[Bag. 2] Suara Tasha
Aku
sangat mencintai Aga, dan aku ingin semua orang tahu hal itu.
Aku
pertama kali bertemu dengannya ketika guru BK-ku memanggilku karena tuduhan
yang menyebalkan—lain kali kuceritakan—dan Aga juga dipanggil karena waktu SMA
dia sangat berandal. Aga bilang padaku bahwa dia sudah lebih dari sepuluh kali
masuk ke ruang BK dan dia sama sekali tidak kapok. Dia ikut geng motor, dia
suka bertengkar, dan dia sangat nakal. Aku tidak tahu ada berapa banyak guru
yang membencinya tapi yang jelas pasti banyak sekali. Tapi, dia juga juara
kelas. Dia dua kali menjadi peringkat satu paralel dan ikut olimpiade Fisika
tingkat nasional walaupun kalah. Aga itu hebat sekali. Walaupun nakal dan
berandalan, dia pintar; sangat pintar. Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu
dan kemudian mencintainya.
Aku
lupa bagaimana awalnya kami dekat, yang jelas waktu itu aku juga ikut seleksi
olimpiade walau akhirnya hanya dua orang yang mewakili sekolah kami yakni Aga
dan sahabatku, Indra. Belakangan Aga dan Indra kemudian jadi dekat karena
sebenarnya mereka memiliki sifat yang hampir sama. Aga dan Indra pernah menjadi
musuh abadi dulu. Alasannya, karena Indra merasa Aga merebut segala hal
darinya. Posisi-nya di pelajaran Fisika, kepopulerannya, prestasi-prestasinya,
dan ... aku. Aku tidak bohong, Indra sendiri bilang padaku bahwa dia semula
tidak suka aku dekat dengan Aga karena beragam titel buruk yang menempel pada
pria itu. Tapi, kemudian Indra tahu bahwa Aga adalah sebaik-baiknya pria
dibanding semua pria yang pernah dekat denganku dulu. Aga itu spesial, spesial
sekali.
Kembali
ke Aga. Aku akan menceritakan sosoknya lengkap pada kalian. Namanya Muhammad
Dirgantara, tapi entah kenapa orang-orang sering memanggilnya Aga. Dia itu
seperti berandalan, dan bahkan orang-orang sering mengatainya cowok brengsek. Tapi, bagiku dia tidak
seperti itu. Dia adalah orang paling baik dan penuh cinta sedunia. Aku ingat
dulu, hari pertama kami jadian, dia membawaku membelah jalan raya dan menembus
hujan. Di jalan, dia berteriak-teriak girang seperti anak kecil;
“Aku sayang Tasha!! Aku sayang banget sama
Tasha, Natasha Variza, aku sayang sama Tasha! Makasih yaAllah, udah bikin otak
Tasha soak hingga bikin dia mau nerima cinta aku, jadi pacarku, dan mencintaiku
balik. Makasih, yaAllah aku sayang Tasha-ku! Jadikan kita selamanya, ya!!”
Dia tetap
berteriak seperti itu seolah tidak peduli bahwa orang-orang yang sedang
berteduh di sepanjang jalan mulai menatapnya dengan beragam ekspresi. Aku
tersenyum, hatiku terasa hangat dan sejuk dalam satu waktu. Dari belakang; aku
memeluknya erat. Ketahuilah, Aga, aku lebih bahagia.
Aku
ingat, sebelumnya aku pernah berjanji pada Aga bahwa apapun kondisinya, aku
tidak akan menangis dan tidak akan bersedih. Aku bersumpah dalam hati bahwa aku
akan bisa melakukannya selagi Aga masih terus ada di sisiku dan ada bersamaku.
Tetapi, waktu itu, di belakangnya, diam-diam aku menitikan air mata. Aku begitu
bahagia sampai tidak tahu harus bagaimana dalam mengekspresikan perasaaku yang
sangat bahagia itu, aku akhirnya menangis. Aku menempelkan pipiku pada
pundaknya, membiarkan Aga terus berteriak-teriak seperti itu. Aku menangis
diam-diam, tanpa suara, tanpa sepengetahuan Aga.
Aku
ingin berharap agar aku dan Aga bisa bersama selamanya. Tapi, tidak berani.
Karena ayahku selalu berkata padaku bahwa kita tidak akan pernah tahu tentang
perpisahan dan kehilangan; itu semua rahasia Tuhan. Karenanya aku hanya ingin
terus menikmati ini, berdua bersama Aga, memeluknya, dan membiarkan semua rasa
sayangku melebur bersama rengkuhan ini. Aku biarkan perasaanku bersenyawa
dengan perasaanya. Aku mungkin tidak bisa berjanji untuk tetap di sini dan
terus bersamanya. Aku tidak bisa bersumpah atas apapun bahwa suatu saat nanti
aku tidak akan meninggalkannya. Tapi, seandainya hal itu terjadi, aku ingin dia
tahu bahwa perpisahan yang satu itu bukan keinginanku.
Karena
aku sakit.
Jantungku
lemah sejak kecil, karenanya aku takut jika ia berdebar terlalu keras, aku akan
kehilangan debar itu selamanya. Aku khawatir hal itu terjadi saat bersama Aga
karena ketika ia di sampingku, aku tidak bisa mengehentikan debaran jantungku yang
menyepat dengan sendirinya. Aku takut ... takut sekali. Aku takut meninggalkan
Aga, karena aku sangat mencintainya.
Saat
ini, aku berada di taman rumah sakit tempat aku dirawat. Aku duduk menghadap
jendela, menatap lalu lalang orang-orang. Aku ingkar janji lagi pada Aga. Saat
aku mengingat cerita-cerita tentang Aga, tentang kami berdua, aku tidak pernah
bisa menghentikan air mata. Aku sendirian sekarang, biasanya Indra atau Nina
akan bergantian menjagaku. Aga?
Jangan
ganggu Aga-ku, dia sedang sibuk kuliah, untuk kemudian bekerja, dan melamarku.
Itu janjinya, aku aku percaya. Karenanya aku juga akan berjuang untuk sembuh.
Aku akan rajin minum obat-obat pahit itu, aku rela disuntik setiap hari,
seperti Aga yang juga berjuang untukku. Aku ingin segera sembuh karena aku
ingin naik motornya lagi, aku ingin pergi bersama Aga lagi, aku ingin
hujan-hujanan bersama lagi. Aku harus sembuh untuk Aga.
Karena
aku mencintainya, dan sepertinya tidak perlu semua orang tahu.
Cukup
Aga saja.
Komentar
Posting Komentar