Bapak Vs. Pria di Masa Laluku
Aku merasa bahwa aku sudah mengenal dia dengan sangat
baik. Aku tahu jadwal-jadwalnya sehari-hari, aku tahu apa yang dia lakukan, aku
tahu apa yang dia suka—pun yang dia benci. Aku menyukainya ... sejauh ini
begitu. Aku nyaman dengannya, karena bagaimanapun dia sering membuatku tertawa
dengan caranya, dia membuatku merasa begitu dicintai. Saat bersamanya, aku
bahagia; dan aku mencintainya dengan presepsi sesederhana itu.
Tapi, nyatanya, Bapak tidak begitu.
Dia datang ke rumahku membawa beberapa kotak kue bolu,
berpakaian sangat sopan, dan dia berbicara dengan santun. Dia berbincang
singkat dengan Ibu, berbicara perihal kue bolu yang dibawanya agar kami semua
orang rumah bisa menikmatinya. Lalu, saat Bapak pulang, dia melempar senyum
singkat, menyalaminya, memperkenalkan diri dengan malu-malu dan menyebut diri
sebagai kekasihku. Bapak tersenyum, tapi terlihat jelas—menurutku—bahwa dia tak
menyukai pria pilihanku yang satu ini.
“Bapak kurang suka sama dia ...” itu yang Bapak katakan
selekas dia pulang. Saat itu, aku masih memegang kotak kue bolu pemberiannya,
dengan binar yang belum lenyap, dan bahagia yang belum luntur. Aku masih
tersenyum, dan senyum itu meluruh begitu saja saat Bapak berkata seperti itu.
“Dia baik, ‘kan, Pak?” tanyaku, mengambil duduk di
sampingnya. Aku membuka kotak kue itu, mengambil sepotong. “Sopan, dan ...
cukup pintar, i mean, seperti yang
Bapak inginkan.”
“Tapi, Bapak kok lihat dia kayak kurang sreg, Put.
Gimana, ya ... Bapak takut dia menyakiti kamu.”
Saat itu, aku tak begitu mengindahkan ucapannya. Aku
hanya menatapnya sekilas, dan mengendikkan bahu. Saat itu, aku hanya terlalu
bahagia perihal janji-janji yang diucapkannya padaku. Aku sedang begitu jatuh
cinta padanya—jatuh—dan aku hanya ingin menikmati itu. Selain sosok ‘A’, mantan
kekasihku dulu, belum ada yang bisa membuatku seperti ini. Aku hanya ingin
menikmati rasa yang sudah lama tak kurasakan ini lagi. Toh, aku percaya dia tak
akan menyakitiku. Dia terlalu baik untuk melakukannya, kupikir. Aku paham benar
betapa dia sangat mencintai ibunya dan bagaimana dia memperlakukan adik
perempuannya yang sangat menggemaskan itu. Aku sangat mempercayainya.
Tapi nyatanya, tiga bulan kemudian firasat Bapak benar,
dia menyakitiku. Dia mencampakkanku. Dia melukaiku. Dia ... meninggalkanku. Dia
memang mencintaiku, dia memang menyayangiku, dan aku bermakna di hatinya. Tapi,
aku bukan satu-satunya. Tak hanya aku yang dia cintai, tak hanya aku yang dia
sayangi, dan di hatinya tak hanya ada namaku. Benar, dia memang terlalu baik,
sampai-sampai sulit baginya untuk menyakiti wanita yang mencintainya—wanita
lain. Dengan itu ia memilih mengabaikanku, membagi cintaku dengan gadis lain,
yang kalau aku boleh menyombong sama sekali tak bisa dibandingkan dengan aku.
Dia terlalu baik sampai dia tak bisa menahan godaan untuk berselingkuh. Dia
terlalu baik-baik, sampai-sampai tak tega untuk mengacuhkan perasaan wanita
yang mencintainya, padahal jelas-jelas saat itu ia sudah berbeda. Dia terlalu
baik, sampai-sampai dengan kebaikan itu membuatnya menjadi brengsek.
Aku hancur.
Aku menyesal mengapa dulu aku pernah sangat mencintai
dia. Aku menyesal mengapa dulu aku pernah sangat mempercayainya, dan
beranggapan bahwa dia tak akan melukaiku—pun untuk memikirkannya. Aku kecewa,
bukan padanya, melainkan lebih pada diriku sendiri mengapa aku pernah
memilihnya.
Dan mengabaikan
nasihat Bapak.
Aku ingat ketika aku mengakhir hubungan dengan
pria-brengsek-yang-baik-hati itu, aku pulang dengan keadaan hancur. Mataku
lelah, jalanku sempoyongan, dan sampai rumah aku langsung masuk kamar, kemudian
melanjutkan tangisku. Lebih keras, lebih meraung-raung, dan tentu saja lebih
memalukan. Aku membodoh-bodohi diriku sendiri, menikmati luka yang kuciptakan
sendiri karena tak bisa melupakannya, dan berharap dia menghubungiku, berkata
maaf, dan kemudian semua kembali seperti semulai.
Lalu, Bapak masuk ke kamar. Duduk di kursi meja
belajarku, menatapku—dengan wajah yang sulit kutafsirkan maknanya. Dia terdiam,
tak berbuat atau berkata apapun. Dia hanya melihatku yang terus menangis,
sesenggukan, dan tampak menyedihkan.
“Nggak apa-apa kamu nangis, asalkan sekarang kalian sudah
putus.” Dia berkata. Aku menghentikan tangisku, dan menatapnya pedih.
“Kok Bapak jahat,” ujarku.
“Jahat gimana?”
“Masak aku putus dan disakitin seneng?”
“Bukan gitu ...”
Dia menarik napas. Seperti biasa, helaan napas yang
terlihat hangat dan berwibawa.
“Bapak lega kamu lepas dari jerat pria seperti dia. Walau
sudah tiga bulan, yang penting belum terlalu lama. Setidaknya, kamu tak sudah tak
bersama pria yang hanya bisa menyakiti untuk waktu yang lebih lama lagi. Yang
artinya kamu akan lebih mencintai dia lagi, lebih mempercayai dia lagi, padahal
terang dia sedang membohongi kamu; tanpa kamu tahu.” Terang Bapak membuatku
terdiam. Aku berpikir, meresapi kata-katanya. Dia benar.
“Tapi, Bapak tahu dari mana?” tanyaku, sembari menghapus
air mata yang tak kunjung berhenti.
Dia tak langsung menjawab pertanyaanku, melainkan
berdiri. Dia tersenyum, “Seperti katamu, ‘kan, dia orang yang baik.” Ujarnya
sembari mengelus puncak kepalaku. Dia melangkahkan kaki menuju pintu kamarku
untuk keluar, setelah sebelumnya dia menyuruhku untuk istirahat dan kemudian
melupakan segalanya.
Saat itu, aku hanya terdiam merenung. Memikirkan
kata-katanya tadi. Kemudian mengingat bagaimana perlakuan
pria-brengsek-yang-baik-hati itu padaku, dulu. Aku menghela napas.
Seharusnya aku mempercayai Bapak sejak awal.
Komentar
Posting Komentar