The Fault
Billy masih menyesap kopi pahit dalam cangkir berwarna
putih bersih yang berada di genggaman tangan kanannya. Membiarkan rasa pahit
itu mengalir dan menghiasi tenggorokannya. Luar biasa pahit—karena dia terbiasa
menikmati kopi dengan krimer—tapi mau tidak mau Billy harus mengakui bahwa rasa
pahit yang kali ini sangat nikmat.
Sesekali Billy melirik ke arah pintu kedai kopi yang baru
pertama kali dikunjunginya ini. Dia menunggu seseorang datang. Seseorang yang
seharusnya tidak perlu menemuinya. Seseorang yang sebenarnya mati-matian ia
hindari demi—untuk sedikit hiperbolis—kelangsungan hidupnya. Seseorang yang ...
Dan kini, ketika orang itu mengatakan akan datang, Billy
dengan senang hati mau menemuinya.
Diam-diam, Billy menyesali kebodohannya sendiri. Dia
dengan orang itu berjanji akan bertemu pukul dua siang Sabtu ini. Billy datang
satu jam sebelumnya, sembari mengendalikan detak jantungnya yang berpacu cepat.
Dia telah menghabiskan segelas capuccino
dan kini dia tengah menikmati kopi espresso-nya.
Billy merasa kembung, tapi itu satu-satunya cara paling akurat bagi Billy untuk
mengusir grogi. Kini, sudah pukul dua tepat : itu tandanya orang itu akan
segera datang.
Untuk yang entah keberapa kalinya, Billy melirik ke arah
pintu masuk kedai kopi. Tapi kali ini, Billy tak lagi mendapatkan pemandangan
sepi. Dia malah merasa bahwa darahnya berdesir, tenggorokannya tercekat, dan
jantungnya berdebar tiga kali lebih cepat.
“Hei, Bil! Bagaimana kabarmu?”
Oh, hell! Billy
sama sekali tidak baik-baik saja.
---
Saat ini, Billy sama sekali tak bisa menikmati espresso-nya seperti tadi. Dia semakin
sibuk mengendalikan jantungnya yang kini seperti hendak meloncat keluar dari
rongganya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Billy seolah lupa caranya
bernapas.
“Kenapa diam, Dude?
Sudah dua tahun kita tak bertemu, dan persahabatan kita di senior high school dulu tidak seharusnya membuat kita menjadi
canggung seperti ini.” Suara yang diucapkan dengan intonasi yang amat sangat
biasa itu entah mengapa menjelma seperti palu yang memukul kencang kepala
Billy. Dia menyesali persetujuannya bertemu dengan orang yang kini sudah duduk
di hadapannya ini. Dia menyesali mengapa dia mau saja datang ke kedai kopi di
pusat kota ini. Dia merasa atmosfer di ruangan luas ini mendadak semakin panas.
Juga waktu yang Billy rasa berjalan begitu lambat. Amat sangat lambat.
“Kita sudah saling bertemu satu sama lain, Bodoh! Apa
yang membuamu bertanya tentang kabarku?” dengan sekuat tenaga Billy berusaha
mengeluarkan suara. Orang di hadapan Billy itu kini terkekeh. Sama sekali tidak
menyadari bahwa Billy tengah berjuang keras hanya untuk menghirup udara guna
mengisi paru-parunya yang kosong.
“Kau masih sama, Dude!
Ha-ha-ha. Sarkastik-mu tak pernah hilang sama sekali. Aku kagum! Tak banyak
yang berubah pada dirimu padahal dua tahun sudah berlalu,” kata orang itu. Dia
kini melambaikan tangannya untuk memanggil pelayan. Seorang pelayan wanita yang
rambutnya diikat ekor kuda menghampiri meja mereka dan memberikan menu.
“Aku mau capuccino
dan spelucoos. Kau, Bil?” Sontak
Billy menggeleng. Dia menunjuk dua gelas kopi yang satu telah habis dan satunya
lagi tinggal setengah di hadapannya. Orang itu mengangguk dan menyerahkan buku
menu ke pelayan tersebut, dan kemudian pelayan itu berlalu.
“Jadi, ada perlu apa kau tiba-tiba menghubungiku dan
datang ke kota ini, Grey?” ujar Billy datar. Orang itu—Grey, sontak menatap
Billy. Tatapan matanya itu sulit Billy tebak apa maknanya. Tapi, dia tak mau
berusaha melakukannya. Dia membuang muka. Menghindari debaran keras dari
jantungnya yang semakin lama, semakin tak wajar.
“Banyak hal ... yang membuatku penasaran, Bil. Setelah upacara
kelulusan kau pergi begitu saja. Bahkan tak meninggalkan kontak apapun pada
siapapun. Apa aku salah jika aku bertanya-tanya alasanmu melakukan semua itu?”
Grey sedikit mengusap hidunya yang besar dan mancung sempurna. Tindakan yang
membuat Billy semakin menggila. Grey menghela napas, “Sebenarnya ... mengapa?”
Billy terdiam tanpa ekspresi. Dia mengambil cangkir
kopinya, menyesap sedikit. Apa yang harus dia katakan?
“Billy, come on!
Aku datang tidak untuk sebuah keheningan! Aku datang untuk jawaban! Aku sudah
mengenalmu selama bertahun-tahun, dan aku merasa berhak tahu apa alasanmu pergi
... meninggalkanku.” Grey mulai tak sabar menghadapi Billy yang tak kunjung
bersuara.
“Jawaban apa? Apanya yang mengapa?” kata Billy berusaha
biasa saja.
“Aku tidak bodoh. Aku tahu kepergianmu adalah untuk
menghindariku, ‘kan?” ujar Grey cepat. Billy tak sempat menguasai emosinya
sendiri. Dia terdiam. Kemudian, seorang pelayan datang mengantarkan pesanan Grey.
Tapi kopi dan kue itu sama sekali tak disentuhnya.
“Apa yang orang-orang katakan itu benar?”
“Apa yang mereka katakan?” tukas Billy cepat—khawatir.
“Kau mencintai ...,” Grey mengambil jeda, kemudian
menghela napas. “... Caroline?”
Billy cukup kaget mendengarnya, tapi juga lega. Itu
artinya Grey benar-benar tidak tahu yang sebenarnya. Billy merasa jantungnya
masih berpacu cepat, walau tidak seberingas tadi. Dia merasa sudah cukup hebat
dalam hal penguasaan diri.
Tapi satu hal yang sama sekali tidak bisa Billy lakukan;
penguasaan perasaan.
“Bodoh kalau kau beranggapan begitu, Grey! Aku sama
sekali tidak tertarik dengan Caroline. Sungguh!”
“Lalu apa?”
Ingatan Grey melayang ke kejadian tiga tahun yang lalu,
tahun kedua mereka di senior high school.
Saat itu Grey mengenalkan Caroline pada Billy, sahabatnya yang telah ia kenal
sejak berumur lima tahun. Saat itu dia sedang dalam proses pendekatan pada
Caroline, dan minggu depan baru akan mengungkapkan perasaannya. Gadis itu—Caroline—memiliki
wajah manis campuran Asia-Eropa yang menawan. Saat melihatnya, Grey dapat
melihat tatapan aneh yang terpancar dari mata abu-abu Billy. Tatapan yang sulit
diartikannya. Kemudian, Billy mengalihkan pandangan pada Grey. Pandangan yang
semakin tak bisa Grey mengerti. Dan sejak saat itu, entah hanya perasaannya
saja atau memang itu yang benar terjadi, Billy menghindarinya.
“Ada banyak hal, Grey ...” ujar Billy pada akhirnya
setelah hening selama lima detik.
“Dude, kau
tentu tahu bahwa aku ke sini karena aku punya banyak waku. Dan itu artinya, aku
juga punya banyak waktu untuk mendengar ceritamu.”
“Aku juga tak tahu alasannya. Tapi yang jelas, bukan
karena Caroline.” Billy berkata bohong, tapi tidak sepenuhnya. Dia jujur bahwa
alasannya menghindari Grey memang bukan Caroline, tapi dia bohong mengatakan
bahwa dia tak tahu alasannya. Billy benar-benar tahu alasannya, sangat
mengetahuinya sampai dirinya muak. Dia muak mengapa harus itu alasannya, dia
muak mengapa dia harus merasakan itu. Banyak yang Billy rasakan dan Grey—tidak seharusnya
mengerti. Atau mungkin, Grey memang berhak tahu, tapi untuk saat ini, Billy
merasa hal itu terlalu menjijikan untuk diketahui orang lain kecuali dirinya
sendiri.
“Oh, shit! Ada
apa denganmu, Billy?!” Mata Grey berkilat-kilat. Campuran antara sebal dan
emosi. Dia membuang napas asal.
‘Ada yang salah
denganku, Grey, dan kau tak seharusnya tahu.’ Billy mengatakannya, tapi
hanya mampu dalam hati.
“Im so sorry,
Grey. Tapi, aku benar-benar ...” kalimat ‘tak bisa mengatakan alasan yang
sebenarnya’ menggantung begitu saja di tenggorokan Billy. Ada sesuatu yang
menahannya untuk keluar.
Grey menghela napas, entah untuk keberapa kalinya. Dia
menyesap capuccino-nya yang sudah
tidak begitu panas. Rasa manis yang tidak begitu kuat menghiasi mulutnya.
Sedikit menenangkan.
“Bil, aku tahu mungkin untuk saat ini kau belum sanggup
mengatakannya padaku. Right?” Billy
tak mengangguk atau menggeleng, dia hanya menatap Grey tanpa ekspresi. “Untuk
kali ini, aku memaafkanmu atas rasa penasaran ini.”
Billy mengerutkan keningnya. Otaknya memproses sesuatu
yang baru saja ia dengar. Tapi, ia merasa tolol. Untuk itu; dia sama sekali tak
bisa berpikir.
“Aku akan menagih penjelasanmu suatu saat nanti,” kata
Grey. Kemudian, pria dengan model rambut cepat itu berdiri. Sebelumnya, dia
meninggalkan beberapa lembar uang untuk membayar pesananannya. “Dude, aku akan bekerja di kota ini. Dan
kemungkinan, aku jug akan menikahi Caroline lalu menetap di sini. Jadi, kau tak
bisa lari dariku lagi. Pesananmu biar aku yang bayar. Aku pergi dulu!”
Sebelum Grey benar-benar pergi, dia berkata pada Billy, “Jika
kita bertemu lagi, kau harus segera memberi penjelasan!” Dan pria itu berlalu
meninggalkan Billy yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Billy meraba dadanya, merasakan apa debaran dan perasaan
itu sudah hilang dari sana. Dia mendesah keras, tak ada yang berubah. Bahkan
meski sudah bertahun berlalu. Bahkan meski sudah bertahun dia menghindari Grey.
Ah, sebenarnya, dia bukan menghindari Grey. Dia hanya menghindari perasaannya
sendiri terhadap Grey. Perasaan yang tidak seharusnya ada. Perasaan yang tumbuh
tidak pada tempatnya.
Ya, Billy mencintai Grey, dan Billy sadar bahwa hal itu
adalah sebuah kesalahan. Sebisa mungkin dia menghindarinya dan berusaha
membunuh perasaan itu. Tapi, segala kuasa tentang cinta bukan lagi
kapasitasnya. Billy sudah mencintai Grey. Dan ketika bertemu kembali dengan
pria itu, dia mulanya berpikir bahwa dia sudah tak merasakannya lagi. Tapi
ternyata dia salah besar.
Sama sekali salah besar.
Perasaan itu masih ada. Bahkan tumbuh subur seiring
dengan waktu yang berlalu. Perasaan itu dengan liar mengobrak-abrik hatinya,
menghancurkannya sendiri. Billy tak habis pikir. Sebenarnya ... apa yang salah?
Sewaktu Grey mengenalkan Caroline padanya, dia memang
cemburu. Tapi, dia cemburu pada Caroline. Dia merasa bahwa sejak bersama Caroline,
perhatian Grey menjadi teralih pada gadis itu. Dan detik itu juga, Billy
menjelma menjadi pembenci Caroline meski logikanya menolak hal itu. Logikanya
tak bisa menerimanya.
Dia menyesap kopinya lagi. Kali ini sudah benar-benar
dingin. Sedingin perasaannya saat ini. Dia mati rasa dalam beberapa detik.
Billy memejamkan mata. Merasakan cinta itu semakin
mengaliri darahnya. Cinta yang tak ingin dia rasakan sama sekali. Cinta yang
tidak pada tempatnya.
Kali ini, Billy tak dapat membendung air matanya lagi.
---
Grey meninggalkan kedai kopi itu dengan perasaan serba
entah. Dia meraih ponselnya, mengetikkan nomor yang sudah dia hafal di luar
kepala.
“Caro, dia tak mau mengatakan apapun.”
Bersambung
Komentar
Posting Komentar