[Bag. 1] Biar Tuhan yang Menang

            Bagiku, Tasha, sejak pertama kali kau mau mengenalku—dan mencintaiku sampai sedalam ini—adalah anugerah paling indah yang takbisa kusanggah. Aku terlalu bahagia saat menyadari bahwa kaulah yang Tuhan pilihkan untukku. Gadis cantik, dengan keceriaan yang mudah menular ke banyak orang. Kaulah bidadari itu, Tashaku. Dengan semua yang kaupunya, aku tunduk sejatuh-jatuhnya padamu. Aku terlalu mendambamu hingga lupa bahwa aku tak hanya perlu mencintaimu, aku juga harus menjagamu. Aku terlalu berharap bisa bersamamu selamanya, tanpa paham apa definisi selamanya bagi Tuhan. Aku terlena dengan segala cinta yang kita bagi masing-masing, hingga lupa bahwa kaumungkin saja takbisa selamanya di sisiku. Aku benar-benar lupa, Tasha, dan Tuhan mengingatkanku akan hal itu dengan mengambilmu; merenggutmu dengan paksa, tanpa memberiku aba-aba atau setidaknya peringatan. Tuhan mempermainkanku, Tasha, begitulah presepsiku. Ia membiarkanku tersiksa melihatmu terbaring koma, tak bisa berkutik melihatmu berjuang sendiri, di ambang hidup dan mati.  Ia membiarkanku sekarat melihatmu harus dipeluk oleh alat-alat kedokteran yang terpasang, tanpa Dia tidak tahu bahwa sehangat-hangat pelukan adalah saat kita saling merengkuh satu sama lain, bukan alat-alat sialan itu. Ia memberhentikan jantungku pelan-pelan, tapi tak kunjung mematikanku, saat Dokter mencabut semua alat-alat itu, dan berkata dengan suara yang bagiku malah serupa sangkakala,

            “Maafkan kami, semua sudah kami lakukan, sekuat tenaga. Tapi, Nona Tasha tak bisa diselamatkan. Maafkan kami, tapi ini sudah menjadi kehendak Tuhan.”

            Saat itu, jantungku serupa tertusuk belati. Pelan tapi pasti, dengan gerakan yang lihai dan begitu tipis, Tuhan menusukku. Pelan sekali, tapi tepat sasaran dan tembus sampai ke belakang. Dan kemudian, Ia mengoreknya. TAPI DIA TAK MEMBUNUHKU. Dia membiarkanku sekarat, merasakan semua rasa sakit yang begitu hebat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi aku hanya bisa menangis histeris. Mengerang, meradang dan memaki Tuhan, untuk memberitahunya bahwa kenapa Ia tak membunuhku sekalian? Mengapa Ia membiarkan dadaku bolong dan kemudian hidup tanpa jantung?

            Dan lagi, Tasha, saat orang-orang berbaju hitam itu meredammu di bawah tanah, aku takbisa membayangkan bagaimana rasanya. Aku terlalu tidak mampu untuk menyaksikannya. Aku hanya berjalan tak tentu arah, melewati semua tempat-tempat yang penuh kenangan akan kita. Aku tidak tahu apa yang membawaku, tapi semua jalan yang kulalui seolah masih begitu hangat oleh aromamu, Tasha. Orang-orang melirikku dengan sinis, mungkin mereka mengira aku gelandangan atau apa. Tapi, mereka bernar, aku adalah gelandangan, gelandangan cinta. Yang mengemis pada Tuhan untuk mengembalikanmu sekarang.

            Di jalanan yang bising  dan ramai ini, aku malah seolah tuli. Yang dapat kudengar hanya suara tawamu yang meneduhkan, juga aku dan kamu yang berbonceng menembus hujan waktu itu, di bulan Oktober tahun lalu. Kita tertawa, dan kau terlihat sangat bahagia. Kita tak menggubris dingin yang menusuk kulit, karena kita terlindungi oleh rengkuhan masing-masing. Lalu, saat kita berhenti di warung kopi di pinggir jalan, aku puas hanya dengan memelukmu, menyaksikan senyummu, mendengar tawamu, yang serupa dongeng sebelum tidur yang begitu menenangkan. Kita mengacuhkan seluruh isi dunia. Saat itu, isi dunia seolah kita, di mana yang lain hanyalah suara bising yang mengganggu dan tak perlu kita pedulikan. Kita berbicara tentang banyak hal, tapi terutama tentang perasaan masing-masing. Tentang kebahagiaanku yang bisa memilikimu, mencintaimu, dan menjadikanmu seluruh tumpuan hidupku. Tapi, aku ingat ucapanmu saat itu—jawabanmu tepatnya—saat aku bertanya apa kau akan meninggalkanku, katamu,

            “Aku tidak tahu apa aku bakal ninggalin kamu, atau aku bakalah terus di sini selamanya. Karena aku cuma manusia kerdil, yang sampai kapanpun gak akan tahu soal rahasia Tuhan tentang kepergian dan kehilangan.”

            “Tasha ...”

            “Gini, ya, Ga. Aku mungkin gak bisa berjanji akan tetap di sini dan terus sama kamu. Aku juga gak bisa bersumpah bahwa nanti aku gak akan meninggalkan kamu. Tapi, jika kelak itu terjadi, aku mau kamu mengetahui tentang satu hal—“

            “Apa?”

            “Perpisahan yang satu itu, bukan aku yang mau.”

            Aku kembali menangis mengingat itu. Ucapanmu seolah firasat bahwa kau tidak akan bisa selamanya di sini, menjad Tasha-ku. Kau seolah mengisyaratkan padaku bahwa suatu saat nanti, kau akan pergi ... pergi sejauh-jauhnya, untuk tak lagi bisa kuraih, dan tak lagi kembali.

            Tasha, dengarkan aku,


            Jika kita tidak mau meninggalkan sisi satu sama lain, mengapa Tuhan harus memisahkan kita dari sisi satu sama lain?

[Bersambung]

Komentar

What's most