Langkah

Untuk yang selalu yakin.

Kamu melangkahkan kakimu lamat-lamat. Seolah takut menginjakan diri pada sesuatu yang begitu berharga. Langkah pertama, sebuah langkah kecil menuju perubahan indah bagiku dan perubahan besar bagimu. Langkah kedua, kamu semakin yakin. Bahkan pada langkah ketiga, kamu tak lagi berjalan pelan. Kamu bahkan mengedahkan kepalamu. Beberapa langkah masih seperti itu. Sampai di langkah yang kesepuluh, kamu mulai berlari.

Meninggalkanku; untuk tidak kembali lagi. Sama sekali.

Aku masih di belakangmu. Tidak tahu harus berbuat apa selain terdiam menatap langkahmu yang semakin panjang, semakin yakin, dan semakin ... jauh. Aku menatap pada satu jurus. Ranah bayangmu yang belum hilang penuh. Nanar; mataku menelusuri apa saja yang bisa kulihat dari punggungmu. Punggung kuat yang penuh beban. Punggung kuat itu dulunya rapuh. Bahkan nyaris saja patah dan hancur tulang-tulangnya. Tapi keyakinan itu membuat punggungmu kuat.

Punggung yang entah cepat atau lambat akan segera kurindukan.

Langkah itu membawamu pergi. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, sampai tak terhitung lagi ketika kamu mulai berlari. Kamu yang awalnya hanya berjalan pelan, sesekali menengok ke belakang, kini begitu yakin menatap sesuatu di depan. Bibir mu mulai melengkung; menciptakan satu senyum yang tak lagi bisa kunikmati manisnya. Kini aku yakin, berniat kembali pun kamh tak sudi.

Saat itu kamu masih berjalan lurus, dan aku masih bisa--jika seandainya ingin--mengikuti. Langkah itu begitu yakin. Bahkan aku dapat turut serta merasakan bara semangat yang menggebu itu.

Lalu, sampai di sebuah persimpangan jalan.

Kamu terdiam cukup lama, menentukan akan berbelok ke kiri atau ke kanan. Bagimu, semua jalan adalah benar. Karena tak ada yang salah bagi perjalanan panjang. Kamu terdiam cukup lama. Atau mungkin, begitu lama. Dahimu berkerut, berpikir begitu keras.

Aku tercekat. Kamu ke belakang. Kamu menengok ke arahku.

Wajahmu tampak bingung, tampak linglung. Kamu tak beranjak dari tempatmu berdiri. Di tengah dua arah. Aku menatapmu. Mengirim satu telepati yang aku yakin akan sangat kamu mengerti.

Dan, kamu mengangguk. Lagi-lagi, sebuah keputusan besar.

Dengan langkah yakin, kamu mulai berbelok ke arah kanan. Langkah itu kembali kuat. Kembali depaknya membawa sebuah ambisi yang begitu menggebu. Kamu kini berada pada sebuah jalan di belokan kanan. Semakin yakin dengan pilihanmu. Di sana, tepat di ujung jalannya, kamu menemukan suatu potret surga. Kamu tersenyum, tercengang. Menyadari betapa langkah panjang itu ternyata tak membawamu ke ranah yang salah.

Kamu menyadari bahwa matahari bersinar lebih cerah dari biasanya. Kamu menyadari bahwa angin berhembus lebih lembut dari biasanya. Kamu juga menyadari bahwa hari ini; kamu jauh lebih baik; dari sebelumnya.

Kamu tersenyum. Belum pernah kamu merasa sebahagia ini sampai rasanya ingin menangis.

Hei, kamu harus ingat bahwa aku masih di belakangmu. Selalu di belakangmu. Tanpa sepengatahuanmu, aku juga mengikutimu berbelok ke kanan. Bukan, ini bukan kemauanku. Ini karena dirimu. Bagian dari dirimu adalah aku. Bagian dari dirimu adalah sebagian besar dariku. Dan karenanya sudah seharusnya kamu membawaku ikut serta meski kau tak akan lagi hidup bersamaku. Tapi, ketahuilah aku akan selalu di sini. Di belakangmu, tak begitu jauh. Atau jika kau malas menoleh, kau bisa meraba dadamu. Kita akan saling bertelepati tanpa saling bertemu kembali. Tanpa tatap, kita masih bisa berkomunikasi.

Ketahuilah bahwa aku selalu di sini, menunggu kau tolehi saat kau tak lagi tahu harus berjalan ke arah mana.

Salam,
Masa lalu.

Komentar

What's most