[Hari ke-6] Drama yang Belum Sempat Kita Sudahi

            Kamu mengulurkan namamu begitu saja, dan kemudian menyebutkan nama. Nama yang kemudian memori dirinya sendiri di otakku. Aku tersenyum tatkala menerima uluran tanganmu, membalasnya dengan hal yang sama. Perkenalan sederhana itu yang kemudian—tanpa kuduga sebelumnya—menjelma menjadi sesuatu penting dan berkesan.

            Kenangan dua tahun lalu itu seperti asap rokok. Walau telah hilang, yang telah dihirup oleh hidung akan terus mengendap di paru-paru, dan merusaknya. Kenangan itu sama persis. Semakin aku mengingatnya, maka semakin hancur pula perasaanku. Kenangan yang sama, tapi saat ini tak lagi bisa kuingat dengan cara yang sama. Kenangan itu mengudara, larut bersama angin malam dan kopi hitam.

            Dulu, sejak perkenalan itu, aku tak pernah menduga bahwa kita akan menjadi lebih dari sekadar dekat. Ingatkah kamu waktu itu, saat kita terjebak hujan berdua? Aku asik bermain air dan kamu asik mengomentari setiap gerakanku. Tahun ketiga kita bersama dalam satu kelas, dan kita tak bisa benar-benar akur. Setiap aku berkata, kamu tidak pernah menyetujuinya. Setiap aku bertindak, kamu selalu mengomentarinya. Bukan, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa kita adalah musuh. Kita bukan musuh, kita hanya dua sahabat yang tak tahu bagaimana caranya untuk selalu dekat. Kita adalah dua orang asing, berbeda segala hal, tapi juga punya banyak kesamaan. Kita adalah dua orang yang sama-sama terasing pada dimensi di mana hanya kita yang mengerti.

Hujan waktu itu, sekitar bulan Desember atau mungkin Januari. Kita terjebak di sekolah, berdua. Hanya berdua. Aku tak tahu ke mana yang lainnya tapi aku mensyukuri hal itu. Aku asik bermain air sementara kamu berdiri di belakangku, meletakkan kedua tanganmu di dada, memasang wajah angkuh. Kamu mengataiku kekanakan karena terlalu menyukai hujan.

“Padahal di rumah kamu juga banyak air, mainnya air hujan! Dasar anak kecil!”

Aku tertawa mengingatnya, kenyataan yang cukup menyenangkan mengingat aku saja harus berjuang keras untuk menyelesaikan tulisan ini.Aku harus kembali menguras tentang kita, yang sudah lama tak ingin lagi kuingat. Aku kembali membangkitkan kenangan yang harusnya sudah lama terkubur waktu.

Kenapa? Karena ... aku sangat merindukanmu.

Ingatkah kau perdebatan-perdebatan selama kita berteman selama nyaris tiga tahun lamanya? Ingatkah kau berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk tertawa bersama? Ingatkah kau betapa ketika kauputuskan untuk menjauhiku aku begitu hancur lebur? Ingatkah kau betapa deras air mataku waktu itu? Ingatkah kau ... mengapa?

Pertemanan kita bukan pertemanan biasa. Hubungan pertemanan yang dihiasi dengan beragam pertengkaran itu membuat kita tak pernah tahu layak disebut apa selama ini. Kita tidak penah benar-benar akur, tapi, siapa sangka bahwa ketidak akuran itu malah membuatku mencintaimu?

Cinta itu tercipta begitu saja, wahai Gemini. Cinta yang tak bisa kuantisipasi kedatangannya. Cinta yang tiba-tiba saja, menjelma monster yang hendak menerkamku yang saat itu dilanda oleh ketidak tahuan. Cinta itu beralamatkan hatimu, walau tak pernah benar-benar sampai padamu.

Lalu, kenyataan lain yang harus kuterima, bahwa kamu lebih memilih dia. Dia yang kaupikir lebih sempurna, tapi nyatanya tak pernah membuatmu bahagia. Dia yang kaupikir lebih segalanya, tapi nyatanya tak pernah ada. Dia, yang sampai saat ini masih kaupertahankan, yang cintanya selalu kauusahan. Dia, yang sangat kaucintai, sampai membuatmu mengabaikanku dan mengacuhkan keberadaanku; di sini.

Dan, kita menjelma dua sosok asing. Keadaan yang terlalu sulit, dan jalan cerita yang terlampau rumit. Kita dipaksa memainkan sebuah drama, yang bahkan tidak kita ketahui apa judulnya dan bagaimana alurnya. Linglung dan bingung, lalu pada akhirnya kita saling berlari menjauh sampai terhuyung-huyung. Saling menjauh, tanpa tahu apa yang sedang dihindari. Saling pergi, tanpa tahu apa yang kita tinggalkan. Saling amnesia, tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang kita coba untuk lupakan.

Drama itu belum usai. Bahkan meski pengumuman kelulusan tinggal beberapa hari lagi, kita belum sempat menyelesaikan ceritanya. Kamu tidak tahu aku mencintaimu dan aku tidak tahu apa yang membuat kita saling menjauh waktu itu. Kita terlalu terbuai oleh permainan waktu yang Tuhan ciptakan. Takdir mengajak kita serius, tapi kita malah menanggapinya dengan bercanda.

Tuan Gemini, jika sempat, aku ingin kau baca ini dan jawab semua tanda tanya yang tertulis di atas. Mungkin, kita bisa mengusaikan kisah itu, walau jujur dalam hatiku; aku tak pernah mau.


Mengusaikan kisah yang indahnya semu ini ... bersamamu.

[n]

Komentar

What's most