Dari yang Terabaikan

Kita pernah dalam posisi saling membahagiakan sebelum kita harus saling melepaskan dan mengikhlaskan. Dulu genggaman tanganmu pernah menjadi milikku sebelum tangan hangat itu menjadi sepenuhnya milik kekasihmu. Dulu, kita pernah saling menguatkan walau tanpa status dan ikatan apapun.

Aku mencoba tahan, menahan rasa sakit sepedih apapun dan mencoba menahan tangis dalam kondisi bagaimanapun. Aku selalu mencoba tegar, walau kini tak ada lagi pelukanmu yang mampu menguatkanku. Aku mencoba melupakanmu, bau parfummu, sentuhan hangatmu dipuncak kepalaku, dan senyuman itu, juga genggaman tanganmu ketika pertama kali kau sebutkan namamu.

Aku masih benar-benar ingat perkenalan kita saat pembagian kelas. Setumpuk kertas berisi biodata murid-murid yang kubawa penuh ditanganku sambil berjalan menuju kantor, lalu kamu datang dengan terburu-buru hingga menjatuhkan semua tumpukan kertas itu. Aku langsung menyumpah serapahimu dengan bahasa Jawa medok khasku, sementara kamu malah berlalu tanpa rasa bersalah. Lalu saat aku mencoba merapikan kertas-kertas itu, kamu datang lagi, dan membantuku merapikan itu guna menebus rasa bersalah. Aku tersenyum, kamu tersenyum. Dan sejak melihat senyum itu kupercaya bahwa suatu saat nanti kita akan dapat bersama dalam satu hubungan yang lebih jelas dan spesial. Aku, dengan kecepatan sekian perdetik, langsung jatuh cinta pada senyuman itu. Senyum manis dan memabukkan.

Jatuh cinta. Dua kata tanpa arti yang jelas itu langsung nenyanderaku dan menyerangku dengan tiba-tiba. Apalagi kita disatukan dalam satu kelas, membuatku yang entah dengan kekuatan apa semakin berani berharap lebih. Saat insiden tabrakan didepan kantor itu, aku ingat saat kau menjabat tanganku untuk pertama kalinya. Dengan lancar kau sebutkan namamu, nama yang cukup langka dan unik. Dan nama itu langsung mememori dirinya sendiri di otakku.

Sepaket perkenalan itu cukup terkenang. Atau mungkin tak bisa kulupakan? Dua tahun kita sekelas menimbulkan perasaan kuat dan dalam dihatiku. Begitu dalam, membuatku memilih untuk tetap diam. Tapi, Tuan, jika kau mau tahu, namamu tak pernah absen kusebutkan disela-sela percakapan panjangku dengan Tuhan.

Segalanya terjadi tanpa dapat kucegah sama sekali. Cinta yang kupendam ini mulai menimbulkan rasa sakit yang cukup mengganggu hari-hariku. Puncaknya, ketika tiba-tiba kau putuskan untuk menjauh, dan pergi tanpa sempat mengucapkan kata pisah. Itu tahun ketiga kita sekelas dan aku tak mengerti mengapa tiba-tiba kamu menjadi sosok asing tak seperti pria yang kukenal dan kucinta sebelumnya. Dan rasa sakitku semakin bertambah saat kutahu kamu sudah memiliki kekasih. Kamu tahu perasaanku saat itu? Aku hancur. Hancur lebur tak berbentuk. Kepingan hatiku tercecer dimana-dimana setelah kau remuk dengan brutalnya.

Semuanya berakhir tanpa dapat kucegah sama sekali. Aku tak sempat melarangmu pergi karena sibuk merapikan kepingan-kepingan hatiku sendiri. Kalaupun aku ingin mencegah kepergianmu sekalipun, aku bisa apa? Atau lebih tepat (menyakitkannya) aku ini siapa?

Setelah itu, tak banyak yang dapat kuceritakan. Kehidupanku dan kehidupanmu tetap berjalan. Walau kadang rasa rindu ini sedikit mengganggu hari-hariku, tapi aku sudah cukup sanggup menetralisir rasa sakitnya.

Iya, aku yang salah. Aku memang dihancurkan oleh harapan yang kuciptakan sendiri. Ini bukan salahmu, atau klisenya tidak ada sangkut pautnya denganmu. Iya memang sudah sepatutnya kau tidak peduli. Sudah seharusnya aku yang mengobati lukaku sendiri.

Tuan, jika boleh kuminta pada Tuhan, aku tidak ingin perasaan ini terjadi. Aku ingin hubungan kita hanya murni teman, tanpa campur tangan perasaan sialan itu; cinta. Jika bisa langsung kukatakan padaNya, aku ingin kedekatan kita tak menimbulkan perasaan lebih apapun.

Tuhan, seandainya aku bisa putar waktu. Agar aku tidak perlu nengenalmu, memperjuangkanmu lalu akhirnya diabaikanmu. Jika aku bisa kembali ke masa itu aku ingin kita hanya sekadar saling mengenal, tidak perlu saling paham, dan tak perlu sedekat itu. Kusebutkan itu karena memang diantara kita tak pernah terjadi rasa yang benar-benar nyata.

Tuan, jika bisa kuputar waktu, aku tidak ingin ada kedekatan terjadi diantara kita. Agar tak ada rasa sakit, atau sesak yang menggangguku, ketika tahu bahwa yang pernah ada itu kini telah tiada.

Untuk seseorang,
yang tak perasa sedikitpun.

Komentar

What's most