Dear 'A'

Hell-o, ‘A’ My Ex!

            Aku menulis ini bukan karena terlalu rindu atau otakku terlalu kelu sehingga tidak mampu melupakanmu. Sungguh, aku sedang dalam kondisi yang amat baik-baik saja saat menulis ini. Aku tak lagi merasakan jantungku berdenyut tak keruan seperti dulu. Juga tak lagi merasakan jantungku seperti diremas dan dicabut dari rongganya saat hubungan kita berakhir dulu. Trust me, kondisiku sangat baik-baik saja. Jadi, setelah kau tahu keadaanku, boleh, ‘kan, aku tanya bagaimana kabarmu sekarang?

            Hasrat menulis ini tiba-tiba hadir saat ayahandaku tiba-tiba bertanya tentang kabarmu. Hell, yeah, dengan sangat terpaksa aku harus mengaku bahwa saat ini aku sedang sendiri. Mungkin, karena sebab itu kali Bapak jadi tanya-tanya tentang kamu—lagi.

            Seperti yang kamu tahu, ‘kan, Bapak maha jatuh cinta sama kamu. Pertama kali aku mengenalkan kamu dengan Bapak, beliau terlihat langsung jatuh cinta padamu lantas tanpa ragu menyetujui hubungan kita. Kamu nyantet Bapak, ya? Aku sampai heran mengapa beliau begitu percaya padamu. Ketahuilah, setelah hubungan kita berakhir waktu itu, ada banyak pria yang silih berganti dalam hidupku. Beberapa bahkan kukenalkan pada Bapak. Tapi, Bapak seolah tidak sreg pada pria-pria itu meski tidak terang-terangan melarang hubungan kami. Kamu boleh senang, belum ada pria yang bisa Bapak senangi dengan pilihanku selain kamu.

            Dulu, ketika aku memutuskan hubungan kita—alasannya apa, ya?—Bapak yang menyemangatiku agar kembali menjalani hidup seperti biasa. Bapak yang bilang bahwa kesedihan tidak seharusnya dipelihara. Bahkan beliau dulu dengan tegas berkata bahwa aku bisa mencari pria yang lain yang sejuta kali lebih baik daripada kamu.

            Tapi, nyatanya, malah beliau sendiri yang tidak bisa melupakanmu.

            Dear, A, aku tidak tahu alasanku menulis ini. Aku tidak merindukanmu, juga tidak sedang ada keinginan untuk kembali. Aku hanya ingin saja mengenang tentang kita. Sudah berapa lama, ya, kita tak saling berhubungan satu sama lain? Dua tahun, tiga tahun, atau lebih dari itu? Yang jelas, sudah cukup lama. Kita sesekali bertemu, sesekali menyapa, dan sesekali juga kita saling melempar muka. Jujur, ada terbesit keinginan di hatiku untuk mengajak kamu mengobrol lagi. Aku lupa rasanya dibuat tertawa olehmu, dibuat menangis karena kehilangan kabarmu, dan lupa dibuat marah karena kamu dekat-dekat dengan gadis lain. Hik, lucu rasanya mengingat semua itu. Sudah berapa lama, ya?

            Tentu saja, sudah banyak waktu berlalu sejak saat itu, dan tentunya sudah banyak pengalaman yag kita lalui tanpa bergantung satu sama lain. Semua berlalu baik-baik saja, ‘kan? Kamu tidak mengalami masalah besar yang tak aku ketahui, ‘kan? Jika ada, jangan sungkan menghubungiku. Nomorku masih yang dulu, dan pin BBM-ku juga tak berubah. Jangan ragu untuk bercerita apapun padaku, telingaku selalu siap sedia mendengarkan semua keluh kesahmu—seperti dulu.

            Hei, hei, kenapa di paragraf barusan aku terlihat seperti gadis-jomblo-yang-sedang-mengemis-dihubungi-mantannya-lagi, ya?

            Hmmm, sudah dulu, ya? Aku kehabisan kalimat untuk melanjutkan surat ini. Aku tidak mungkin menuliskan semua kenangan selama kita masih bersama. Selain terlalu banyak, aku juga sudah lupa. He-he. Salam, ya, untuk Tante dan Oom, bilang aku kangen sama mereka. Iya sama mereka, bukan kamu. Bapak juga kirim salam, tuh, beliau kangen ngobrol sama kamu juga katanya. Intinya, dua keluarga kita saling merindukan.

            Lain kali, aku janji bakal sambung surat ini. Kalau aku lagi kena writers block atau kalau lagi tak punya ide untuk menulis. He-he. Aku, ‘kan mantan yang borok.

            Sekian, My Ex. Percaya, deh, aku tidak merindukanmu!

Salam,
Your 'beri julukan sendiri' Ex.

Komentar

What's most