Gue Tidak Akan Kehilangan Dia
Warning : This story contains some mature scene. So I ask your accountability to check your ID berfore reading this story.
Time doesn’t heal anything. It
just teach us how to live with the pain.
|
I
“Yang, badan
gue sakit semua. Lo di mana?”
Gue ingat betul, gue pernah sekali
telepon Rare dalam kondisi sakau. Duit gue habis dan gue tidak ada stok obat
sama sekali. Gue jalan ke gudang kosong bekas pabrik apa entah yang sudah tak
terpakai, dan menggelepar seperti sakaratul maut di sana. Walau gue sendiri
tidak tahu persis sakaratul maut itu rasanya kayak apa.
Gue tahu, Rare pasti akan ke sini. Meyakinkan
gue bahwa semua akan tetap baik-baik saja meskipun seluruh dunia hancur. Rare
akan memeluk gue dan memastikan gue tidak sendirian. Kehadiran Rare sudah cukup
membuktikan satu hal, bahwa gue masih hidup.
“Ada apa lagi, Bas?” itu suara Rare.
Suara yang paling akrab di telinga gue, satu-satunya suara yang ingin gue
dengar setiap hari.
Dulu, sebelum nyokap gue mati, suara
dia adalah yang paling akrab. Suaranya halus sekali dan lembut. Hatinya pun
begitu. Itulah mengapa dia selalu menurut sama bapak gue yang sinting itu.
Itulah kenapa dia mau-mau saja disakiti berkali-kali sama keparat itu. Bahkan,
mati karena pria itu. Yang sampai sekarang gue masih tidak habis pikir, mengapa
dia mau menyerahkan nyawanya untuk dia.
“Bas, pulang yuk. Dingin.” Gue
menyandarkan kepala gue ke kepala Rare. Memejamkan mata, membiarkan kenyamanan
itu membuat gue terlena.
Satu hal yang gue yakini, bahwa gue
tidak akan kehilangan Rare karena gue percaya Rare
tidak akan pergi ke
mana-mana.
II
Hampir dua tahun yang lalu, gue
ketemu seorang cewek yang cukup berani dan cukup tolol untuk melawan gue. Juga
cukup mahal untuk dengan mudah gue tiduri.
Pertama kali kenal Rare, gue tahu
dia bukan cewek biasa. Bukan karena dia cantik, atau putih, atau seksi, dan
kebetulan cukup cerdas. Atau karena dia tinggal di lingkungan keluarga yang
super ketat tapi dia masih nekat mau jadi pacar gue yang bajingan ini. Rare
berbeda. Dan Rare spesial.
Cuma dia yang berani menyuruh gue
berhenti merokok saat dosenpun udah tidak mau lagi ambil pusing soal bau asap
di seluruh ruangan. Waktu Rare minta gue berhenti merokok saat itu, gue cuma
diam, heran, dan melongo. Gue berpikir apakah Rare tidak tahu dia sedang
berhadapan dengan siapa? Atau Rare memang sengaja mau jual nyawanya ke gue?
Atau, dia memang lagi mau ajak gue bercanda?
Dari tiga pertanyaan itu, jawabannya
‘tidak’ semua.
Rare memang sengaja meminta gue
berhenti. Dia memang menyuruh gue mematikan rokok itu. Dia memang sengaja dan
sadar secara penuh melakukannya untuk berhenti merokok. Dan yang bikin gue
terpukau, Rare sadar betul dia sedang berhadapan dengan cowok macam apa dan
sebrengsek apa Bastian yang di hadapannya waktu itu.
“Kamu bisa nggak usah ngrokok nggak sih? Hargai dosen dan
semua orang di ruangan ini dong! Kalau nggak punya etika, jangan bangga!” itu
yang Rare ucapkan. Dan gue tidak cukup punya balasan selain cuma diam dan
tersenyum.
Mungkin sampai saat ini Rare bingung
kenapa gue tersenyum waktu itu. Tapi, jawabannya sederhana. Gue tersenyum
karena gue menghargai dia. Mengahargai dia sebagai satu-satunya cewek yang
berani menegur gue saat semua orang bahkan sudah terlalu capek atau bahkan muak
untuk ambil peduli tentang kehadiran bajingan yang satu ini. Gue tersenyum
untuk menunjukan kepada Rare, betapa dia cewek spesial. Betapa dia berbeda dan
begitu istimewa.
Karena hari itu, hari pertama kali
Rare menegur gue, adalah hari pertama gue senyum tanpa merasa kosong. Hari
pertama gue senyum tanpa dua ujung bibir gue terasa seperti dijahit. Hari
pertama gue senyum karena gue betulan bahagia walaupun menurut dia gue tidak
punya etika.
Hari pertama gue senyum, adalah hari
pertama gue menyadari bahwa ternyata gue masih punya perasaan.
Gue tahu namanya Rare hari itu juga.
Hari yang sama dengan hati gue jatuh sama nama itu.
Kalau lo semua tahu gue nggak
percaya alien, lo semua juga harus tahu kalau semula gue tidak percaya kalau
gue masih punya perasaan. Sudah cukup lama gue lupa apa gue sebenarnya pernah
memiliki yang satu itu. Kalau tidak sudah lama mati, ya sejak awal memang tidak
ada. Hidup di keluarga yang bahkan tidak layak disebut keluarga cukup untuk
membentuk pribadi gue yang menjijikan, sampah, kotor, dan lain-lain. Tapi, Rare
seperti air yang memandikan gue yang menjijikan, sampah, dan kotor ini.
Kehadiran Rare adalah harapan buat gue. Rare adalah hidup gue. Karena dia
membuat gue tahu kalau gue masih manusia yang punya perasaan. Walau gue tetap
tidak percaya alien.
Gue selalu mengira, Rare bahagia.
Setidaknya keluarga dia harmonis. Kaya, hangat, agamis, dan semua orang sayang
sama dia. Tapi, ketika gue akhirnya pacaran sama dia, gue justru menemukan sisi
kosong dalam diri Rare. Sisi gelap, kelam, dan jauh lebih menyedihkan daripada
sisi yang selama ini gue tunjukan pada semua orang.
Rare sama seperti gue. Hanya saja,
dia dilapisi bagian lain yang kelihatan terang. Sisi gelap itu tertutupi oleh
sesuatu yang entah apa, yang cuma bisa Rare yang ciptakan. Sesuatu yang membuat
gue kagum, bahwa Rare bisa menutupi kesedihannya dengan sempurna.
Rare anak angkat.
Ketika Rare cerita itu sama gue,
gue—yang dalam kondisi setengah sadar karena masih dalam pengaruh putau—mungkin
jauh lebih kaget daripada ketika pertama kali Rare sendiri dengar kalau dia
anak angkat. Gue langsung berhenti minum dan buang kaleng bintang ke tempat
sampah, lalu mulai menggenggam tangan Rare sambil mendengarkannya bercerita.
“Aku tahu waktu Ayah marah sama aku,
soal kita—tentu aja. Dia kata-katain aku nggak punya otak lah, nggak bisa mikir
lah, apa lah. Kemudian, dia menyesal udah mengadopsi aku,” cerita Rare datar
dan nyaris tanpa ekspresi. Membuat gue bertanya-tanya, sebenarnya; siapa di
sini yang sejak awal tidak punya perasaan?
Saat dia cerita begitu, gue tidak
tahu harus bersikap gimana. Kami berdua di rumah peninggalan
bapak-gue-yang-bajingan itu, di kamar gue. Gue membiarkan Rare berkeluh-kesah
tentang apa saja yang selama ini dia pendam dan dia rasakan. Dan gue sadar
bahwa beban yang dia punya jauh lebih
berat.
Gue lebih beruntung. Gue punya
narkoba buat lupa, tapi Rare tidak punya apa-apa.
Sejak saat itu, gue sudah tidak mau
apa-apa lagi selain berjanji pada diri gue sendiri, untuk membahagiakan Rare. Yang
akhirnya gue menghabiskan seharian untuk bercinta sama dia sampai bego, sampai
sore, sampai malam, dan sampai kita lupa waktu. Walau sejujurnya gue tidak
pernah betul-betul menghitung waktu saat gue bersama dia. Buat apa? Toh, gue
bakal bareng sama dia selamanya.
Ketika lagi sakau sendirian di
gudang, gue selalu telepon Rare. Berharap dia bakal datang untuk setidaknya
menyadarkan gue. Karena kehadiran Rare-lah yang bisa membuat gue yakin bahwa
selama ini gue mencintai sosok yang nyata. Bukan utopia. Bahwa Rare bukan cuma
delusi yang gue ciptakan sendiri untuk menyenangkan diri. Ketakutan terbesar
gue, Rare hanya sosok yang muncul ketika gue mabuk, atau gue sakau, atau gue
dalam kondisi di bawah pengaruh ekstasi. Gue selalu takut bahwa nyatanya Rare
tidak pernah ada, atau kelak gue akan menghancurkan dia.
Itulah kenapa, gue tidak tahu harus
bersikap bagaimana ketika gue tahu bahwa selama ini, dia juga simpan putau di
mobilnya. Atau ketika dia ke rumah gue, Rare menaruh bungkusan yang gue tahu
apa isinya, di meja gue. Gue tahu Rare tidak ingin gue kesakitan saat sakau,
tapi lebih dari itu gue juga ingin berhenti. Dan dilema berkepanjangan ini
seringkali membuat gue kehilangan logika, yang membuat gue justru semakin
ketergantungan sama benda sampah itu.
Gue tidak mengerti kenapa Rare
begitu takut gue kesakitan. Andai Rare tahu, gue sudah lupa apa itu rasa sakit
sejak gue menemukan dia. Andai Rare tahu kalau gue kembali hidup sejak ada dia.
Andai Rare tahu. Andai Rare bisa tahu apa
yang gue rasakan.
Ketika gue teler, gue tahu bahwa gue
selalu mengatakan hal-hal yang aneh-aneh. Sampai sekarang, gue tidak pernah
tahu gue bicara apa di depan Rare kalau lagi teler. Rare pun tidak mau bilang
apa yang gue katakan. Tapi, gue selalu berharap gue mengatakan sesuatu yang ada
hubungannya dengan perasaan gue—secara jujur dan gamblang. Karena gue ingin
Rare tahu, bahwa dia adalah semangat gue untuk berhenti. Agar Rare tahu bahwa
dia adalah satu-satunya kekuatan yang gue punya.
Agar Rare tahu bahwa gue sangat
mencintainya. Sangat-sangat mencintainya.
III
Gue menghitung, sudah dua minggu ini
gue tidak memakai apa-apa. Itulah kenapa hari ini, tubuh gue rasanya seperti
...
Melayang.
Sumpah. Gue tidak bisa merasakan
apa-apa selain tubuh gue yang lemas. Dua detik setelah gue merasa bahwa jantung
gue seperti berdetak tidak pada tempatnya, gue bangun dari kasur. Dingin
sekali. Cuma perasaan gue doang, apa malam ini Jakarta turun salju?
Gue menyusuri jalan menuju gedung
tua terfavorit gue. Masuk ke salah satu ruangannya dan berbaring di lantainya
yang lembab, kotor, dan dingin. Gue menggigil. Gue memeluk lengan gue sendiri,
menggigit bibir gue. menyemangati diri gue sendiri bahwa gue pasti kuat. Gue
pasti bisa berhenti.
Gue mengambil ponsel dari saku jeans. Mengetik nomor Rare dan meneleponnya.
“Yang, gue ngefly. Bantuin gue.” kata gue.
“Tunggu, Bas. Aku ke sana. Jangan ke
mana-mana, please? Sabar sebentar.
Aku akan datang secepat mungkin.”
Gue kembali memeluk lengan gue
sendiri. Kemudian, seluruh tubuh gue terasa panas. Gue teriak, kencang sekali.
Tapi gue tahu tak ada seorang pun yang akan mendengar gue. Gue melihat
sekeliling. Gue rasa gedung ini mau ambruk. Barusan, gue merasakan gempa.
Badan gue ngilu dan gue seperti
dipukuli tujuh puluh ribu botol bintang tepat di puncak kepala.
“Rare, Rare ... lo di mana?” gue
menyadari bahwa Rare jadi lebih lama daripada biasanya. Gue semakin kedinginan
dan badan gue sakit luar biasa. Saat ini, kalau ada pilihan mati, gue akan
memilih yang satu itu. Walaupun itu merupakan harapan terakhir.
Terakhir kali gue pernah dan gue
tidak mau lagi hidup dengan rasa sakit. Dan malam ini, entah kenapa rasanya
luar biasa. Tidak seperti sakit yang biasanya. Rasanya gue ingin cepat-cepat
ketemu Rare, memeluk dia, baik-baik saja seperti sedia kala.
“Re ...” gue merintih semakin lirih
saat gue sadar Rare tidak datang-datang. Gue benar-benar ingin mati sekarang. Gue
bangkit dan duduk memeluk lutut. Mungkin memeluk diri sendiri bisa bikin gue
tidak menggigil lagi. Gue menggigit lengan kiri gue, merasakan apa saja yang
tersisa di sana.
Di antara seluruh tubuh gue yang
sakit, yang paling besar dan mengganggu adalah perasaan kenapa Rare tak kunjung
datang.
“Bas ...?” gue menyadari bahwa itu
adalah suara Rare. Saat itu, gue rasanya ingin menangis. Gue ingin mengulurkan
tangan untuk menyentuh dia, meyakinkan diri bahwa dia nyata.
Tapi, tidak bisa.
“Bas, sakit? Sakitkah?”
Gue jadi ingat pertama kali gue
ketemu sama Rare, saat-saat awal gue mulai merasa hidup dan bahagia setelah
lama berkubang dalam rasa sakit. Gue tersenyum dan mencoba mengingat-ingat
berapa kali gue sudah berterima kasih sama cewek ini karena sudah pernah hadir.
Mungkin untuk membalasnya, gue harus menukar seluruh hidup gue.
“Bas, stop it. Jangan lakukan hal-hal yang membuat kamu tersiksa lagi. Stop it. Berhenti, Bas.”
Gue merasakan tangan Rare menyentuh
tangan gue, tapi rasa dingin itu justru semakin menusuk-nusuk. Gue beberapa
kali sakau, tapi ini adalah yang paling menyakitkan.
Rare menyerahkan bungkusan yang gue
tahu apa isinya. “Shit. This is what I need.”
Gue
meraih satu suntikan dan membiarkan zat itu masuk mengisi darah gue. Gue
menyandarkan kepala ke tembok. Lalu, menatap Rare menyuruh dia duduk dan
memeluk dia. Gue tahu dia menangis, tapi gue tidak bisa apa-apa.
Gue merasa malam semakin dingin saat
gue terus menyuntikan putau ke lengan gue. Di samping gue, ada Rare, yang
menggigil seperti biasanya. Saat seperti ini adalah saat yang paling gue
takutkan. Gue takut, ketika gue bangun, gue akan menemukan Rare hanya sebagai
bayangan kosong. Gue begitu takut ketika gue sadar Rare sudah tidak ada. Gue
takut gue merasa sakit lagi, gue takut sendirian lagi. Gue benar-benar takut.
“Maafin gue, ya, Rare.”
Rare tidak menjawab. Dia masih terus
sesenggukan di rangkulan gue. Hati gue rasanya teriris, pedih sekali. Gue ingin
menangis seperti Rare saat ini, tapi tidak ada air mata yang keluar. Hanya hati
gue yang menangis jutaan kali lebih keras.
“Kamu nggak salah apa-apa, Bas.”
Gue tersenyum, membawa Rare ke dalam
pelukan gue lebih dalam. Saat tiba-tiba ponsel gue bunyi dan memunculkan nama
Pinkan. Ada apa nih, teman Rare telepon gue?
“Yang, temen lo telepon gue, nih.” Kata
gue pada Rare.
“Angkat aja.”
Gue menurut dan dengan susah payah
mengangkan telepon dari Pinkan. Tapi, baru saja gue bilang, “Halo, Pin ... Rare
lagi sam—“
“Bastian! Rare kecelakaan!”
Dia pasti bohong.
.
BalasHapusAKU PERGI DULU SAYANG MUNGKIN AKU TAKKAN KEMBALI
.