リング [Cincin]

Shiho Miyano. Gadis bersurai pirang itu menyeruput perlahan teh lecinya. Sembari sesekali melirik ke arah pintu restoran, berharap seseorang yang sudah ditunggu selama nyaris satu jam lamanya itu segera datang. Shiho merapatkan jubah musim dinginnya. Salju di Tokyo memang juara.

            Dulu waktu kecil, Shiho sangat menyukai salju. Dia selalu bermain di halaman rumahnya untuk sekadar bermain lempar salju atau membuat boneka salju. Tapi, kini, dia bahkan sama sekali tidak meminati salju. Baginya, salju putih tak lagi cantik dan menarik. Sejak dia mengenal pengetahuan, Shiho juga tahu bahwa salju dapat membuat kecelakaan di jalan raya. Salju membuat semua akses terasa sulit. Dan lagi, jangan tanyakan tentang dinginnya.

            Tangan kanannya yang tak tertutup sapu tangan mengambil ponsel di saku jubahnya. Berharap siapa tahu orang yang ditunggunya itu mengirimkan teks pemberitahuan bahwa dia akan datang terlambat. Tapi nihil. Ponselnya tak lebih ramai dari pemakaman. Sangat sepi; seperti kondisi hatinya saat ini.

            Pikiran Shiho memvisualisasikan satu bayangan wajah seseorang. Seseorang itu yang kini tengah ditunggunya. Matanya yang bulat, dagunya yang lancip, dan segalanya—yang bagi Shiho—adalah pahatan surga. Seseorang yang kini menjadi partner kerjanya; Shinichi Kudo. Mereka berdua berjanji bertemu di restoran ini guna makan siang bersama.

            Dia dan pria itu sudah seminggu tak bertemu. Pria itu kabarnya tengah mengurus sebuah kasus di daerah Kyoto. Dan, keterbatasan bertemu itu membuah Shiho mau tak mau jadi merindukannya. Rindu yang semakin lama, dirasakannya semakin tak wajar. Entah sejak kapan rasa itu muncul. Rasa itu ada begitu saja, menjelma menjadi cinta maha dahsyat yang tak pernah Shiho rasakan sebelumnya.

            Ya, Shiho mencintai Shinichi.

            Jatuh cinta diam-diam. Itu yang Shiho lakukan. Karena baginya, cinta bukan sesuatu yang begitu penting untuk diungkapkan. Bagi Shiho, tak semua cinta harus diumbar ke dunia. Ada beberapa yang memang tak perlu diungkapkan. Biarlah cinta itu abadi dalam diam. Dalam keheningannya, juga dalam setiap sikap dinginnya.

            “Oee, Shiho-chan! Lama menunggu?”
--- 

            Shiho tersentak kaget begitu menyadari bahwa pria bermarga kudo itu sudah ada di hadapannya. Pria itu mengenakan jaket tebal warna biru tua favoritnya, dipadukan dengan celana jeans. Pria ini terlihat ... tampan.

            “Sejak kapan kau berdiri di situ?”

            “Sejak kau melamun.”

            Shinichi menarik kursi di hadapan Shiho dan kemudian mendudukinya. Dia melambaikan tangan dan kemudian melambaikan tangannya. Seorang pelayan wanita mendatangi mereka dan menyerahkan buku menu. Shinichi membolak-balik halamannya.

            “Aku mau pasta puttanesca dan segelas teh leci. Kau, Shiho?” tanya Shinichi sambil menatap Shiho.

            “Samakan saja denganmu. Lagipula, aku sudah pesan minum,” ujar Shiho. Sang pelayan mencatat pesanan mereka berdua dan kemudian berlalu seraya membawa serta buku resep itu.

            “Jadi, kau terlambat satu jam dari perjanjian, Shin!” kata Shiho dengan gaya khasnya—dingin—membuka percakapan. Shinichi yang menyadarinya langsung menggaruk ujung kepalanya yang tidak gatal, kemudian nyengir lebar.

            “Aku baru dari suatu tempat, untuk membeli ...” Shinichi merogoh kantong jaketnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil warna biru tosca. Mata Shiho melebar melihatnya. “ ... membeli ini. Sekaligus isinya. He-he.”

            Shiho masih menatap tak percaya kotak di hdapanannya itu. Pikirannya mulai berimajinasi dengan brengsek. Dengan telak, Shiho mulai berharap banyak. Shinichi membuka kotak beludru itu. Tampaklah sebuah cincin warna emas putih. Dengan mata potongan berlian yang tampak berkilauan. Cincin yang tampak sederhana itu, malah terlihat mengagumkan bagi Shiho.

            Seorang pelayan yang tiba-tiba datang ke meja mereka guna mengantarkan pesanan membuyarkan lamunan Shiho saat mengagumi cincin itu. Setelah meletakkan dua piring pasta puttanesca milik mereka berdua dan segelas teh leci milik Shinichi, pelayan itu berlalu.

            “Oe, Shiho!” gertak Shinichi. Shiho langsung bisa menguasai diri.

            “Nande?”

            “Kemarikan tanganmu!” kata Shinichi. Pria itu kemudian menggeser dua piring pasta mereka, sehingga kini tak ada yang membatasinya untuk merai tangan Shiho. Shiho sedikit tersentak kaget. Tak sempat berkata apapun, Shinichi langsung menarik tangan kanan Shiho. Dia mengambil cincin emas itu dari kotak beludru, dan memakaikannya pada jari manis Shiho.

            “Shin, apa yang kau—“ ucapan Shiho terpotong begitu saja saat tangannya tiba-tiba Shinichi sudah menggenggam tangannya. Tangan besar Shinichi terasa dingin, tapi Shiho merasa nyaman. Matanya membelalak saat Shinichi telah menatapnya dengan mata sungguh-sungguh.

            “Shin, hentik—“

            “Aku boleh mengatakan satu hal padamu?” kata Shinichi pelan. Matanya memandang lurus, menatap lekat-lekat mata Shiho. Mengunci mulutnya sehingga Shiho tak berani berkata-kata. “Sejak dulu, sejak kita berdua mulai berhubungan dekat, aku tahu bahwa aku mulai merasakan debar aneh ini. Aku merasa bahwa dadaku bergemuruh tiap kali kita bertemu.”

            Shiho masih menatap Shinichi. Spechless.

            “ ... saat itu, aku mulai merasa bahwa debar aneh itu adalah satu bukti bahwa aku mulai merasakan satu hal. Satu hal yang disebut sebagai indra kedelapan manusi. Indra yang merupakan satu hal inti dalam hidup ini. Aku mulai ... mencintaimu.”

            Shiho semakin tak bisa bicara.

            “ ... untuk saat ini, untuk beberapa detik saja. Aku akan egois. Aku ingin berkata bahwa aku sangat ingin memilikimu sepenuhnya. Ketahuilah, aku tak ingin tinggal pada satu dunia tanpa ada kamu di dalamnya.”

            “ ... izinkan aku melakukan satu hal yang benar. Satu hal yang seharusnya sudah telah kulakukan sejak dulu.”

            “ ... menikahlah denganku!”
            Tenggorokan Shiho tercekat. Dia merasa ada kupu-kupu menari di perutnya. Dia merasa dibawa terbang ke Dunia Atas dan bertemu Dewi Ishtar.

            “Menikahlah denganku, Ran Mouri!”

            “Hah—“ Shiho merasa langit di atasnya runtuh. Dia menatap Shinichi, kini pria itu telah tersenyum dan kemudian melepaskan cincin itu dari jemari Shiho, lalu menyelipkannya kembali ke kotak beludur.

            Pria itu kembali menyeret piring pastanya ke hadapannya. Menyuapkan ke mulutnya seolah baru saja tak terjadi apapun. Shiho masih tercengang.

            Di sela kunyahannya, Shinichi berkata, “Aku akan melamar Ran esok hari. Bagaimana menurutmu kalimat yang kurangkai tadi? Apa cukup romantis?”

            Mendengar hal itu, Shiho bagai dipukul oleh palu tepat di kepalanya. Semesta yang egois. Dia baru saja diterbangkan setinggi langit dan kemudian diterbangkan ke tengah jurang. Matanya panas. Dia seperti baru saja terbuai oleh mimpi indah dan kemudian terhempas ke kenyataan.

            “Cincin-nya juga pas di jemarimu, aku yakin akan pas juga di jemari Ran.” Kata Shinichi. “Aku pikir tak masalah, ‘kan, aku berlatih melamar seorang gadis denganmu. Toh, kita teman. He-he. Makan pastamu!”

            Shiho masih tercengang. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tercipta sebagai mahluk paling tolol yang pernah terlahir di Bumi ini. Shiho merasa bodoh. Amat sangat bodoh. Dia merasa matanya panas.

            “Yah, cukup bagus.” Tukasnya singkat. Dia merasa atmosfer restoran ini begitu panas. Dia ingin keluar; menyudahi ini. Shiho beranjak berdiri, mengambil tas selempangnya. Shinichi yang melihat tindakannya itu langsung menatapnya.

            “Aku ke toilet sebentar.”

            Shiho berlari menuju toilet sambil merasakan hatinya yang patah pelan-pelan. Dia berdiri di depan sebuah wastafel dan kaca besar, menatap pantulan dirinya. Dia memperhatikan bayangan itu dengan seksama. Bayangan dirinya yang begitu bodoh.

            Shiho merasa bahwa jantungnya akan segera pecah. Dia memegang dada-nya. Ada rasa sakit yang tak bisa ia mengerti dan ia terima. Rasanya begitu ngilu. Sakit dan perih itu melebur menjadi satu. Larut bersama darahnya.

            Shiho menitikkan air mata. Bulir bening yang mengkristal di pelupuk matanya itu kini mengalir melewati pipinya. Shiho meraung. Dia menangis semakin keras. Dia memuku-mukul dadanya. Sakit. Amat sangat sakit.

            Ia masih menangis dengan raungannya. Membiarkan lukanya semakin basah oleh air mata. Biar, biar semua cinta itu larut. Cinta yang sangat dia sesali kenapa dia merasakannya. Cinta tolol yang selama ini dipertahankannya.


Cinta yang ia tujukan untuk Shinichi. 

-Fin

Komentar

What's most