Distance
Ran PoV
"Kalau rindu mulai mengejarmu, jangan lari.
Nikmati saja dan rasakan bahwa kehadiranku semakin dekat."
Seseorang
pernah berkata begitu untuk meyakinkanku. Entah, meyakinkan atau apapun itu
namanya--aku tak paham. Yang jelas dari nada suaranya, ia benar-benar
menginginkanku yakin bahwa sosoknya benar-benar dekat denganku.
Padahal
dia jauh. Dia jauh sampai jemariku yang kaku selalu merasa ragu untuk
menggapainya. Dia terlalu jauh sampai sepasang kakiku selalu tak kuasa untuk
mengejarnya. Dia begitu ... jauh.
Aku
merasa ada jarak tak kasat mata yang selalu membatasi kami. Entah apa itu
namanya, aku tak mengerti. Jarak tak kasat mata itu seolah membuat
keterbatasanku untuk menjamahnya semakin menjadi-jadi. Jarak itu membawanya
semakin asing. Aku merasa sudah mengenalnya, tapi di sisi lain, dia terasa
abu-abu, samar-samar, dan sulit kusentuh.
Tapi
aku ... sangat mencintainya. Sangat mencintainya hingga segalanya terasa begitu
menyakitkan. Kepergiannya, kerinduanku, pengabaiannya, rasa sakitku, semua
tercampur aduk dan membuatku malah semakin menggilai sosok itu.
Sosok
yang pergi sebelum memberiku kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku.
---
“Shinichi baka!” Ran menangis di meja dapur. Satu-satunya
tempat yang mampu membuatnya bebas dan merasa baik-baik saja. Meja dapur yang
kotor malah membuatnya semakin nyaman. Keadaan kantor detektif tidur itu sedang
sepi. Ayah Ran—Kogoro Mouri—tengah menyelediki kasus di luar Jepang. Sementara
Conan, anak berkacamata yang dititipkan padanya tengah bermain bersama
teman-temannya.
Dengan begitu, Ran bisa jadi lebih tenang dalam
melimpahkan semua perasaannya. Dia bebas menangis. Menangisi hatinya yang lebam
oleh kerinduan. Menangisi kondisinya yang kini sangat hancur berantakan.
Menangisi keadaan dan harapannya yang sama sekali tak sejalin.
Dengan begitu, Ran bebas menangisi Shinichi.
Detektif bodoh-sialan-kampungan itu ... Ran merasa gila
sejak kepergiannya yang tanpa pamit setelah kasus Shiragami itu. Rasa penasaran
dengan kata-kata Shinichi yang diucapkannya terngiang bebas di kepalanya.
Seperti asap rokok, kata-kata pria bermarga Kudo itu mengudara, mengepul bebas
dan membuat dadanya sesak.
Rindu dan penasaran. Hal itu membuat Ran kelabakan dalam
menetraslisir rasa khawatirnya. Ran merasa tolol. Sebelumnya, dia masih sanggup
melawan semuanya. Pria bodoh itu kadang masih sempat meneleponnya dan rindu
bisa sedikit terobati dengan bersua suata. Tapi kini, kekuatan itu berkhianat
dan rasa sakit itu malah menjalar ke seluruh tubuhnya. Ran tak bisa apa-apa,
selain diam dan menikmatinya.
Dan menangis—dalam diamnya.
“Ran, tidak hanya kau ... aku juga punya banyak hal yang
ingin kukatakan. Jadi, tunggulah aku.”
Ran mendesah keras, dengan sisa-sisa kekuatannya, ia menyeka
air mata. Ia terdiam dalam waktu dan cukup lama. Detik setelahnya, ia berbisik.
“Harus sampai kapan aku menunggumu, Shinichi?”
---
Shinichi [Conan] PoV
Aku tahu dia merindukanku. Sangat mengetahuinya. Bahkan,
akupun membalas rasa rindunya. Tanpa sepengetahuannya, aku juga sangat
merindukannya. Tapi jika aku bilang, akankah gadis keras kepala itu percaya?
Kadang, ingin rasanya aku memaki diriku sendiri.
Bagaimana menyakitinya menjadi hal yang sangat sering kulakukan. Aku dekat, aku
di sampingnya, tapi cinta yang ada ini tak pernah bertumbuh. Malah berakhir
dengan jiwaku yang semakin rapuh.
Aku mencintainya, sangat mencintainya hingga rasanya
menyakitkan.
Dia
tak pernah tahu bahwa saat melihatnya menangis, hatiku jauh lebih sakit.
Terlebih mengetahui bahwa sebab dari tangisnya adalah aku. Hatiku jauh lebih
retak, jauh lebih hancur.
Ran, aku mencintaimu. Tidak pernahkah kau dengar hatiku
meneriakan hal itu?
---
Kediaman Dr. Agasa, waktu yang sama.
“Kumohon, Haibara-chan, kau tidak tahu, sih, bagaimana
sakitnya menunggu!” Conan tengah memohon pada Haibara agar diberikan obat
penangkal Apotoxin 4869. Tapi, Haibara terus bergeming. Gadis bersurai pirang
itu tetap berkonsentrasi pada majalah Rolling Stone di genggamannya.
“Sekali ini saja cukup, Haibara, kumohon dengan hormat
...” Conan berkata lagi. Kali ini suaranya lebih lembut. Dan ...
Foila! Hal itu mampu membuat Haibara meletakkan
majalahnya.
“Kudo-kun, kau tahu resikonya jika terus menggunakan
penangkal sementara itu. Aku tidak ingin tubuhmu malah kebal dan kau tidak bisa
kembali ke tubuh asalmu lagi!” ujar Haibara—panjang, tapi—dingin. Conan
tersentak, tapi detik setelah itu, ia menundukkan kepalanya. Bibirnya kelu,
mungkin karena terlalu lama menanggung senyum palsu.
“Karena tiap hari, yang kulakukan hanya menyakitinya. Aku
membiarkannya menunggu terlalu lama tanpa memberikannya kepastian. Aku takut,
kalut. Padahal ... aku tahu dia mencintaiku, dan dia selalu di dekatku. Tapi,
aku tak bisa berbuat lebih—“
“Setahuku, tak ada detektif semelankolis dirimu.”
“Bodoh. Detektif, ‘kan, juga manusia!”
Conan dan Haibara sama-sama tenggelam dalam keheningannya
masing-masing. Tak ada yang bersuara, sampai Agasa datang.
“Ai, mungkin bisa kau pikirkan lagi permintaan Shinichi.”
Ujar Agasa meretak sepi.
“Aku hanya tak ingin tubuhnya menjadi kebal terhadap obat
itu, Prof. Aku tidak ingin dia—“
“Apa?” tanya Conan memotong. Haibara menggeleng, tapi
hatinya melanjutkan.
‘..Aku tidak ingin kau bertemu gadis itu. Aku tidak ingin
kehilangan kau.’
“Kumohon, Haibara. Untuk kali ini saja!” Conan kini telah
bersujud ke Haibara. Membuat gadis itu terlonjak kaget. Tapi, sikap dingin
kembali menguasainya. Ia tak berkutik.
“Ai ...”
“Baiklah. Tapi kuharap, ini menjadi yang terakhir!”
---
Menunggu adalah sebuah hal yang membosankan. Menghitung
detik bergerak tanpa kita bisa berbuat lebih untuk mempercepatnya. Menunggu,
Ran sangat benci itu. Tapi demi Shinichi, gadis itu rela melakukannya.
Seharian ini, Ran di rumah sendirian, dan selama itu pula
ia habiskan waktu untuk menangis. Apa saja, yang menyesakkan hatinya, ia
keluarkan lewat air mata. Selalu seperti itu; menangis tanpa suara.
Ia masih menelungkupkan kepalanya di meja dapur. Matanya
sudah cukup bengkak dan Ran juga sudah cukup lelah. Mungkin, ia akan tidur di
sini. Ia terlalu malas untuk melangkahkan kaki ke kamar. Lebih baik, ia akan
menunggu Conan pulang dan membangunkannya.
“Bodoh, kenapa tidur di dapur?” Ran yang masih
menelungkupkan kepalanya segera mendangak untuk menyaksikan sumber suara itu.
Sosok itu ... ah, bodoh sekali. Apa rindu punya hak untuk
memvisualisasikan bayangan menjadi senyata itu? Bodoh sekali.
Tapi, bayangan tidak bersuara!
Ran buru-buru mengucek mata untuk memastikan
penglihatannya. Benar. Dia nyata, dia bukan hanya bayangan yang diciptakan
otaknya.
Shinichi yang di depannya, nyata!
“Kenapa heran begitu melihatku?” Ran terkesiap. Dia
segera bangkit dan kemudian ...
“BODOH! DARI MANA SAJA KAU? KAU TIBA-TIBA PERGI SEJAK
PULANG DARI KASUS KEMARIN DAN BARU SAJA DATANG HARI INI? KAU TAHU BAHWA AKU
NYARIS GILA KARENA MENGKHAWATIRKANMU? BODOH!!” Ran memaki Shinichi dengan nada
super cetar dan membuat telinga pria itu sedikit bergetar. Ia menjauhkan
kepalanya sambil mengedikkan matanya.
“KAU TAHU, KAU MENYURUHKU MENUNGGU TAPI MALAH PERGI TANPA
ALASAN! KAU MENGHILANG BEGITU SAJA TANPA PAMIT! KAU TAHU BETAPA KALUTNYA
PERASAANKU, WAHAI DETEKTIF BODOH GILA ANALISIS?!?!?”
“Sudah kangennya?”
BLUSHH.
Dua kata dari Shinichi mampu membuat pipi tirus Ran
sontak bermimikri ria. Ran segera menutupi mulutnya. Menyembunyikan malu.
“Bodoh sekali, aku tidak merindukanmu—“
“Begitu, ya? Kalau aku, sangat merindukanmu.
Demi Tuhan, Ran tak tahu sejak kapan pria yang biasanya
angkuh ini bisa menjelma menjadi romantis. Apa kasus rumit yang dipecahkannya
itu merusak salah satu saraf dan menhancurkan sistem otaknya?
Shinici memasukkan kedua tangannya ke saku, dia berjalan
menghampiri jendela besar di sisi kiri dapur. Menatap ke luar.
“Aku sangat merindukanmu, Ran. Selama menghadapi kasus
rumit, kau tak pernah behenti kupikirkan. Apa kau tak sedikitpun merindukanku?”
ujar pria itu—so cool.
Ran bergeming di tempatnya berdiri. Ia menundukan kepala,
air mata sialan itu tiba-tiba mengalir tanpa seizinnya. Dengan keberanian entah
dari mana, Ran kemudian berkata, “Bodoh, jangan pura-pura tidak peka. Kau tentu
tahu bahwa aku sangat merindukanmu.”
Shinichi menengok ke arah Ran, bibir tipisnya melengkung.
Dia melebarkan kedua tangannya, “Kalau begitu, mau memelukku?”
Sekali langkah, Ran sudah menghamburkan diri ke pelukan
Shinichi. Ia tumpahkan semua tangisnya di sana. Kerinduannya, rasa sakitnya,
kepedihannya, semuanya. Ia menangis, dan kali ini tak ragu untuk mengerang.
“Hks—kau bodoh... hks ... padahal aku sangat ingin tahu apa yang ... hks
... akan kau ... hks ... katakan padaku.”
Shinichi yang masih menikmati pelukan Ran kini terkesiap.
Tapi tanpa menjawab, ia mengeratkan pelukannya. Biar kini Ran tahu bagaimana
degup jantungnya. Bagaimana organ itu telah kembali bekerja setelah menemukan
detaknya. Detak jantung Shinichi ... adalah Ran.
“Kalau kau ingin tahu, eratkan pelukanmu.” Ran menurut
dengan mengeratkan pelukannya terhadap Shinichi. Pria itu kini tersenyum nanar,
dan melanjutkan, “Kalau begitu dengarkan detak jantungku. Rasakan temponya. Dan
kau akan segera bisa mendengar hatiku yang terus berteriak bahwa aku sangat
mencintaimu.”
“Bodoh.”
Dalam tangisnya, Ran tersenyum. Ia bahagia. Sangat bahagia.
Ia merasakan ada kupu-kupu menari di perutnya. Kini, Ran tak lagi merasakan
jarak itu. Kini, ia dan Shinichi dekat. Tak lagi ada batasan baginya untuk
mencintai Shinichi.
Dan Ran ingin semua ini abadi.
Tuhan, bolehkah kuminta Kau hentikan waktu? Aku ingin
saat-saat seperti ini, bisa berlangsung selamanya.
-FIN
‘Jarak tak tercipta karena keadaan. Tapi ia ada ketika
dua orang saling menjauh, tiba-tiba menjadi asing karena ego masing-masing. Dan
kau tahu apa yang bisa melawan ego? Cinta. Dengan cinta, kau bisa lihat bahwa
jarak itu tak pernah ada.’
Komentar
Posting Komentar