dan aku berencana menggunakannya untuk piknik minggu depan itu. Aku hanya tidak tahu apa ayahku akan menyetujuinya.

            “Nok Fira!” aku menoleh dan mendapati Pak Haryo tengah melambai padaku. Aku segera berdiri dan berjalan pelan menuju becaknya.

            “Wes sui, pok, Nok?” tanya Pak Haryo ketika aku sudah menaiki becaknya.

            “Orak, si, Pak, barusan, kok,” jawabku.

            Dalam perjalanan, ada keheningan yang menyeruak cukup panjang di antara kami. Seperti biasa, Pak Haryo melajukan becaknya melewati alun-alun Batang—nama kabupatenku—sebuah kabupaten kecil di timur Kota Pekalongan. Kabupaten yang sedang dalam masa perkembangan. Sebuah kabupaten yang dikenal orang-orang karena Alas Roban-nya yang angker. Kabupaten kecil, tak begitu banyak orang tahu, dan tentu saja tak begitu tenar, tapi di sinilah aku terlahir dan besar.

            “Nok, kok tumben diam saja?” tanya Pak Haryo saat ia menyadari bahwa aku terus membungkam mulut sejak terahkir kita bercakap di sekolah tadi.

            “Ndak, ndak apa-apa,” ujarku pelan untuk menunjukan bahwa aku ini baik-baik saja ...

            “Kamu iki mirip Ibumu, lho, Nok Fira. Dari suaranya, rambutnya, sampai sikapnya saat menyembunyikan sesuatu juga ... sama persis.”

           Aku terdiam mendengar penjelasan Pak Haryo. Apa dia ... mengenal ibuku? “Kok Pak Haryo tahu Ibu?” tanyaku.

            Tanpa mengubah kecepatannya menggenjot pedal, Pak Haryo menjawab, “Oh, iya, Nok Fira ndak tahu, ya, Pak Haryo sama Ibu-nya Nok Fira iku konconan raket. Sahabatan.”

            “Pak Haryo ceritain, ra! Fira kan pengen tahu dulu Ibu kayak pie!

            Dan Pak Haryo menceritakan segalanya.
            ---
            Aku sibuk mencari dompetku yang seharusnya terletak di bawah pakaian—di lemari. Aku mendadak panik, takut jika dompet itu hilang dan aku batal ikut piknik minggu depan. Aku menjelikan mataku, menjamah tiap sisi dalam lemari pakaianku itu.

            TAP!

            Aku melirik ke arah suara. Oh, itu dompetku. Tapi, sejak kapan dompetku berpindah dari di dalam lemari menjadi di atas lemari? Dan, apa benda yang menyertainya jatuh itu?

            Sebuah kotak berwarna putih pucat terjatuh bersama dompetku. Kotak itu terlihat seperti album foto.

            Aku membuka halaman pertama. Sebuah foto, dua orang pria dan seorang wanita tersenyum begitu bahagia. Wanita itu tampak sedang mengandung.

            Aku membaca sebuah tulisan kecil yang terletak di bagian bawah foto tersebut, dan kemudian menangis tersedu-sedu.

            ‘Friendship never end’
            ---

            “Pak Haryo, Bapak dan Ibu-nya Nok Fira itu sahabatan sejak kecil. Sebenernya, saya sama Bapak-nya Nok Fira itu ndak bisa akur, tapi entah kenapa Ibu-nya Nok Fira bisa membuat kita jadi bersahabat dekat. Bahkan sampai Bapak dan Ibu-nya Nok Fira menikah, kami masih bersahabat dekat. Saya pilih jadi tukang becak karena ndak sekolah dan ndak punya kemampaun apa-apa selain narik becak ini. Mereka sering naik becak ini ke mana-mana. Sampai ketika, Ibu-nya Nok Fira hamil, kami seneng banget. Tapi, saat dia melahirkan kamu ...

            “... dia meninggal dunia.

            “... juga meninggalkan anaknya. Dan permusuhan yang entah karena sebab apa terjadi di antara kami—saya dan Bapaknya Nok Fira.”

            ---

            Pagilaran memang menyenangkan. Hawa sejuk yang menyebar di perkebunan teh ini membuatku merasa sangat nyaman. Hamparan teh yang menyerupai permadani hijau membuat segar sejauh mata memandang. Baru sekali, tapi aku sudah jatuh cinta pada tempat ini.

            Pagilaran, kebun teh ini menjadi kebanggaan Batang. Kebun teh yang terletak di Kecamatan Blado, Kabupaten Batang ini memang sangat terkenal dengan segala keindahannya. Pun dengan pabrik tehnya yang sanggup menghasilkan teh-teh dengan rasa enak dan berkualitas tinggi.

Aku melihat ke arah teman-temanku yang asik bermain flying fox. Mereka telihat begitu bahagia, tampak dari tawa mereka yang begitu lepas. Aku menghela napas, seharusnya aku bisa lebih bahagia daripada ini.

Ayahku mengizinkanku mengikuti piknik ke Pagilaran ini karena aku akan menggunakan uangku sendiri. Awalnya aku sangat senang, tapi, siapa sangka bahwa ternyata piknik akan menjadi semembosankan ini karena aku hanya duduk sendiri di sebuah gazebo, sambil memperhatikan teman-temanku bermain ria, tanpa melakukan apapun?

Aku mendesah keras. Tiba-tiba saja aku merindukan Ayahku, Ibuku, dan Pak Haryo.

Apa kesepian selalu semenyebalkan ini?

---

Aku pulang ke rumah dan begitu kaget saat mendapati ayahku tengah duduk berdua bersama Pak Haryo. Teringat cerita Pak Haryo waktu itu, aku tiba-tiba takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di rumah ini.

Tapi ternyata ketakutanku tidak beralasan sama sekali. Ayahku segera memanggilku dan menyuruhku duduk di sampingnya. Pak Haryo tampak tersenyum ramah. Aku merasakan kehangatan—ah, bukan, ini sesuatu yang lain. Yang menyentuh hatiku, menjamahnya.

 Aku merasakannya. Kebahagiaan itu.

“Haryo, mungkin kita bisa melaksanakan amanat Ira satu-satu, dan dimulai dari Fira.”

Pak Haryo tampak mengangguk setuju.
---

“Persalinannya berhasil?” tanya Fadil begitu ia masuk ke dalam ruangan serba putih itu. Fadil terlihat begitu cemas. Ia menghampiri istrinya yang terbaring lemah di atas ranjang.

“Anakku nengdi, Mas?” Ira balas bertanya tanpa menghiraukan pertanyaan Fadil.

“Dibawa Bu Bidan, kamu istirahat saja.” Jawab Fadil sambil menggenggam tangan Ira. Wanita itu tampak begitu lemah, rapuh, dan tak berdaya. Melihatnya, Fadil tiba-tiba merasakan firasat buruk, firasat kehilangan yang begitu kuat.

Pie, Dil?” Haryo nyelonong masuk begitu saja. Fadil menengok sekilas dan kemudian kembali menatap istrinya. “Anak’e Ira nengdi?”

“Dibawa bidane,” jawab Fadil sekilas.

“Mas Fadil, Mas Haryo sini, deh, Ira tak ngomong,” ujar Ira yang membuat Haryo segera mengambil posisi di sebelah kiri ranjang Ira, berlawanan dari Fadil.

“Menurut firasatku, anaknya perempuan, jadi, kasih dia nama Fira, ya. Dari Fadil, Ira, dan Haryo,” Ira memulai kata-katanya dengan napas tersenggal. “Terus, kalau aku udah gak ada, kalian berdua jagain Fira bareng, ya? Anggap Fira sebagai sahabat kalian. Sebagai ... aku—“

Rak usah ngomong gitu, Ra, kowe kalau ngomong hati-hati ... Ira?”

“Ira sayang Mas Fadil dan Mas Haryo. Kalian tetap bersahabat, ya? Sekarang, Ira digantiin sama Fira.” Ira menghembuskan napasnya dengan susah payah.

“Ira ... pamit ... buat selamanya.”

Dan, Ira menghembuskan napas terakhirnya.

Fadil memeluk istrinya, sementara Haryo hanya terdiam sambil menitikkan air mata. Menangis tanpa suara.

---

“Fira seneng Bapak sama Pak Haryo bisa akur kayak pas ada Ibu.” Aku melahap es krim-ku. Kini, kami bertiga tengah duduk di atas becak—aku dan Bapak di kursi penumpang, sementara Pak Haryo di kursi kemudi.

“Halah, kayak kowe ngerti gimana kita dulu aja, Nok,” ujar Pak Haryo menggodaku.

“Tahu, kan Fira lihat di album foto.” Aku berujar tanpa mengalihkan konsentrasiku dari es krim.

“Emang gimana?”

“Kalian bahagia.”

Ayahku memelukku, sementara Pak Haryo diam-diam menitikkan air matanya dan mengelus puncak kepalaku. Sama seperti dulu, saat mereka kehilangan ibuku.

Yang berbeda hanya; mereka tak lagi kehilangan.

Mereka terharu karena kini telah menemukan kebahagiaan.

Kebahagiaan yang tak akan lagi dapat digantikan.

-END-

 Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dannulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .

Potret kebun teh Pagilaran :)
Keterangan :
- Nok : Panggilan untuk anak perempuan
- Sediluk : Sebentar
- Kowe : Kamu
- Ndak : Tidak
- Pripun : Gimana
- Sikil : Kaki
- Getih : Darah
- Konco raket : Teman dekat

Komentar

Posting Komentar

What's most