Tuhan Tahu Aku Mencintaimu

Sayang, ini bukan surat dari Chairil Anwar kepada Sri Ayati. Ini juga bukan tentang Senja di Pelabuhan Kecil, ini hanya tentang aku, yang tengah meringkuk kedinginan sambil mengingatmu. Yang jauh diseberang sana, yang mungkin sedang mendengar denting bel di gereja.

Jogjakarta. Waktu itu malam minggu saat kamu bercerita tentang kota itu. Perkenalan pertama kita, yang mengalir begitu saja melalui ruang obrolan bbm. Kamu menceritakan betapa kamu mencintai Jogja, gudegnya, Malioboronya, dan angkringan-angkringan disana. Aku senang mendengar ceritamu, walau hanya melalu voice note bbm.

Aku juga cerita tentang daerahku. Hanya kabupaten kecil di timur Kota Madya Pekalongan.  Tak banyak yang bisa kuceritakan, hanya tentang pembangunan alun-alun di kota ini yang menurutku salah kaprah. Juga tentang veterannya, jalan di samping pendopo yang biasa dijadikan tongkrongan oleh anak gaul Batang--nama kabupatenku.

Obrolan singkat itu mengalir dan mulai menimbulkan rasa nyaman. Kamu yang ceplas ceplos, kocak, dan absurd. Bahasa Jawamu yang medok, wajah orientalmu, dan kacamata yang menolong keminusan mata sipitmu. Ketika itu kamu bilang, aku adalah pribadi yang aneh karena selera sastraku cukup tinggi di umur sebelia ini. Aku hanya tertawa, padahal aku tahu pasti kamu nol sama sekali di Sastra Indonesia. Aku ingat betul saat aku mengisahkan tentang kisah Chairil Anwar dan Sri Ayati. Ketidak pekaan Sri Ayati dan Chairil Anwar yang gagal mengungkapkan membuatmu geregetan. Aku bilang, mungkin saat itu Anwar lupa bahwa tidak semua orang memahami puisi, karena ia hanya menuliskan perasaannya pada barisan-barisan indah itu. Bahkan ketika patah hatipun ia masih berkeluh pada puisi. Tapi ya itu lah, Anwar tetap manusia terindah--menurutku.

Kupikir, rasa nyaman itu akan berbuah menjadi perasaan lebih. Tapi entah, saat kauceritakan tentang denting bel di gerejamu, yang menurutmu adalah nada paling indah, membuatku melengos. Kita sudah jelas beda agama, kamu menggenggam salib sementara aku bertasbih.

Waktu itu bulan Ramadhan, kamu menemaniku sahur walau kamu tidak puasa. Sepanjang malam itu, kita banyak berbagi cerita. Tentang meme comic, Chairil Anwar, musik pop-rock, dan segalanya yang takkan cukup kuceritakan disini. Aku senang kamu melupakan perbedaan kita, walau kutahu pasti kamu juga merasakan hal yang sama denganku.

Sayang, Tuhan-ku tahu aku mencintaimu. Cinta yang muncul dari perkenalan singkat kita. Aku tak tahu apakah kamu juga merasakan hal yang sama, yang jelas saat itu, hari Rabu saat shalat maghrib, aku bercerita padaNya, berkeluh tentang perasaanku, juga tentang agama kita yang berbeda. Tuhan tahu pasti betapa waktu itu air mataku terjun bebas melintasi pipiku, sambil tak lupa kudesiskan namamu, setelah kubaca Al-Fatihah ku.

Sejak itu, kita tetap dekat sepert biasa. Dengan sekadar perhatian kecil, kecupan berbentuk tulisan, dan hal lain yang tak bisa kusebut tak istimewa.

Sayang, denting bel gereja di kotamu dan adzan Subuh di masjidku pernah jadi saksi gagal berkuncupnya cinta kita. Kutahu kau takkan pernah jadi imamku, dan aku takkan pernah kau genggam tangannya untuk beribadah bersamamu. Jika kuceritakan tentang ini, aku yakin kamu pasti akan tertawa terbahak-bahak. Menertawai imajinasiku, dan meledek harapanku.

Sayang, aku hanya seperti gadis tolol yang berharap menjadi pelangi selepas hujanmu. Aku hanyalah gadis polos yang takut kegelapan, yang terjebak di lorong kosong gelap gulita. Sementara kau adalah cahaya yang takkan mungkin kugapai karena sejauh itu jaraknya.

Sayang, meski Tuhan tahu aku mencintaimu, mengapa Ia tak menggerakan tanganNya untuk menyatukan kita? Apa cinta yang kurasakan ini memang tak pantas mendapat pengakuan dan berakhir pada penyatuan? Apa Tuhan tak merestui cinta yang tumbuh ini?

Dari seseorang,
yang baru saja mengaku,
bahwa ia mencintaimu.

Komentar

What's most