Keping
“So,
aku sudah di sini dan siap mendengarkan penjelasanmu.
Aku memelajari begitu banyak hal
selama menjadi kekasihnya selama beberapa waktu ini. Satu betapa dia adalah
pengingat yang baik, dua adalah betapa dia tidak akan melupakan, dan tiga
betapa dia adalah pria yang sangat tidak mudah menyerah.
Aku bukan pelari yang hebat, jauh
bila dibandingkan dia yang langganan juara sprint. Tapi, pada situasi kali ini,
aku merasa berlari terlalu kencang dan meninggalkan dia di belakang. Atau justru,
aku yang tak pernah berjalan maju?
Jadi, ketika kini dia duduk di
depanku, tersenyum sambil berkata bahwa dia sudah siap mendengarkan
penjelasanku, sesungguhnya aku ingin menangis.
“Harus, ya, kau pakai diam dulu dan
bikin aku penasaran?”
Aku ingin berteriak di depannya,
bahwa seharusnya akulah yang mempersiapkan diri pada apa saja yang akan terjadi
setelah ini. Bahwa seharusnya aku lah yang melihatnya diam dan dibuatnya
penasaran. Seharusnya, akulah yang dalam posisi bertanya-tanya mengapa aku
harus menunggu seseorang yang sesungguhnya sama sekali tak punya penjelasan.
Aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan begitu melihatnya di depanku. Semua kata-kata tadi lenyap dan menguap
menjadi gas beracun yang memenuhi seluruh ruangan lalu membuatku sesak napas. Aku
tak berhasil mengendalikan diriku, dan hatiku. Aku tak berhasil melakukan
apapun. Aku hanya mematung di depannya, menatapnya seperti orang dungu yang diinterview.
Bahwa seolah-olah, dengan menatapnya
saja sudah membuat diriku meleleh dan setelah itu menghilang tanpa menyisakan
apa-apa. Tapi, kemudian, aku menyadari bahwa lilinpun meninggalkan jejak sebelum
leleh membuatnya lenyap.
Seperti aku mungkin saja akan meninggalkan jejak tidak
menyenangkan dalam hidupnya, yang barangkali tak pantas untuk sekadar disebut
kenangan.
“Hei, C, kelihatannya kita harus
putus,” kataku.
Kini, gilirannya mematung. Mungkin dia
terlalu terkejut untuk menanyakan alasan kalimat itu terjun bebas dari pita
suaraku. Atau sesungguhnya, dia sudah menduga bahwa dia akan mendengar kalimat
itu. Atau mungkin, dia tahu bahwa hal ini akan segera terjadi. Aku ikut terdiam
dan menebak-nebak. Apa yang dia rasakan? Apa yang ingin dia tahu?
Tapi, kami terlalu sakit hati untuk
mendengar jawaban dari masing-masing pertanyaan. Seandainya hubungan kami
adalah sebuah kalimat panjang, kami sudah berada di titik. Kalimat tadi bukan
lagi tanda tanya, bukan lagi koma untuk memberi jeda. Kalimat tadi merupakan
akhir yang akan membawa kami menuju huruf kapital lagi, tanpa kehadiran satu
sama lain.
“Benar, kita harus putus,” katanya. Dan
aku tak mendengar keyakinan pada kata ‘harus’ yang dikatannya. Lidahnya seperti
dipaksa berbicara saat satu-satunya hal yang ingin dia lakukan hanya bungkam
tanpa kata.
Rasanya, aku seperti tengah memegang
nyawa seseorang. Kupikir, aku hanya akan merasa bersalah dan berdosa. Nyatanya,
jauh lebih buruk dari itu. Aku merasa ikut mati. Aku merasa ikut sakit hati.
Kehampaan yang kurasakan, jauh lebih menyeramkan dari yang kubayangkan. Bahwasanya
menyakiti orang lain adalah cara paling mudah untuk menyakiti diri sendiri.
“Kita bisa jadi teman,” aku berkata.
Dia menunduk lama, sebelum akhirnya menatapku dan mencoba tersenyum.
“Jangan memaksakan diri. Napasku
pakai paru-paru, ususku masih akan bekerja, dan lidahku masih bisa merasa. Aku akan
bisa hidup tanpa kamu.”
Kelu. Meski terdengar menyakitkan,
kata-katanya barusan adalah kenyataan yang tak mungkin aku sangkal. Benar, aku
bukan udaranya. Aku bukan karbohidratnya. Aku bukan makanannya. Aku hanya
seseorang yang kebetulan hadir dan mengisi beberapa senti sela hidupnya, yang
bahkan setelah aku pergi pun tak akan mengubah apa-apa.
Dia benar.
“Aku harap kamu juga akan baik-baik
saja, K. Sebaik aku setelah ini. Kau pernah tidak bahagia karena dicintai oleh
orang seperti aku, ‘kan?” katanya datar dan nyaris tanpa ekspresi.
Aku menatapnya terkejut, “C, bukan
karena kau aku minta kita putus. Bukan karena kau—sama sekali bukan karena kau.
Ini karena aku, C. Ini benar-benar hanya karena aku!”
“Aku harap aku bisa mengerti, K.”
“Aku yang lelah, C.”
“Kau yakin benar-benar pernah
berjuang?”
Dia berdiri dan menatap mataku lama.
Aku menyadari bahwa manik mata itu kehilangan cahayanya. Setelah ini, dia tak
akan menjadi seseorang yang kukenal lagi. Setelah ini, dia tidak akan mengingat
apapun tentangku, dia akan melupakan tentang kami berdua, dan dia akan
menyerah.
Dia akan sama sekali asing.
“Berjanjilah kau akan lebih bahagia.”
Dan dia berlalu. Menginjak kepingan-kepingan
hatiku dan kepingan-kepingan hatinya yang berserakan mengotori koridor dan
menimbulkan bunyi-bunyian menyeramkan. Seperti nyanyian kehilangan yang
diiringi oleh rasa sakit.
Seperti hening yang begitu bising
dan memekakan telinga, seperti itu aku telah melepaskan dia.
Bukan juara sprint mba, tp marathon -_
BalasHapusWah, dikomen narasumbernya. Jangan gitu dong, nanti dikira ini bukan fiksi lagi -__
Hapus