Hujan
Semua itu ... sudah lama berlalu.
Setelah November tahun lalu—ketika masih ada kamu—aku lantas
melewati banyak hujan hanya untuk kedinginan sendirian. Aku mencoba menari
untuk mengusir sepi, tapi yang kudapatakan hanya petrichor yang tak lagi wangi dan hatiku yang semakin sunyi.
Nada-nada rindu itu mulai terdengar lirih di telingaku, seiring petikan luka
yang berirama kehilangan. Aku ... tidak tahu bagaimana caranya melupakanmu.
Hujan-hujan yang turun kini tak lebih dari air-air dari langit yang jatuh untuk
membawa kenangan yang sarat akan kesedihan. Aku rindu padamu, sangat rindu
bahkan sampai jutaan bahasa di belahan manapun di dunia tidak akan bisa
mendeskripsikan sakitnya memendam perasaan itu. Melihat hujan—yang tadinya
begitu menyenangkan—malah membuatku sedih dan ketakutan. Aku takut melihat
hujan, karena hujan yang kulihat kali ini malah semakin menyadarkanku akan
ketidakhadiranmu. Bahwa kini sudah tak ada lagi kamu di sisiku, sudah tidak ada
yang bisa kuajak menari di bawah hujan, berbahagia bersama, tertawa; seolah tak
ada siapapun di dunia selain kita. Aku benci untuk menerima kenyataan bahwa
kini kita memang hidup di lingkup dunia yang berbeda, terpisah satu sama lain. Aku
benci hidup tanpamu, dan kini begitu hari-hariku.
Aku tidak tahu ini dimulai sejak kapan, tapi kepergianmu
membuatku membenci hujan.
07
November 15
Ditulis
saat merindukanmu, bersama hujan di teras rumahku;
dan
juga di pelupuk mataku.
Komentar
Posting Komentar