Kosong

            Ada rasa sakit tak kasat mata yang kau perlihatkan. Mungkin saja, kekhawatiran yang aku rasakan tidak beralasan. Pun mengingat bahwa aku tidak memiliki hak apapun untuk melarangmu ini itu. Sebab aku bukan lagi sosok yang penting buatmu. Bahkan ketika aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan melihat kondisimu sekarang.

            Aku berhadapan dengan beragam argumen yang mengajakku pulang. Walau di rumah itu tak lagi terisi oleh tawamu.

            Sejujurnya, aku rindu. Sebab kini rasanya hidupmu lebih berwarna tanpaku, izinkan aku menjadikan perasaan ini sebagai manisnya kenangan; satu-satunya yang tersisa dari kita. Aku melihatmu tertawa. Ada bagian dariku yang merasa lega, ada juga bagian lain yang ikut patah sebab tawa itu tak merekah karenaku. Kamu mulai menemukan teman-teman baru, mencari jati dirimu, dan hal-hal yang lebih ‘cowok’ yang dulu tak bisa kaulakukan saat masih dekat denganku. Sejujurnya lagi, aku ingin turut berbahagia. Tawamu adalah satu-satunya yang ingin kuperjuangkan mengingat kehancuran kita sekarang.  

            Aku ingin tahu kabarmu. Aku ingin tahu kondisimu. Aku ingin tahu apakah kamu sudah makan. Aku ingin tahu apakah hidupmu berlangsung semenyenangkan kelihatannya. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu. Aku ingin tahu semua hal yang dengan begitu mudah kudapatkan, dulu.

            Aku memilih hidup tanpamu. Aku memilih untuk bertahan tanpa menggantungkan kebahagiaanku pada sosokmu lagi. Walau itu berarti akan ada bagian dalam hatiku yang menderita kekosongan berkepanjangan. Aku berusaha membencimu, meski ada sebagian diriku yang ikut mati bersama kebencian itu.

            Semua terkikis pelan-pelan. Hilang, lenyap, ... kosong. Kemudian, tak kutemukan apa-apa pada tempat-tempat di mana dulu kita biasa bercanda. Kenangan-kenangan itu hancur bersama rotasi waktu, saat semesta berusaha melenyapkan semua itu di depan mataku. Seperti tak ada yang tersisa, seperti semua hanyalah pertemanan konyol biasa. Seperti kita adalah dua manusia yang tak pernah meletakkan kecemasan pada satu meja. Seperti kita bukan dua manusia yang pernah terlibat peristiwa bersama.

            Pada akhirnya, kita yang dimakan lupa. Seberusaha apapun aku mencoba terus melihatmu, punggungmu hanya akan berakhir menjadi kabut yang terlalu tebal untuk kutembus seisinya. Aku tidak ditinggalkan, memang. Tapi, aku pergi meninggalkan bahagia yang aku cari. Dan rasanya ... jauh lebih menyakitkan.

            Kosong.

            Benar-benar tak ada yang tersisa.

            Kosong.

            Ko-song.

            Tuan, benarkah hanya aku yang merasakan kekosongan itu?

            Cukupkan masa lalu. Aku ingin hidup lebih bahagia. Menjadi lebih pintar, lebih baik, dan lebih dewasa. Aku ingin main lebih jauh dan tertawa lebih lama. Lebih dari itu, aku ingin melupakanmu.  

Komentar

What's most