[Hari ke-10] Diriku yang Tak Bisa Menerima Kenyataan

            Aku hidup dalam satu lingkup dunia yang minim rasa sportif, minim rasa ikhlas, dan minim penghargaan. Dan saat ini; aku tengah menjadi salah satu yang merasakannya.

            Ini nilaiku, dan ketika melihat itu rasanya seperti ditusuk pisau tepat di jantungmu, tapi kau tak kunjung mati. Juga seperti tenggelam tapi tak kunjung kehilangan kesadaran. Perih dan ngilu. Sedikit ada lubang menganga di dada kiriku, seperti ada bagiannya yang terambil paksa. Dan seiring detik yang bergerak, luka yang ada itu semakin parah, semakin bernanah.

            Aku tidak kecewa dengan hasilku, aku hanya takut jika dibalik senyum Ayah dan Ibuku, ada kekecewaan yang diam-diam mereka sembunyikan. Aku ikhlas menerimanya karena selama ini aku telah berjuang, bahkan jika sedikit kuhiperbolakan, aku telah mengusahakan sampai di luar kapasitasku. Menjelang ujian, aku lumayan berantakan. Aku kehilangan banyak hal, tapi juga mendapatkan banyak hal. Aku kehilangan waktu mainku, tapi mendapatkan banyak lagi ilmu. Yah ... seperti karma yang baik. Apa yang kuperbuat, aku juga yang mendapat hasilnya. Aku belajar luar biasa giat, tapi terus terang aku yakin seharusnya aku bisa lebih dari itu. Aku melakukan banyak hal untuk menggenjot semangat belajarku, meminta doa dari banyak orang, mengabaikan banyak hal. Aku menjadi lebih sensitif dan terbilang stres. Idealisme-ku menyala-nyala, membakar tubuhku.

            Dan jujur, hari ini aku merasa dikhianati.

            Dikhianati oleh sesuatu yang pernah membuatku amat sangat percaya diri. Sesuatu yang membuatku menggantungkan harapanku sepenuhnya. Sesuatu yang kupikir akan memberiku satu kesempatan untuk menjadi lebih baik dan membanggakan orang tuaku.

            Sekali lagi, rasanya seperti seluruh organ tubuhmu mati, rapi kalbu-mu masih hidup. Kau dapat merasakan bagaimana jantungmu pelan-pelan berhenti berdetak, juga merasakan paru-parumu tak lagi berfungsi. Seluruh peredaran darahmu berhenti mengalir, dan otakmu behenti bekerja. Rasanya seperti tubuhmu mati; tapi tidak dengan perasaanmu.

            Aku menangis, tapi tidak membuat dadaku lega. Masih ada sisa sedih di sana, yang air-nya menetes di dalam hati, membasahi lukanya, membuatnya semakin parah. Semakin berdarah.

            Tolong, untuk siapapun yang membaca ini, biarkan aku menulis tentang segala sesuatu yang jujur aku rasakan. Aku sedang melepas semua topengku dan berhenti menjadi munafik, untuk beberapa menit ke depan.

            Boleh aku menyalahkan sesuatu? Aku ingin menyalahkan sesuatu yang membuat nilaiku buruk, aku ingin menyalahkan sesuatu yang membuat segalanya hancur berantakan, aku ingin menyalahkan semua hal yang membuat usahaku jadi sia-sia. Aku ingin menyalahkan sesuatu apapun itu. Apapun itu!

            Aku tahu ini hasilku tapi jauh di lubuk hatiku, sulit bagiku untuk menerimanya. Sulit bagiku untuk berlapang dada dan menganggap semua akan tetap baik-baik saja. Sulit bagiku untuk mengihklaskannya. Jangan minta aku untuk menghibur dan memeluk kalian seperti biasa, karena kali ini; topengku kulepas. Kalian bisa lihat sendiri betapa luka itu pelan-pelan menghancurkan tubuhku.

            Kesimpulan dan amanat dari tulisan ini? Tidak ada. Aku sedang ingin memanfaatkan kekuatanku selagi bisa, sebelum komputerku konslet terendam air mata. Aku hanya ingin menuliskan ini untuk sedikit banyak membuat hatiku lega. Aku ingin mencoba meyakinkan diriku sendiri. Aku sedang menampik menjadi munafik, aku ingin memperlihatkan pada kalian, sisi buruk pada diriku ini; tak bisa menerima kenyataan.

            Ya, mungkin, aku terlalu bergantung pada ekspetasi yang terlalu tinggi. Aku terlalu berharap tanpa benar-benar mengusahakannya. Aku ... menyesal.

            Menyesali diri dan kebodohanku sendiri.

Komentar

What's most