Friendzone

detik berbaris dan ramai bersahut-sahutan. berisik di kepalaku masih saja tentang kau dan tentang kau yang diulang-ulang. seperti film lawas yang tak pernah kusukai tapi iseng saja saat kutonton sendiri. barisan waktu membawamu sedemikian jauh dan sedemikian tak terdeteksi. aku tak lagi melihat lambaian tanganmu saat detik itu berlari semakin kencang seperti disengaja, dan kau masih tak mengerti juga.

otakku penuh oleh bayangan-bayangan bersama variabelnya sendiri. mengingatmu tak seperti matematika karena satu tambah satu menjadi sepuluh juta. aku memutar musik rock dan memainkannya sendiran, bertanya-tanya seiring teriakanku pada lirik kehilangan, benarkah pernah ada kita di situ? 

bising yang seperti ini selalu asing dan aku tak pernah terbiasa. air mata tak patuh pada perintah otakku. mengalir begitu saja, tunduk sekali pada gravitasi. pernahkah kau berpikir betapa aku sangat-sangat mencintaimu, sampai berpikir untuk mencintaimu saja jadi tak terlintas di otakku? pernahkah kau memikirkan kemungkinan-kemungkinan kepergian yang begitu aku tahan, agar tetap bisa di sampingmu untuk menjadi temanmu? tidak kah terlintas tanda tanya pada titik yang kau sengaja, bahwa aku selalu menyisipkan koma agar tak ada jeda pada cerita kita? 

detik tak berbalik. dalam selang waktu itu, ingatan tentang kita mulai berkarat. aku terperangkap pada zona yang kuciptakan sendiri, hidup dalam kebodohan yang selalu kaupelihara. menjadi pecinta yang bahkan tak mengerti apa itu cinta. karena memikirkan untuk mencintaimu adalah gengsi tertinggi dalam hidupnya, meski ia selalu mati karena menyembunyikannya.

padahal, ada begitu banyak penjelasan yang kuselipkan pada setiap ketidaktahuanmu tentang perasaanku. isyarat rasa sakit yang kuceritakan lewat tawa adalah bukti paling nyata. lagu-lagu itu selalu ditujukan untukmu meski kau tetap tuli dan aku menikmati peranku menjadi bisu. tak ada celah untukku pergi, tak ada waktu untukku kembali, dan kau tetap saja tak mau ambil peduli.

aku memikirkan penolakan yang mungkin saja kuterima, tapi tetap saja yang ingin kulakukan adalah terus bertahan menjadi sosok yang berpikir bahwa ia tidak mencintaimu karena ia mencintaimu. aku memikirkan kemungkinan untuk bahagia, tapi tetap saja yang kupilih adalah menjadi temanmu. kebodohan konstan yang selalu kubanggakan bahwa aku selalu senaif itu agar tidak kehilangan kamu.

cintakah ini, atau egoisme yang sengaja kupelihara untuk menjagamu tetap ada?

Komentar

What's most