Maafkan Aku

Mantan, aku punya mainan baru. Ia sering kau sebut mesin waktu. Ia bisa bawa kita berkelana ke masa lalu; namanya ingatan. Ayo, berkelana kesana, bersamaku.

Sayang--eh, apa masih boleh aku memanggilmu begitu, bahkan setelah menyakitimu? Iya, dari seseorang yang penah menyia-nyiakanmu karena keegoisanku. Seluruh abjad yang kurangkai, paragtaf yang kutulis, tidak ada yang mampu memaparkan penyesalanku. Segelanya terlalu dalam.

Waktu itu, dengan keterus teranganku, aku berkata bahwa, 'Aku tidak mencintaimu.' Mengapa aku bisa sefasih itu mengatakannya? Dengan berurai air mata, aku berkata putus, (dan dengan begitu tolol) kukatakan bahwa aku masih mencintai orang lain. Yang terlebih dulu memenuhi rongga-rongga hatiku. Ia adalah seseorang yang mengisinya selama tiga tahun. Dan dengan kekuatan yang entah layak disebut apa, aku menunggunya. Menunggunya mengerti lalu peduli. Entah sampai kapan karena sejauh ini; dia tetap tidak peduli.

Waktu itu, kamu datang membawa kebahagiaan--yang saking mati rasanya tak bisa kurasakan. Kamu memelukku, mencoba menguatkanku, menghangatkan dinginnya lukaku dengan cintamu, mencoba mencairkan dinginnya hatiku, dan mengobatinya hingga ia utuh lagi. Dengan kebaikan yang tak dapat kujelaskan, kamu menjaga hatiku, membentuk lagi kepingannya, yang telah kuhancurkan sendiri.
Selama tiga hari menjadi kekasihmu, aku benar-benar kauperlakukan bak ratu. Harusnya dengan begitu aku bisa mencintaimu, harusnya aku bisa menjaga hatimu, harusnya begitu! Bukannya menyakitimu dengan meninggalkanmu!

Waktu aku berkata putus--kamu- dengan ketegaran setebal baja, tetap memelukku, sembari berkata bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja. Kamu terus berkata bahwa yang perlu kulakukan hanya terus tetap berjuang, agar cinta yang selama ini kujaga tidak sia-sia. Kamu tetap mencoba menuemangatiku, menguatkanku dengan ketegaranmu yang kupikir tinggal separuh. Dan dengan sikap antagonis, tak punya perasaan, aku meninggalkanmu. Tak peduli sedikitpun padamu yang tengah menatapku nanar, tanpa harapan sedikitpun, kamu melepasku pergi; agar bisa berjuang lagi. Aku terus berjalan, menenteng lukaku dan mengurai air mataku.

Kenapa waktu itu kamu tidak menyumpah-serapahiku? Mengapa tidak kau tampar aku?
Aku tidak tahu bagaimana caranya agar segalanya dapat termaafkan. Jutaan kata dalam milyaran bahasapun rasanya takkan dapat mewakilkannya. Kututup mataku, kutulikan telingaku, kututup hatiku. Kurobek hati itu sendiri. Kuhancurkan sendiri, kuremuk sendiri,
..dan ketika kau hadir untuk menyembuhkannya, aku justru menolaknya. Membiarkan hatiku tetap tersakiti dan terus tersakiti karena kesalahanku sendiri.

Dia.. ah, rasanya tak pernah habis. Seorang pria yang sanggup membuatku menyia-nyiakan kamu dan 'kamu' lainnya. Dia yang berhasil membuatku menutup pintu hatiku. Dia yang menyandera kebahagiaanku, yang menguras habis air mataku, yang menculik perhatianku, dan yang mencuri cintaku lalu memilikinya. Dia membawa segala kepunyaanku, dan tak meninggalkan apapun.
Rasanya, hanya rasa sakit itu yang membuktikan bahwa cintaku nyata. Kumencintainya maka kubiarkan hati dan ragaku menunggunya. Menunggunya peka, mengerti, lalu peduli. Menunggunya menganggapku, menyambutku, lalu membalas perasaanku.

Mantan, apa aku harus semedi tujuh hari tujuh malam untuk menebus rasa bersalah dan penyesalan ini? Kalau aku berkata begitu, kamu pasti akan menjawab, dengan tegar, seperti ini, "Nggak perlu. Dengan lihat kamu bahagia aja cukup."

Aku sejujurnya merindukanmu malam ini. Aku terlambat mengerti bahwa kamu adalah pria paling baik yang pernah kusia-siakan hanya karena keegoisanku.

Maaf pernah melukis luka, maaf pernah mencabik hatimu, maaf pernah membuatmu sakit. Maaf pernah menyia-nyiakan hati yang kauberikan itu.

Malam ini, Putri-mu yang bodoh, menyesal. Ia menyesal pernah meninggalkanmu. Ia merindukanmu, perhatianmu, dan segalamu.
Seusai mendengarkan lagu Pemeran Utama-Raisa, aku menghapus air mataku. Tangisku pecah lagi, selepas rasa sakit itu muncul. Mataku belum mau terpejam, otakku belum berhenti berputar, dan hatiku belum bangun dari lukanya. Aku tahu sekarang kamu sudah bahagia, Sayang--walau aku tak pantas memanggilmu begitu. Aku baru sadar setelah kamu benar-benar pergi, yang harusnya aku cintai itu kamu, bukan penipu ini, yang tiga tahun lamanya mendekam dengan sempurna di hati, bahwa kamu yang harusnya ada di hatiku selama itu. Harusnya kamu, yang mampu membahagiakanku, menghujaniku dengan cinta itu, harusnya... kamu. :')

Hei, sudah malam, baiknya kusudahi dulu surat galauku ini. Sekali lagi, maafkan aku. Maaf pernah menyakitimu, meninggalkanmu, dan juga maaf sudah menyiksamu dengan kalimat berbelit-belit diatas.

Maaf sudah terlambat mengerti.

Dari mantanmu,
yang egois,
yang malam ini sedang merindukanmu,
dengan beraninya.

Komentar

Posting Komentar

What's most