Sekilas

            Satu hal yang tercetus dipikiran Haikal malam itu adalah, bahwa dia harus menemui Leya. Perasaan bersalah karena tidak sengaja menampar gadis itu membuatnya hampir gila memikirkannya.

            Haikal meraih kunci mobilnya. Beberapa menit kemudian, Honda Fit itu sudah melaju pelan menembus keramaian Jakarta menuju rumah Leya.

---

            “Harusnya gue nggak ke sini, ya,” Rayan membuka suara begitu Leya sudah duduk di sebelahnya setelah meletakkan nampan berisi dua cangkir teh. Leya menoleh, lalu menghela napas.

            “Harusnya lo nggak ke sini dan gue nggak keluar buat menemui lo.”

            “Harusnya gue nggak perlu duduk lama-lama di sini dan berani-beraninya ngajak lo ngobrol.”

            “Harusnya kita nggak perlu—“

            “Gue bisa mati kalau kita terus-terusan berbicara tentang ‘seharusnya’, seolah semua yang kita lakukan adalah sesuatu yang melanggar adat manusia beradab. Seolah-olah semua hal yang kita lakukan adalah sebuah dosa yang nggak layak diampuni.” Rayan berkata frustasi. Leya menghela napas lagi, kali ini dia mengerti.

            “Emang salah, ‘kan?” kata Leya dingin.

            “Ley, please, apa lo nggak capek?”

            “Gue sangat capek sampai mau gila rasanya. Gue sangat capek membohongi Haikal, gue sangat capek membohongi Diandra—“

            “Lo nggak capek membohongi perasaan lo sendiri? Manusia jenis apa lo?”

            Leya terdiam dan Rayan juga tidak berusaha membuka suaranya lagi. Mereka berdua menyelami pikiran masing-masing.

            Leya juga sangat lelah. Saat dia harus menekan perasaannya sendiri agar tidak menyakiti banyak orang. Saat dia harus berpura-pura bahwa dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap pria di sampingnya ini. Semua arah seolah salah dan Leya tak lagi memiliki pilihan.

            “Berdiri, Ley.”

            “Hm?”

            Rayan menarik tangan Leya keras lalu membawa gadis itu dalam pelukannya. Leya yang tak memiliki persiapan apapun hanya pasrah menerima perlakukan itu. Dia tidak berani menolak saat Rayan memeluknya begitu saja. Bukan tidak berani, sepertinya, karena gadis itu juga menginginkan pelukan ini. Leya lelah berlari dari kenyataan yang kini terasa menghantuinya.

            “Gue cinta sama lo, Ley. Boleh?” kata Rayan di sela pelukannya. Leya tidak begitu kaget, tapi debar jantungnya tetap memburu.

            “Enggak.” Balas Leya.

            Rayan mendengus sambil tersenyum sedih, “Jangankan lo, Ley, gue yang punya perasaan aja sebenernya nggak ngebolehin.”

            Kali ini, Leya membalas pelukan Rayan, membenamkan kepalanya pada dada pria itu.

            “Jangan cinta sama gue, Ray. Gue harus apa kalau pada akhirnya gue menyadari gue juga merasakan hal yang sama?”

            Dan mereka berdua membiarkan perasaan yang sebenarnya salah untuk dirasakan itu bersatu. Debar yang mencari debar yang lainnya, rasa yang meluruh bersamaan dengan pelukan. Kali ini, Leya dan Rayan dikalahkan oleh keegoisan. Keegoisan yang membawa hati mereka untuk jujur, bahwa ada rasa yang muncul, ada cinta yang tumbuh.

            Ada perasaan yang tidak bisa disangkal.

---

            Haikal berhenti agak jauh dari rumah Leya saat dia mendapati motor Rayan terparkir di depannya. Feelingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan diluar kendalinya sedang terjadi. Jadi, Haikal segera turun dari mobil dan berjalan menuju rumah Leya.       

            Tapi, tepat saat ia sampai di gerbang yang setengah terbuka itu, langkahnya terhenti.

            Haikal melihatnya. Dengan mata kepalanya sendiri.

            Feelingnya terjawab. Semuanya. Leya. Rayan. Semuanya. Dia melihat semua itu tersaji di depan matanya. Tanpa sensor, tanpa halangan apapun. Dari sini dia bisa melihat segalanya. Perselingkuhan itu, pengkhianatan yang terang-terangan mereka lakukan.

            Tangan Haikal terkepal, giginya gemelatuk. Sempoyongan, dia menuju mobilnya. Menyetir dengan membabi buta menjauhi rumah Leya sembari berusaha mengumpulkan pecahan hatinya yang hancur berkeping-keping.

---

            Haikal menghentikan mobilnya di pintu gerbang taman. Dia mengatur napasnya yang berantakan, seberantakan hatinya saat ini. Haikal merasa kacau.

            Dia memukuli setir mobilnya kencang, bertubi-tubi, berkali-kali. Dia berteriak mencoba menahan agar air matanya tidak keluar. Pria itu pantang sekali menangis. Tapi, entah mengapa, yang kali ini sakit sekali sampai ia seolah tak mampu menahannya.

            Haikal berhenti memukuli setir mobil dan memilih menjatuhkan kepalanya di sini. Dia masih mencengkeram erat setir sampai baku-baku jarinya memutih. Tapi, dia tidak peduli. Dia tidak dapat merasakan apapun kecuali kehancuran yang kini terjadi di hati dan di depan matanya.

            Air matanya menetes.

            Haikal merasakan perih itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Rasa sakit yang memperbanyak diri mereka tanpa seizinnya. Hatinya benar-benar hancur berkeping-keping, tak ada yang tersisa.

            Haikal tak habis pikir.

            Mengapa Leya dan Rayan? Mengapa mereka bisa seperti itu? Apa yang telah terjadi di belakangnya selama ini? Sejak kapan mereka—

            Haikal merasa kepalanya hampir pecah saat pertanyaan-pertanyaan itu mengerubungi kepalanya. Sakit. Sakit sekali.

            “Gue yang bego atau mereka yang terlalu pinter, sih ....”

            Haikal bergumam di sela isaknya.


            Ia sekarat dihantam rasa sakit. Perselingkuhan dan pengkhianatan.

Komentar

What's most