Terima Kasih Sudah Setia Menunggu

Untuk seseorang yang tadi memasang wajah sedih.

Saya tidak berubah.

Walau beberapa hari ini saya menjauh dari kamu, saya sama sekali tidak berubah. Saya tetap si Pangeran Banyol--seperti katamu, dan saya masih tetap lawan debat tak terkalahkanmu.

Tadi pagi, saya melihat kamu. Dengan wajah kelelahan, dan banjir keringat. Saya baru tahu kalau akhir-akhir ini kamu sering naik sepeda. Kamu langsung ambil duduk di bari bagian belakang, menaruh tasmu, lalu keluar dari kelas-- tidak tahu kamu kemana.

Entah, dik. Saya selalu seperti ini sejak meninggalkan kamu. Rasanya, tidak ada yang dapat mengalahkan kamu dalam hal mengerti saya, memahami saya, dan menjadi segalanya bagi saya, tapi, saya bisa apa? 

Dengan alasan yang tak bisa saya jelaskan, dengan masalah yang tak bisa saya paparkan, saya mau tidak mau harus meninggalkan kamu.

Saya tahu kalau akhir-akhir ini kamu sering menangis, memasang wajah sedih, dan galau. Lalu, dengan kecerdasan yang muncul musiman, ketika kamu galau, kamu mulai berkeluh kesah di blog. Saya selalu membaca tulisan kamu, dik. Dalam setiap tulisan yang kamu posting di blog, saya merasa seolah sedang berkaca. Saya benar-benar melihat saya, yang kamu paparkan dengan jelas, dalam setiap tulisan kamu.

Dik, kamu masih tetap sama. Kamu selalu terlihat seolah kamu adalah manusia paling sedih sedunia. Kamu selalu menarik simpati orang-orang, dengan tulisan galaumu, dan curhatan gajemu yang membuat saya muak. Saya merasa kamu benar-benar merindukan saya, kamu menginginkan saya kembali, menjadi sosok yang kamu mau. Yang bisa kamu cintai sepuasmu, yang bisa kamu tangisi sebebasmu. Maaf, dik. Saya sudah tak bisa lagi jadi mas-mu yang seperti dulu.

Ah, dik. Saya dengar dari temanmu, kamu sekarang aktif melatih kemampuan menulis, dan sibuk berlajar mendalami seni peran. Kamu juga mulai berkecimpung dalam dunia penulisan skenario. Walau temanmu juga tak lupa menambahkan, kalau kamu masih sering menangis, mengaduh bahwa rasa sakit karena rindu itu begitu menyiksamu.

Asal kamu tahu, dik. Rasa sakit yang saya punya jauh lebih menyiksa. Dan batin saya selalu menangis lebih keras saat saya tahu kamu menangis karena saya, sementara saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Saya sebenarnya sudah ada perempuan lain, tapi dia tidak seperti kamu. Dia tidak cerewet, dia selalu diam dan mendengarkan cerita saya--tentang hal apapun- walau kadang saya tahu bahwa dia tidak mengerti apa yang saya ceritakan. Dia lebih suka mendengarkan daripada minta didengarkan. Dia tidak suka begadang sampai pagi, dia juga tidak pandai berpuisi dan lihai mendongeng seperti kamu. Dia tidak terlalu suka membahas politik, dia tidak paham istilah intelek. Dia jauh berbeda dengan kamu, dik. Dan lagi, dia juga tidak bisa mengerti saya, dia tidak tahu berapa rapuhnya saya, yang saya sembunyikan dibalik tawa dan pertunjukan komedi saya.

Dik, sejujurnya saya benci jadi menye-menye seperti kamu ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Saya terlalu merindukan sosok kamu, yang susah move on dan setia pada kegalauanmu.

Saya senang sekarang kamu sudah dapat teman-teman baru. Yang lebih bisa menjaga kamu, dan lebih sanggup membuatmu tertawa lebih keras, lebih bebas, dan lebih lepas. Saya senang ada yang bisa menjaga kamu, menggantikan saya yang sudah gagal melakukannya.

Sebenarnya, saya rindu kamu ingatkan minum air putih delapan gelas tiap pagi. Saya rindu dengan omelanmu yang selalu terdengar merdu saat kamu lihat saya main bola tanpa sepatu, dan berakhir dengan telapak kaki saya yang kapalan. Saya ingin lihat kamu makan makanan yang pedasnya gila-gilaan, saya ingin dengar suaramu menyanyi lagi, saya ingin baca puisi-puisimu lagi, dan saya benar-benar rindu melihat kamu, dengan senyuman tulusmu, yang sanggup saya ingat sepanjang waktu.

Tadi, ketika melihat kamu nyaris menangis ketika mendengar lagu 'Kesempatan Kedua' milik Tangga, hati saya seolah ikut teriris. Saya takut kehilangan kamu, saya takut tidak bisa lagi melihat kamu, saya takut ketika kamu yang saat ini masih dapat terjangkau mata saya, suatu saat akan pergi meninggalkan saya, menghilang dan lenyap seperti bayangan. Saat melihatmu, saya seolah tak ingin mengedipkan mata barang setengah detik saja. Saya tidak ingin kamu membenci saya, tanpa tahu alasan yang sebenarnya.
Kalau kamu terus bertanya-tanya mengapa saya pergi, alasannya karena saya tidak mau kehilangan kamu. Ada satu sebab yang tak perlu kamu tahu--karena akan sangat menyakitkan.

Terimakasih sudah setia menunggu, tapi kali ini, lupakan saya. Kamu tidak akan pernah menemukan cinta sejati dalam diri saya. Berhenti menangis, dan berhenti merobek hati saya--hatimu juga- walau kamu tidak menyadarinya.

Kita harus saling menjauh, walau tanpa tahu apa yang harus dimasalahkan. Dan kita harus terlihat saling membenci, walau tak tahu apa yang harus dibenci.

Maaf menuntutmu jadi munafik, tapi semuanya, harus saya lakukan. Agar kita tak lagi saling menyakiti, karena sadar bahwa kita tak bisa saling memiliki.

Terima kasih sudah setia menunggu.

Komentar

What's most