[Hari ke-3] Pengakuan Jujurku

Aku masih merindukanmu dengan kadar yang berlebih. Semakin dalam dan semakin perih. Sebongkah penyesalan merasup ke dalam kalbu, merayap pelan-pelan. Aku disiksa oleh kenangan, masa lalu yang tak bisa kutaklukan. Aku dirajai oleh ketakutan yang tak kumengerti. Dengan mencintaimu; aku seperti kehilangan jati diri.

Tubuhku utuh tak kurang suatu apapun, tapi hatiku hancur berkeping-keping. Air mata terus menetes seolah tak kenal kering. Kau datang lagi ke memori otakku, membawa cinta yang seharusnya sudah lama mati. Kau yang dulu meninggalkanku, kini kembali kuingat dengan sepelik kenangan yang ingin membunuhku.

Jika kuboleh jujur akan sesuatu, aku ingin bilang bahwa aku sangat mencintaimu. Dan cinta ini seperti sebuah keharusan. Aku sangat mencintaimu, tapi memilikimu bukan lagi kapasitasku. Kamu hanya bayang-bayang paling nyata yang pernah ada. Kamu seperti batu paling lembut yang pernah tercipta. Tapi sejatinya; kamu tetaplah bayang-bayang, menghamburkan harapan, lalu menghempaskan.

Ingatkah kau sepotong senja waktu itu? Oranye dan abu-abu yang menjadi payung Bumi waktu itu kita nikmati sambil menyeduh dua gelas kopi. Tapi, dua gelas itu seolah hanya sebagai penghias. Kita malah sibuk bicara, bercerita, dan berkisah. Kita berdua duduk di kursi panjang di sudut taman, menikmati sore bersama harapan.

Kita tak lebih dari sekadar teman, tapi ternyata hatiku nekat menciptakan hal bernama harapan. Rasa itu ternyata membawaku ke arah yang semakin jauh. Arah menuju suatu tanah yang mungkin saja tak ingin kau pijaki. Arah yang membawaku ke negeri yang entah terletak di benua apa. Ranah yang membuatku semakin gila dan semakin mendambamu. Aku mulai mencintaimu, cinta yang tak bisa kuredam dan tak bisa kukendalikan. Rasa itu hadir begitu saja, tak bisa kucegah apalagi kusanggah. Aku mengaku bahwa perasaanku sudah jauh lebih dalam daripada itu. Ibarat samudra, jika Pasifik setinggi dada, perasaanku sudah menenggelamkan manusia.

Aku mencintaimu, dalam ranah apapun. Aku mencintaimu, dalam deskripsi bagaimanapun.

Aku mencintaimu dengan rasional, tapi sejak saat itu aku mulai merasa bahwa aku adalah gadis paling bodoh dan bebal. Pil pahit kehilangan yang terpaksa kutelan, dan cinta yang menguap sebelum tersampaikan. Begitu terus. Semakin kuat dan semakin dalam, tapi aku tetap memilih bungkam. Menyimpan segalanya dalam diam.

Terjebak dalam zona pertemanan tak membuatku surut untuk mencintaimu. Rasa yang ada terus bertambah, menderaskan diri dengan cara yang tak kumengerti.

Tapi ternyata, mencintaimu adalah hal yang tak seharusnya terjadi.

Hal ini adalah sesuatu yang tak kaukehendaki. Dengan wajah penuh benci, engkau pergi. Meninggalkanku terpaku sambil mengais-ais bayanganmu. Kau pergi; meninggalkanku begitu saja.

Kini, kita telah hidup sendiri-sendiri. Walau bayang tentangmu masih belum bisa kubuat mati, setidaknya aku mampu berjalan dengan normal tak tertatih. Bagiku, kau tetap seperti matahari, yang bisa menghangatkan walau dari kejauhan. Walau hangatmu, tak hanya untuk diriku.

Teka-teki tentang cinta seperti tebakan yang punya banyak jawaban. Seperti puisi yang punya banyak tafsir. Semacam filosofi yang tak bisa kumengerti. Juga bahasa yang punya banyak arti. Mencintaimu; adalah matiku yang tinggal menunggu waktu. Detik demi detik yang berlalu, terus menatihkanku akan bekas luka; yang disebabkan karena terlalu mencintaimu.

Bisa kaulihat di sudut hatiku, ada bekas luka yang perihnya disebabkan olehmu. Luka yang kini penuh nanah yang merekah itu juga sedikit berbau busuk karena terlalu lama kututupi oleh senyum palsu.

Tak ada yang tahu bahwa aku untukmu aku punya cinta yang luar biasa. Karena hatiku tahu; bahwa sebisa apapun, tak akan ada yang mampu untuk menyelami dalamnya. Oleh karena itu, aku memilih untuk terus memendamnya, menguburnya, sampai waktu sendiri yang akan meledakkanya.

Aku mencintaimu; setidak tahu apapun kamu.

Komentar

What's most