Dia dan Aku Lebur Sejak Dia dan Aku Tak Menggunakan Satu Kata Ganti
Aku menangis. Seperti
orang bodoh di belakangnya; memboncengnya tanpa memeluknya. Dia juga terdiam
seperti orang mati, tapi satu tangannya berusaha meraih tanganku yang sengaja
kusembunyikan. Tangannya akan begitu beku menyentuh kulitku dan aku menghindari
resiko kedinginan berkepanjangan yang akan membuatku semakin tak mampu
kehilangan dia.
Kami,
tunggu, bolehkan kuubah menjadi dia dan aku? Aku dan dia melewati rute yang biasa
dia dan aku lewati. Rumah tua, kedai jus, sekolah dasar, bengkel motor, bimbel,
counter-counter, dan tempat-tempat lain yang mulai malam ini aku bersumpah
tak akan membencinya. Roda motornya menggilas aspal jalanan yang masih sedikit
basah bekas hujan tadi pagi. Tak ada wewangian bekas hujan, yang ada hanya dia
dan aku yang kesakitan.
Hari itu, aku sibuk menanyakan
padanya apa salahku. Dia tidak mengatakan apapun dan aku ditinggalkannya dalam
kondisi menangis sampai ingusku habis. Dia tak kembali sampai begitu lama,
hingga tiba-tiba dia datang membawa tas dan dompetku, menarik tanganku, dan
membawaku pulang. Aku diam saja menurutinya, sebab jauh dalam hatiku, aku masih
menginginkan dia dan aku yang baik-baik saja. Aku masih menginginkan hidupku dengan
kehadirannya. Yang jelas setelah hari ini, rasanya tak mungkin lagi.
Dia mengodeku untuk naik ke
belakangnya. Aku duduk di ujung jok, sebisa mungkin menghindari kontak fisik
dengannya. Karena, akan sulit mengendalikan diriku sendiri jika aku harus
memeluk lagi pinggang itu. Pinggang yang begitu nyaman untuk kurengkuh dan bahu
tempatku meletakkan segala kecemasan. Haruskah aku merelakan pelukan yang
kusebut rumah itu pergi?
Dia dan aku sudah sampai di rumahku.
Aku turun, niat awal ingin begitu saja meninggalkannya tanpa mengucapkan
apapun, dia justru meraih tanganku lagi. Aku menatapnya nanar, masih menolak
bicara.
“Your
bag, Pigy,” aku bergeming saat dia memakaikan tas selempangku ke leherku. Dia
tak berusaha tersenyum, itulah mengapa aku merasakan air mataku sudah mau menetes
lagi,
“I’m
not your Pigy anymore,” aku berkata sembari menahan sengguk.
“Aku percaya kamu kuat, P, kamu
pasti bisa mengatasi ini.” Dia berkata lagi. Aku memalingkan wajah, mengusap
air mata dengan pundakku. Dia meraih telunjukku, meremasnya, dan tidak
melepaskannya.
“Ya, tentu saja.” Kataku hipokrit.
“Kamu akan baik-baik saja.” Ujarnya
lirih.
“Ya, pasti.”
“Kamu akan mampu hidup tanpa aku—“
“Jangan sok tahu, D.”
Dia meremas telunjukku semakin
kencang. Kali ini, aku benar-benar menangis tanpa berusaha menutup-nutupi
darinya. Dadaku seperti mau pecah dan dia masih diam saja.
“P, jangan buat aku ingin memelukmu.”
“D, kamu bisa pulang.”
Dia menatapku tak percaya. Aku juga
tidak percaya aku sudah mengatakan kalimat itu. Tapi, dia menyentuk pipiku
dengan kedua tangannya. Kemudian, tangan kirinya dia gunakan untuk menyentuh
puncak kepalaku.
“Jangan nangis.”
Aku mengangguk. Aku tak ingin dia
tahu bahwa aku sudah berniat mengunci diri di kamar dan menangis sampai tolol
di balik bantal. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku tidak berniat baik-baik saja
setelah hari ini. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku tidak akan kuat setelah
dia pergi. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku tidak mampu hidup tanpanya. Aku tidak
ingin dia tahu betapa aku ingin dia memelukku.
Aku tidak ingin dia tahu, tapi aku
ingin dia tahu.
Dia menatapku lagi, lebih nanar. Lalu,
dia menaiki motornya. Dia menggeber motornya
setelah sebelumnya berucap, “Aku
ingin bilang, P, tapi aku takut kamu kecewa.”
“Oke, nggak usah bilang kalau gitu.”
Dia mengangguk, lalu memacu motornya
menjauhi rumahku, menembus jalanan, menghilang di tikungan, dan aku sudah tidak
mampu mendeteksinya lagi. Aku membuka gerbang rumahku, berjalan sempoyongan.
Aku masuk kamar dan menangis. Di
sela isak, aku bertanya-tanya; “Siapa yang lebih tidak tahu dan siapa yang
lebih tidak mengerti, pada hubungan dia dan aku yang penuh tanda tanya ini?”
Jawaban itu masih menggantung di
sudut-sudut kamarku. Mungkin juga, jawaban itu mengikuti asap knalpot motornya,
bersamanya menembus jalan raya malam hari yang mulai lenggang, ikut
bersenandung bersama luka yang dia ciptakan sendiri. Jawaban itu tak akan
pernah dia dan aku temukan, karena dia dan aku sudah selesai.
Dia dan aku sudah lebur.
Dimulai sejak aku tak lagi menyebut
dia dan aku, dengan satu kata ganti.
Komentar
Posting Komentar