Nothing Left to Say

Just be my friend, it’s better than that ...” jawaban yang baru saja meluncur itu membuatnya lantas tersenyum tipis; menyembunyikan hati yang mulai terasa perih karena teriris. Aku turut tersenyum, senyum paling menyedihkan yang pernah aku tampilkan. Bahwa bibir yang melengkung itu hanya kutunjukan untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya menjadi kenyataan.

            Jawaban itu telah kusiapkan sejak entah-berapa-lama yang lalu. Mungkin, sejak tadi ketika aku pertama kali bangun tidur, mencari-cari kacamata yang biasanya kuletakkan di atas meja, dan teringat bahwa malam ini aku telah membuat janji dengannya. Atau mungkin, sejak dua bulan yang lalu, sejak tiba-tiba perlakuannya padaku berubah. Atau mungkin sejak setahun yang lalu, saat pertama kali aku bertemu dengannya, mengenalnya, dan jadi seperti ini. Atau mungkin, jauh sebelum semua itu. Aku sudah menyiapkan jawabannya ...

            Saat ini, aku dan dia berada di teras rumahku. Di meja yang membatasi kami, ada sepiring brownies dan dua gelas kopi. Benda menggurkan itu kami biarkan menganggur saja di meja. Karena bahkan, aroma lezat yang dihasilkan oleh brownies hangat itu masih kalah nikmat dibanding rasa sakit yang kini menjadi sekat. Kami berdua lebih memilih untuk menikmati perasaan masing-masing. Sibuk mengendalikan debar jantung, yang semakin hebat menari dan semakin tajam menyakiti.

            “Kamu yakin sudah tidak ada kesempatan ... buatku?” aku menatap manik matanya yang bersinar itu. Semakin tajam kerlingan matanya, semakin aku merasa bersalah karena telah membuatnya terluka. Aku menyakitinya, dan rasanya dua kali lipat dibanding mengorek jantungku sendiri dengan belati.

            Karena saat ini, dalam kisahku dengannya, cinta menjelma menjadi sesuatu yang tidak lagi sederhana. Katakan saja, cinta datang di saat yang sama sekali tidak tepat. Bukan aku yang tidak siap, bukan dia yang terlalu cepat. Waktu terlalu tidak berpihak pada aku dan dia. Kami bertemu saat semesta bekerja sama untuk membuat segalanya menjadi mustahil. Cinta yang ada hanya membuat hati kami terajam, menjelma menjadi sejahannam-jahannamnya perasaan.

            “Bukannya semua baik-baik saja dulu, ‘kan? Sejak setahun yang lalu, kita adalah teman dan semua terasa sangat menyenangkan. Kamu tidak ingin begitu terus selamanya?”

            “Maksudnya selamanya tidak bisa memilikimu?” katanya, dan lima kata sangat cukup mengunci bibirku. Aku terdiam dalam waktu yang lama, dia tak tahu bahwa saat itu aku juga terluka.

            Kami berkubang hening dalam waktu yang lama. Tak ada yang mau memecahkan sepi ini. Karena aku sangat tahu bahwa kami tengah sibuk dengan diri masing-masing. Ada banyak yang ingin kukatakan, dan aku yakin ia juga. Ada banyak yang kupikirkan sekarang. Hati kami masing-masing tengah bergemuruh, membuat semua ini membuat kami berdua semakin rapuh. Aku tahu pasti ada banyak pertanyaan di kepala kami masing-masing, tapi tak ada yang memulai untuk mengatakannya. Ada banyak pengharapan yang lantas meluruh. Menjelma menjadi sesuatu yang seolah tidak perlu.

            Seharusnya dia bisa memahamiku.

            “Maafkan aku, tapi menurutku semua lebih baik tetap begini ...” kuberanikan diriku untuk mengatakan ini. Kalimat-kalimat yang sudah kurangkai, kuselipkan dalam skenario perasaan yang aku rencanakan. Aku menggigit bibir, menahan udara yang mulai mencibir.

            “Baiklah. Seharusnya, aku bisa mengerti ...” dia mendesah. Aku mengangguk mencoba mengerti. Inilah yang kami butuhkan, sebuah pengertian bahwa apa yang kami rasakan tidak akan pernah selaras dengan keadaan.

            Dia melirik arlojinya, “Sudah malam, aku tidak ingin membiarkan gadis yang kucintai kedinginan di malam dia menolak pria yang sangat mencintainya.” Aku menunduk mendengarnya berucap begitu.

            Dia meraih jaketnya yang ia sampirkan di samping kursi.

            “Aku harus pulang. Kamu masuk habis itu tidur, ya ...” ujarnya sembari berdiri dan memakai jaket. Aku ikut berdiri, melihat gerak-geriknya.

            “Jerapah kalau tidur lehernya melilit-lilit, loh.” Mendengarku berucap begitu, ia mengalihkan pandanganku. Ia tersenyum dan mendesah lega.

            “Siput kalau tidur gak di kamar.”

            Kami berdua tertawa. Berbalas lelucon tidak penting seperti yang biasa kami lakukan sejak saling mengenal satu tahun yang lalu. Aku tahu bahwa masing-masing dari kami hanya tidak ingin melihat ada air mata di hadapan satu sama lain. Kami memilih untuk terus tertawa, meski semakin lama semakin terdengar getir.

            Kami sudah berada di luar gerbang rumahku dan ia sudah menaiki motornya. Masih dengan keheningan yang sama, ia menggeber motornya.

            “Thanks for everything.

            Aku mengangguk, “Thanks you, too.

            Beberapa saat setelah ia menghilang di jalanan. Aku menutup pagar dan kemudian kembali duduk di teras rumahku. Aku melihat dua gelas kopi yang kelihatannya sudah dingin karena tergagahi angin malam. Aku mengangkat kedua kakiku dan memeluknya.


            Menangis.




I know its over and it really never began, but in my heart it was so real.
(Anonym)

Komentar

What's most