Coffee
Gadis itu
selalu datang sendirian ke kedai kopi ini. Rambut panjang sepinggangnya selalu
dibiarkannya terurai. Tiap malam minggu, pukul setengah delapan malam sampai
jam sembilan, dia selalu menghabiskan waktunya di sini dan duduk di meja dekat jendela. Dia akan memesan segelas latte
macchiato dan sepiring spelucoos
membuatnya betah berlama-lama di sini.
Di sini,
sebuah kedai kopi bernama Hammock Cafe,
yang terletak di distrik Kichijoji, Tokyo yang terkenal dengan suasana
santainya. Sebuah kedai kopi dengan desain harmonis yang membuat siapapun betah
berlama-lama di sini. Bahkan baristanya sekalipun; aku.
Aku adalah
seorang barista kopi biasa yang mengabdikan seluruh hidup untuk membuat kopi
terenak. Cita rasa kopi merupakan hal yang paling kuutamakan. Melihat pelanggan
menghirup aroma kopi buatanku, menyesapnya, dan kemudian tersenyum adalah
kebahagiaan tak terkira untukku. Selebihnya, pada selera mereka.
Tapi, sejak
pertama kali gadis itu datang, aku mulai merubah cita-citaku untuk membuat
cita rasa kopi tak hanya sekadar enak. Aku ingat waktu itu, malam minggu
gerimis turun kecil-kecil, tapi cukup membuat meja-meja yang terletak di luar
kafe sepi. Semua pelanggan berada di dalam kafe, tapi tidak dengan seorang
gadis. Gadis itu mengenakan kaus panjang yang dipadukan dengan sweater warna
biru muda, dan mengenakan rok lipit warna putih. Dia duduk tenang di meja
depan, wajahnya sendu tampak seperti menunggu sesuatu, tapi dia tetap menimati
rintik hujan yang membias seluruh meja di luar kafe ini. Gadis manis itu setia
sejak pukul setengah delapan sampai jam sembilan tanpa melakukan apapun. Dan
dia juga tidak tahu bahwa ada barista bodoh yang memperhatikannya di balik
meja, bersembunyi di belakang mesin peracik kopi.
Aku ingat
bagaimana gadis itu menyesap latte machiato-nya pelan-pelan. Membiarkan
kombinasi rasa pahit dan manis kopi itu mengalir dan menghisi tenggorokannya.
Dadaku berdebar, perasaan ini ... apa namanya, ya?
---
Malam
minggu ini, seperti biasa aku shift sore. Dari jam empat sore sampai nanti jam
dua belas malam. Dan, seperti yang kuduga, gadis itu datang. Dia datang dengan tas kecil berwarna putih, senada dengan kemeja
polos berwarna putih, dengan bawahan rok skirt tumblr warna biru muda. Ah,
sejak kapan aku jadi sering memperhatikan pakaian wanita itu?
Tapi
sungguh, gadis itu menarik dan ... mengagumkan.
“Segelas latte macchiato hangat, tambahkan satu sendok kopi dari takaran biasa,
ya! Oh, ya, aku mau sepiring brownies, beri topping
stroberi, ya!” Gadis itu tiba-tiba menghampiriku dan napasku mendadak tidak
teratur. Tenggorokanku tercekat dan telingaku mendadak tuli hingga aku jadi
sukar menyimak apa yang barusan dia katakan.
“Maaf,
Nona, bisa diulang?” ujarku penuh penyesalan. Dia berdecak.
“Menyebalkan.
Apa hari ini adalah hari merusak suasana hati seseorang?” katanya, tapi lebih
terdengar seperti dengungan. Di memalingkan wajahnya, tapi kemudian beralih
menatapku. “Kau tahu? Aku terbiasa berkata cepat karena aku benci sesuatu yang
berjalan lambat. Seperti ... menunggu seseorang yang tak kunjung datang.”
“Maaf,
Nona?”
“Lupakan
saja. Aku ingin segelas latte machiato
hangat dengan tambahan satu sendok kopi dari takaran biasa. Sepiring brownies
dengan topping stroberi. Mengerti?”
ucapnya dengan intonasi lebih lambat. Aku mencatatnya dan mengangguk mengerti.
“Baiklah,
Nona. Tunggu di meja dan saya akan mengantarkannya. Semoga malam Anda
menyenangkan.”
“Semoga
doamu dikabulkan, Barista Kikuk. Hihihi.” Katanya jenaka dan kemudian berlalu
dari hadapanku.
Aku
tersenyum seraya segera meracik kopi untuknya. Aku mengerahkan semua kemampuan
dalam hal ini. Aku menuangkan susu dingin yang sebelumnya sudah kublender
sehingga tampak berbuih. Lalu, aku menuangkan juga kopi esspresso dan menunggu dua puluh detik agar latte machiato ini
menjadi sempurna. Kemudian aku mengambil sepotong brownies dari lemari
pendingin. Mengolesinya dengan selai stroberi dan di atasnya kuberi sepotong
buah stroberi. Kini keduanya sudah siap disajikan. Aku membawanya dengan nampan
berwarna putih.
“Silakan
dinikmati, Nona.”
“Terima
kasih, Hondou-san.” Dadaku bergemuruh. Debarnya menderu dan menyesakkan
jantungku. Dia tahu ... namaku. “Eisuke Hondou. Nama yang menarik.” Lanjut gadis
itu tanpa mengalihkan diri dari tanda namaku.
Sial, aku
terbuai harapan.
Dengan
seutas senyum, aku meninggalkan gadis itu. Dia menganggukan kepalanya dan
kemudian tangannya menjamah lengan cangkir machiato-nya.
Dia tersenyum, mungkin puas dengan kopi buatanku.
Dan
diam-diam, aku ikut tersenyum. Hei, ternyata gadis itu punya senyum yang
menular.
Aku kembali
ke singasana baristaku dan disambut oleh bosku, pemilik kedai ini. Dia tampak
tersenyum puas dengan kinerjaku, begitu yang dapat ku analisis. Bosku masih
muda, umurnya mungkin sembilan belas atau kurang, seumuran denganku. Rambutnya
sebahu bewarna pirang. Meski dia bosku, dia tidak suka aku panggil dengan
sebutan ‘Bu’ atau ‘Bos’, dia lebih senang kupanggil dengan nama aslinya.
Sonoko-chan.
“Gadis yang
baru saja kau layani itu ... dia temanku.” Ujar Sonoko memulai pembicaraan. Aku
menoleh ke arahnya. Dia terus menatap lurus ke depan. Tapi tetap melanjutkan
bicara.
“Tadi dia
berkata dia benci menunggu, ‘kan? Huh, padahal gadis itu sedang melakukannya.”
Sonoko sedikit menghela napas. “Dia menunggu kekasihnya—eh, apa pantas, ya, kusebut
begitu? Ah, persetan. Dia menunggu seseorang yang sudah beberapa bulan ini
menghilang. Huh, Si Detektif menyebalkan itu meninggalkan Ran tanpa berkata
apapun. Kalau jadi Ran, aku akan mencari cowok lain untuk kupacari. Lagipula
dia cantik.”
“Oh, jadi
namanya Ran,” desisku pelan. Sonoko menoleh ke arahku.
“Hei, kau
menyukainya?” ujar Sonoko menggodaku. Aku menggeleng kelabakan, tapi hal itu
malah membuat gadis bersurai pirang ini tertawa lirih. “Jujur saja, Eisuke-kun.
Mencintai seseorang itu tidak salah. Yang salah adalah ... terus memendamnya.”
“Sonoko-chan
jangan bercanda, ah. Permisi, aku mau lanjut membuat kue kopi dulu, stok di
kulkas sudah habis.” Lalu aku berlalu meninggalkan Sonoko yang cekikian.
Jadi, tidak
boleh memendam cinta, ya? Bagaimana dengan menunggu?
---
Ini sudah
bulan kedua, dan tiap setengah delapan malam sampai jam sembilan, setiap malam
minggu, aku akan menunggu Ran datang ke kedai kopi ini. Menunggunya tiap minggu
menjadi rutinitas-ku kini. Tiap Sabtu pagi, aku melewati kuliahku dengan
gelisah. Ingin segera mengusaikannya dan segera berangkat berangkat kerja. Ah,
apa jatuh cinta selalu se-menyenangkan ini?
Jatuh
cinta. Jatuh dan cinta. Frasa itu sedikit mengangguku mengenai maknanya.
Bukannya jatuh itu sakit? Lalu, apa jika begitu artinya cinta juga berarti
sakit? Dan jika keduanya dikombinasikan, pasti akan menimbulkan luka
berdarah-darah yang menimbulkan rasa sakit yang begitu hebat.
Tapi, apa
aku benar-benar jatuh cinta pada Ran?
Sial,
otakku penuh dengan hal-hal semacam itu. Hal yang selama ini tak pernah
terjamah sedikitpun oleh pikiranku. Aku tak bisa menafsirkannya, apalagi
mengartikannya. Tapi, jika benar aku mencintai Ran, aku tidak akan berbuat
lebih untuk mengaplikasikannya. Aku mencintainya dengan tulus, cinta yang
kupunya ini rasional. Jadi, aku tak akan bertindak bodoh dengan berharap dapat
mengungkapkannya, apalagi bermimpi untuk memilikinya.
Lagipula, Ran masih menunggu kekasihnya itu. Detektif yang
kuketahui bernama Shinichi dengan marga Kudo. Dia tak pantas kujadikan saingan.
Dia jauh di atasku. Namanya sangat terkenal di mana-mana karena pemuda itu
sering membantu kepolisian Jepang. Walau kini dia menghilang, tetap saja, aku
tak pantas bersaing dengannya. Ha-ha-ha, siapa yang mau bersaing, sih?
Aku sudah di kedai. Ini hari Jumat, dan tentu saja aku tak
berharap Ran akan datang ke kedai ini karena itu bukan kebiasaannya. Besok baru
ia akan datang. Dan malam ini kulalui dengan bosan. Kedai tak begitu ramai. Hanya ada dua pasangan yang
mengunjungi kedai ini dan keduanya dilayani oleh Naeko Miike, rekan kerjaku
sekaligus barista wanita di kedai ini. Aku hanya menunggu dengan bosan di kursi
dapur. Sembari membuat kopi esspresso
dan membiarkan pahit kopi jenis ini menyebar di mulut dan tenggorokanku. Aku
lebih suka esspresso, karena kopi ini
melambangkan tentang pahit kehidupan yang harus kita teguk. Kita bisa saja
menambahkan krim di atasnya, tapi krim itu hanya menimbulkan rasa manis yang semu.
Kopi ini tetap pahit, dan dari kepahitan itulah kita menikmatinya.
“Eisuke-kun!” aku menoleh dan mendapati Sonoko berdiri di
ambang pintu dapur.
“Are, Sonoko-chan?”
“Ano, Ran akan
datang ke kedai ini, dia bilang dia butuh teman bicara. Tapi aku ada urusan
malam ini. Kau tahu, lah, minggu depan Kakekku akan mengadakan pameran tentang
kopi-kopi di seluruh dunia dan dia membutuhkanku. Kau mau, ‘kan, menemani Ran?”
“Eh, kenapa tidak Miike saja, Sonoko-chan?” kataku sontak
karena tubuhku langsung dikuasai oleh takjub, senang, dan terkejut.
“Ran menginginkan dirimu. Ya sudah, aku pergi dulu. Hibur
Ran, ya, Eisuke!”
‘Ran menginginkan dirimu.’, ‘Ran menginginkan dirimu.’.
Sial, kata-kata Sonoko barusan berlalu lalang di pikiranku. Sial, sial, sial!
Aku melangkahkan kakiku menuju meja barista yang kosong. Aku
mendadak senang karena kedai sangat sepi hari ini. Entah, apa yang membuatku
jadi semangat begini.
“Konnichiwa, Hondou-ku—“
“Kyaa—“
Aku menjerit heboh tatkala tiba-tiba Ran sudah muncul di
depanku. Ran melongo parah memperhatikan tingkahku yang tiba-tiba berlebihan.
Menyadari itu, aku segera menundukan kepala dan menjawabnya, “Konnichiwa,
Ran-san.”
Ran tertawa mengikik merespon perilaku konyolku. Tawa-nya,
senyumnya ... pahatan surga itu kini tepat di hadapan mataku. Dan dia tertawa
karena ulahku. Bayangkan, apa yang lebih menyenangkan daripada hal ini? Kadang,
kau harus bertindak bodoh untuk membuat orang yang cinta tertawa. Tapi ...
tunggu. Apa itu basah-basah di pipinya? Apa di luar hujan? Ah, tidak. Lalu ...
apa itu air mata?
“Seperti biasa, Hondou—eh, atau Eisuke-kun saja, ya?
Baiklah, aku mau latte macchiato,
tapi beri lebih banyak susu. Aku ingin sesuatu yang lebih manis, daripada kisah
cintaku yang berantakan.” Ujarnya, dengan nada sedih pada kalimat terakhir. “Setelah
itu, temani aku curhat, ya, Eisuke-kun.”
Aku meracik pesanan Ran secepat kilat. Dan setelah latte itu jadi, aku mengantarkannya pada
Ran. Saat sudah sampai ke mejanya, dia tersenyum dan menyuruhku duduk di
depannya. Dia duduk di dekat jendela besar kafe ini. Sinar matahari yang
memaparnya tampak membuat dirinya semakin bercahaya. Debaran ini, getar hebat
di jantung itu, bagaimana hal itu sama sekali tak bisa kukendalikan intensitas
kecepatannya?
“Aku butuh teman curhat, Eisuke-kun, Sonoko bilang, kau
adalah orang yang pas untuk itu. Mau menemani?” aku sedikit kikuk mendengarnya
bicara seperti itu. Dengan gugup, aku duduk di depannya, tanpa menaruh nampan
di atas meja. Nampaknya Ran tidak begitu mempedulikan hal itu.
“Kau tahu, Eisuke-kun, menunggu itu menyebalkan. Dan aku
harus menunggu orang yang menyebalkan juga. Lihat, betapa hidupku sangat
menyebalkan kuadrat?” Ran tak menyentuh macchiato-nya
sama sekali. Dia melempar pandangan ke luar jendela, “Meski menyebalkan, kenapa
aku bisa sangat mencinta pria itu, ya?”
“Ehmm, itu, ‘kan, pertanyaan yang seharusnya kau jawab
sendiri.”
“Tapi, teka-teki tentang cinta adalah sebuah tebakan yang
punya banyak jawaban. Seperti puisi yang punya banyak tafsir. Menyebalkan, aku
tak bisa mengartikan itu. Bahkan pertanyaan yang seharusnya mudah pun, tak bisa
kujawab.” Ran mendesah keras. “Eisuke-kun, kau tahu mengapa aku sangat menyukai
maccchiato?”
Aku menggeleng.
“Karena hanya dari sini lah aku mendapatkan hal manis yang
tak bisa kudapatkan dari Si Bodoh gila analisis itu.” Mendengar jawabannya,
dadaku seperti diremas. Ada perasaan serba entah yang menyerang dadaku
tiba-tiba.
Aku beranjak berdiri. Ran menatapku terkejut dan sebelum
mencegahku, aku segera berlari menuju dapur. Aku berniat membuat segelas esspreso untuk gadis itu. Dengan cepat,
aku menyeduh kopinya. Tanpa menambahkan krimer. Agar pahit dari kopi ini tetap
terjaga. Tak lupa gelas esspreso-ku
tadi kubawa serta.
Aku kembali ke meja Ran dan gadis itu masih memasang wajah
heran. Aku meletakkan dua cangkri essspresso
dan Ran menatapku semakin heran.
“Cobalah.” Aku mendorong segelas esspreso ke depannya. Dia semakin heran, tapi tetap menurut dan
menyesap kopi itu. Satu esapan pertama, wajahnya berubah. Menahan panas dan
pahit yang mungkin menyatu di lidahnya.
“Luar biasa pahit. Kau tak menambahkan krimer sedikitpun?”
“Tidak. Aku hanya ingin kau tahu bahwa ada yang lebih pahit
dari pada hidupmu. Yakni esspreso
ini.” Ran menatapku tak percaya. Matanya tampak berkaca-kaca. “Dan jika kau
tetap beranggapan bahwa hidupmu adalah yang paling pahit, tenang saja, kau tak
merasakan pahit itu sendirian.”
Aku tahu bahwa air mata Ran sudah turun sebutir. Tapi, tidak
masalah. Aku tahu bahwa itu adalah air mata bebannya selama ini.
Aku dan Ran menyesap esspreso
bersamaan. Tapi kali ini, tak kurasakan pahit yang menggigit seperti
biasanya. Ada rasa manis yang menyergap lidah, dan bahkan seluruh tubuhku.
Kebahagiaanku menari; larut bersama esspreso ini.
---
Ada yang tahu rasanya terbang, kemudian dibanting ke dasar
jurang?
Aku tahu.
Seperti malam minggu ini, Ran datang ke kedai kopi dengan
tampang berbinar. Dan hal itu tentu saja membuatku senang karena usahaku untuk
menghiburnya berhasil.
Tapi, siapa sangka dia tidak datang sendirian?
Ran datang menggandeng seseorang. Wajahnya penuh binar
bahagia, dan pria itu—yang datang bersamanya—juga menampilkan rona semacam itu.
Aku yakin mereka berdua sedang sama-sama bahagia.
Dan aku yakin bahwa pria itu adalah Shinichi Kudo. Pria yang
ditunggunya selama ini.
“Eisuke-kun, ini Shinichi.” Ran memperkenalkan pria itu
dengan nada begitu riang. Tapi, siapa sangka bahwa bahagia Ran yang satu ini
malah membuat hatiku sakit?
“Aku pesan latte
macchiato, ya, seperti biasa tambahkan kopi satu sendok dari takaran biasa. Kau mau apa, Shin?” tanya Ran.
“Buatkan aku capuccino,
jangan terlalu manis. Karena yang manis itu semu.” Ran tersenyum mendengarnya.
“Tunggu di meja, Tuan dan Nona, pesanan akan segera kami
antarkan. Semoga malam kalian menyenangkan!” ujarku. Tapi, hanya Shinichi yang
meninggalkan meja barista. Tidak dengan Ran. Gadis masih berdiri di hadapanku,
tapi matanya tak lepas dari punggung Shinichi yang menuju meja di dekat jendela
besar kafe ini. Tempat yang kemarin ku duduki bersama Ran.
“Hei, Eisuke-kun, dia kembali.” Kata Ran saat Shinichi sudah
duduk tenang. Ran tampak menahan haru. Tapi aku menahan rasa sakitku. “Dia
kembali setelah kita bicara malam itu, dia tiba-tiba datang. Dan ... dia
kembali, setelah lama pergi.”
“Selamat, ya, Ran-san, aku turut senang.”
“Arigatou, Eisuke.”
Aku mengangguk. Ran berlalu bersamaan dengan aku memberikan catatan pesanan
pada Miike. Aku tak ingin membuat kopi karena jika dalam suasana hati buruk
seperti ini kopiku tidak akan berasa enak. Gadis itu menurut tanpa bertanya
lebih lanjut. Aku menuju meja dapur dan segera membuat segelas esspreso untuk diriku sendiri.
Aku menyesap kopi super pahit itu sendirian. Aku terduduk di
meja dapur, menikmati rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Aku terus
menyesap kopi kesukaanku ini.
Memang perasaanku saja, atau kopi ini memang bertambah
pahit?
Aku menengadah. Membiarkan luka itu melebur bersama rasa
pahit dari esspreso ini. Membias
bersama harapan yang layu sebelum sempat bertumbuh. Bodoh, bukannya sejak awal
aku memang tidak ingin bermimpi dan berharap? Bukankan sejak awal aku sadar
bahwa Shinichi Kudo itu tak cocok menjadi sainganku?
Bodoh, harusnya sejak awal aku sudah sadar bahwa segala hal
yang manis itu semu.
Kini, aku akan kembali menjadi barista yang terobsesi
membuat kopi terenak. Cita rasa kopi merupakan hal yang paling kuutamakan.
Melihat pelanggan menghirup aroma kopi buatanku, menyesapnya, dan kemudian
tersenyum adalah kebahagiaan tak terkira untukku. Selebihnya, selera mereka.
Aku tak perlu lagi membuat kopi sambil menunggu.
Menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang.
--Fin
‘Cinta tidak menunggu. Cinta itu mengejar dan
memperjuangkan. Karena asal kau tahu; cinta yang dipendam, sama sekali bukan
cinta’. -Coffee
Nice Story :)
BalasHapusHalo, Mas Ali. Selamat datang dan terima kasih, ya! :)
Hapus