[Hari ke-12] Sama-sama Bodoh

Jadi ... ini perpisahan?

Ingatkah kau suratku waktu itu? Aku pernah berjanji untuk tidak lagi menulis tentangmu. Tapi, nyatanya, untuk tidak melakukannya begitu sulit. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bercerita tentangmu lagi. Ada begitu banyak rasa yang terlalu mubadzir jika kusimpan sendiri. Rasa yang kuperoleh; sejak mencintaimu.

Yah, bukan sebuah cinta yang berakhir bahagia. Aku memperjuangkanmu, dan kau mengabaikanku. Tapi, siapa sangka bahwa ada akhir yang selama ini tak kuduga? Siapa sangka bahwa ternyata rahasia tak hanya milikku saja? Siapa ... yang sangka bahwa ternyata akhirnya jauh dari perkiraanku, yang berpikir bahwa kau sama sekali tidak mencintaiku?

Kalau kau mau tahu, kau sangat mirip ayahku. Caramu mendebat seseorang, caramu tersenyum, caramu tertawa, caramu bersikap, caramu berpendapat, caramu menolak pendapat, caramu berceloteh, dan semua yang ada pada dirimu benar-benar mirip ayahku. Dan tentu, siapapun tahu jika ada seorang gadis yang begitu mencinta dan mendambakan ayahnya, lalu dia menemukan lelaki yang sangat mirip dengan ayahnya, apa yang akan ia lakukan. Biar kuberi tahu kau satu rahasia satu, aku adalah seorang gadis yang tak pernah mematok tipe terlalu tinggi. Aku sejak dulu mengidamkan dapat menemukan seorang pria yang mirip Bapak, entah dari sisi manapun itu, aku ingin ada bagian dari lelaki itu yang mirip ayahku. Dan aku menemukannya pada dirimu.

Sakit tentu saja saat mengetahu bahwa kau ternyata lebih memilih dia. Karena kau memilihnya saat aku malah sedang menjadikanmu satu-satunya pilihan. Aku menyingkirkan begitu banyak hati. Aku mulai mencibir udara dengan menjadikanmu satu-satunya hal yang kuizinkam untuk.mengisi paru-paruku. Aku mulai jatuh pada dirimu. Menjadikanmu satu-satunya dihidupku. Bodoh, 'kan? Aku tahu.

Tapi, satu hal yang tidak aku tahu, bahwa ternyata kau juga mencintaiku.

Oke, katakan padaku siapa yang lebih bodoh di sini. Aku yang terang-terangan mencintaimu, atau kau yang tahu bahwa aku mencintaimu--dan ternyata kau membalas perasaanku--tapi tetap diam dan membiarkanku tersiksa karena kupikir hanya aku yang mencintaimu?

Awalnya aku memang berpikir bahwa kau mengabaikanku, juga berpikir bahwa semua pasti akan berakhir seperti yang kuduga. Toh, kautetap memilih dia. Dan tak ada kesempatan bagiku untuk memisahkan kalian, dan kemudian mendapatkanmu. Walau belakangan aku tahu bahwa kau juga mencintaiku, tak mungkin aku akan merusak hubungan kalian.

Kau penasaran dari mana aku tahu bahwa kaujuga mencintaiku?

Aku membacanya.

Ya, aku membacanya. Surat yang kautulis untukku, beberapa jam sebelum perpisahan, yang tak jadi kauberikan padaku tapi malah kau selipkan di sela tumpukan buku. Aku membacanya secara penuh, dengan teliti, tanpa melewatkan satu katapun. Dan, membaca tiap kata yang kaurangkai, aku kesulitan bernapas. Aku merasa atmosfer kelas mendadak panas, bahkan seperti terbakar. Aku bahkam sampai memukul-mukul dadaku sendiri untuk membuat detak jantungku kembali teratur. Aku mendadak merasa tulang-tulangku hancur, dan puing-puingnya meluruh. Tenagaku lenyap. Aku merasa mati dalam beberapa detik.

Oh, ayolah, Dude! Apa salahnya mengaku bahwa kau juga mencintaiku?

Aku tidak bermaksud menyalahkanmu. Tentu saja, semua sudah terjadi dan seharusnya hal itu tak perlu kusesali. Tapi, salahkah jika aku terus bertanya-tanya dalam hati? Sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa, saling cintapun, tidak tentu akan berakhir bahagia.

Tapi kupikir ... seharusnya ini sudah berakhir.

Ya, 'kan, Dude?

Upacara kelulusan sudah berlalu berhari-hari yang lalu, tak ada alasan bagiku untuk terus berdiam diri dan menyesali keputusanmu. Kini, kau sudah bahagia bersama dia. Sudah siap menempuh hidup baru dengan mengambil pendidikan baru di luar kota. Semua sudah kembali sama. Daun masih hijau, detik masih bergerak, tumbuhan masih berfotosintesis, Einsten tak bangkit kembali, Bumi tetap berotasi, dan di Bulan masih tak ada gravitasi. Semua masih sama.

Kini, tinggal aku yang berusaha agar segera baik-baik saja.

Dude, aku yakin cepat atau lambat; aku akan segera merindukanmu.

Salam,
Nataya.

[*surat ini adalah bentuk monolog dari novel karya saya yang akan sedang dalam proses penulisan. Doakan, ya!]

Komentar

What's most