Kepergianmu dan Perpisahan Kita
Aku ingat pertama kali kau berkata bahwa kau
merindukanku. Betapa saat itu seluruh aksara yang kau rangkai dalam ruang
obrolan yang kita ciptakan—untuk menjadi milik kita saja—mampu membuatku
bersemu dan tersenyum kecil. Aku ingat bagaimana rasanya saat itu, debar
jantungku, gemuruh bahagiaku, dan gejolak yang muncul di hatiku, karena untuk
pertama kalinya setelah sekian lama; aku kembali jatuh cinta.
Sebelumnya, menurut presepsiku, jatuh cinta adalah sebuah
proses. Sebuah proses yang akan melewati tahap demi tahap yang harus kulalui.
Nyatanya, hal itu sama sekali tak terjadi saat aku bertemu denganmu dan
mengenalmu. Saat pertama kalinya kita disatukan dalam sebuah kelompok, bekerja
sama dalam menyusun paper di mata
pelajaran Bahasa Indonesia, lalu kemudian semua berjalan sangat sederhana. Saat
pertama kali melihatmu, dan sorot mata kita bertemu, aku seolah tahu bahwa
kelak kita akan berada dalam hubungan yang lebih dari teman. Aku tak bisa
menahan diriku sendiri untuk tidak tersenyum ketika kau mulai melayangkan
perhatian-perhatian sederhana perihal pola makan dan jam tidurku, juga tak
pernah tahu mengapa aku begitu merasa bahwa perutku penuh dengan kupu-kupu. Aku terlalu penasaran ketika mengetahui kehadiranmu mulai
mengisi kekosongan hatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku
lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia.... dulu.
Tapi, kesalahanku, terlalu berharap tanpa siap bahwa
siapa tahu bahwa perasaan ini hanya aku yang memilikinya. Aku kembali pada
diriku yang lalu, yang menghabiskan bermenit-menit waktu untuk termanggu,
menatap ponsel yang tak kunjung menyala untuk menampilkan nama yang kutunggu.
Menahan diri untuk tidak terpejam, sembari berharap bahwa kau akan mengirimkan
pesan singkat. Ketahuilah, gitarisku, betapa aku rindu candaanmu, betapa aku
rindu hangatnya perhatianmu, dan betapa aku kedinginan menantimu pulang
meskipun hujan yang turun tidak akan membuatmu segera pulang ke rumah kita,
dunia yang hanya ada kita di dalamnya.
Aku tidak bisa melupakan semua tentang kamu. Aku tidak
bisa tidak mencintaimu; sosok yang lihai bermain gitar; sosok yang sangat suka
menyanyi; sosok yang begitu humoris di kelas; sosok yang seolah memancarkan
aura spesial—meski itu entah hanya di mataku saja atau juga menurut orang lain.
Aku mulai tidak berhenti memikirkanmu, dan gelisah saat sapaanmu tak kunjung
muncul di waktu-waktu biasanya.
Saat itu, aku tak menyadari bahwa aku mungkin sudah mulai
berharap padamu. Menggantungkan seluruh perasaanku padamu karena aku percaya
bahwa kaubisa menjaganya. Priaku, aku tidak bisa berhenti menebak-nebak,
karenanya bolehkah aku bertanya apa yang sebenarnya kau rasakan padaku? Apa kau
juga mencintaiku, atau hanya menganggapku persinggahan sementaramu? Cap playboy yang pernah melekat padamu
membuatku semakin resah, takut kalau-kalau memang aku saja yang terlalu
berharap padamu. Berkhayal jika semua yang kau lakukan padaku adalah
semata-mata karena kau juga menyukaiku. Tapi, nyatanya, memang akulah yang
berharap terlalu jauh. Perasaan yang muncul itu mungkin saja bukan tujuanmu,
dan apa yang terjadi adalah suatu hal yang sebenarnya tak kau kehendaki.
Pria yang kebahagiaannya sangat kudambakan, kau tak
mungkin tak tahu bahwa debaran aneh itu sudah lama ada di hatiku. Kau tak
mungkin tak paham bahwa kaumulai kuperjuangkan. Kau takmungkin tak mengerti
bahwa padamu, aku terlalu mencintai. Kau ingin tahu bagaimana perihnya itu?
Sangat cintaku telah tumbuh begitu dalam, aku hanya bisa diam dan terus
memendam. Saat kita berdua begitu dekat, seolah tak berjarak, aku merasa bahwa
ada sekat penghalang antara kita berdua. Saat dadaku bergemuruh, benarkah kau
sama sekali tak mendengarnya? Tahukah kamu betapa sangat menyiksa hidup menjadi
orang yang terus bertanya-tanya, mencarimu kemana-mana, dan kau malah begitu
seenaknya terbang bebas seolah tak terjadi apapun di antara kita? Tahukah kamu
betapa lelahnya aku mengharapkan kembalimu—seperti dulu? Jika kau mau tahu
bagaimana perihnya merasakan semua itu, silakan bertukar posisi denganku. Karena
sejak kepergianmu yang tiba-tiba, aku telah begitu terbiasa.
Karena kini—mungkin bagimu—semua telah berakhir. Bahkan
tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa lambaian tangan, kau begitu mudah
meninggalkan. Aku tidak tahu terbuat dari apa hatimu, tapi, benarkah setelah
kau tahu ada yang aneh di dadaku, tak ada barang sedikit saja kau berkehendak
untuk menilik perasaan itu? Semua terjadi begitu tiba-tiba dan sangat sulit
untuk kuterima dengan hati biasa saja. Kita yang dulu begitu dekat tanpa sekat,
kini saling menjauh seolah tak pernah ada yang terjadi di hati masing-masing.
Atau ... benar rasa itu hanya punyaku?
Pria yang tak bisa kutebak perasaannya, kalau boleh
sedikit egois, aku tidak ingin perkenalan kita yang begitu manis itu berakhir
dengan bengis. Aku tak ingin menerima bahwa setelah semua yang terjadi, dengan
begitu saja kau menghempaskanku begitu keji. Sulit untuk kuterima bahwa semua
tak lagi sama. Kita sudah tak ada, dan perasaanmu hanya seperti bias matahari
yang langsung tertelan senja. Bagimu, semua yang terjadi hanya angin lalu yang
yang tak perlu kaupedulikan. Aku benci untuk mengatakannya bahwa setelah semua
yang kaulakukan padaku, aku masih bisa mencintaimu. Bahkan cinta yang ada malah
tumbuh semakin dalam; merajam, dan menjelma menjadi sejahanam-jahanamnya
perasaan.
Setiap hari, setiap melihatmu di kelas dan mendapatimu
masih sanggup tertawa lepas, luka di dadaku malah semakin naas. Aku berjuang
mati-matian untuk tidak menangis di depanmu, berusaha memperlakukanmu seperti
kau memperlakukanku; biasa saja seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sulit
menerima kenyataan bahwa kamu yang kucinta—dan masih baru-baru saja—harus pergi
tanpa memberiku penjelasan akan bagaimana perasaanmu, pertanyaan tentang
perasaanku, dan apa yang akan kaulakukan dengan kedekatan kita. Aku nyaris mati
penasaran, karena terlalu sering menebak-nebak tentang arti perhatianmu dulu,
apa arti kita, dan bagaimana perasaanmu.
Saat ini, aku masih menghapus air mataku yang mengalir
begitu saja saat aku menyelesaikan barisan paragraf ini. Aku tengah
merindukanmu, bersama dengan barisan aksara dalam kanvas Ms. Word-ku yang menari seiring dengan ceritaku tentang kamu. Aku
ingin tahu apa kamu sudah makan, atau hari ini berapa lagu yang kaumainkan
dengan gitarmu, tapi aku tahu bahwa semua sudah tak seperti dulu. Tapi
setidaknya, aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, saat
pertama kalinya aku memasuki kedekatan kita, saat pertama kalinya kita sering
berbonceng motor bersama, saat pertama kalinya kita disatukan dalam satu
kelompok, saat pertama kalinya kau memberiku perhatian, dan saat pertama
kalinya aku tak sanggup mengendalikan debar jantungku saat bersama denganmu,
Aku mencintaimu. Dan jika boleh masih berharap, aku ingin
kau juga mencintaiku. Lalu kita kembali pada kita yang sebelumnya. Sungguh, aku
sangat ingin kau tahu; aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Sangat-sangat
cinta.
Aku sangat
mencintaimu.
Dariku,
yang baru saja kautinggalkan.
Komentar
Posting Komentar