Because He Is Her Son


            Setelah Harry pergi, Snape masih terdiam. Terpejam dan tak bergerak sama sekali. Snape bahkan ragu apa jantungnya masih berdetak dan napasnya masih ada, tapi dia yakin seribu persen dia belum mati.

            Sakit. Sakit sekali.

            Rasa sakit itu menderanya habis-habisan, seolah ingin menyiksanya tapi tak mengizinkan dia mati. Lebih buruk dari itu bahkan setelah dia memohon pada siapapun agar mengizinkannya mati, ia masih hidup dan bahkan belum ada tanda-tanda untuk mati. Tuhan membiarkan Snape hidup dengan segala rasa sakit itu.

            Sesungguhnya, perasaannya gamang. Di sisi lain, ia lega bahwa saat seperti ini ternyata sudah ada tepat sesenti di depan matanya; hanya ia belum beranjak pergi. Saat-saat yang ditunggunya selama belasan tahun. Saat pertemuan dengan Lily. Ya, Lily, setelah selama ini dan betapa perasaanya masih sama dan tidak berubah sama sekali. Atau mungkin makin besar? Snape tak tahu persis. Yang dia pahami adalah dia mencintai Lily dan dia akan mati membawa seluruh cinta itu. Lily mati karena cinta dan sepertinya Snape juga akan begitu.

            Di sisi yang satunya lagi, Snape tahu persis bahwa perjuangan Harry masih panjang dan tak kecil kemungkinan bahwa anak Lily itu akan mati. Oleh sebab apapun. Walau Snape berharap agar Harry masih bisa bertahan hidup karena setelah belasan tahun hidup dalam kungkungan bayangan ketakutan oleh Dark Lord, Harry berhak bahagia. Sangat berhak bahagia. Apalagi dia anak Lily. Satu hal yang Snape sesali bahwa ia tak sempat berkata apapun menyangkut perasaannya terhadap ibunya kepada bocah itu. Hanya menyalurkannya lewat pensieve sembari berharap bahwa itu akan cukup menjelaskan kepada Harry alasan sikapnya selama ini.

            Snape kini mengubah posisi rebahnya menjadi seratus persen berbaring. Padahal, dia sudah siap untuk mati. Apalagi yang Ia tunggu?

            Sambil menanti, Snape kembali pada masa-masa ketika ia masih melindungi Harry Potter dengan cara yang begitu menyedihkan. Pun begitu lucu sampai Snape tak tahu bagian mana yang harus ia tertawakan. Snape tidak tahu mengapa dia begitu ingin melindungi duplikat James Potter yang begitu dibencinya itu. Juga, mengapa dia sangat menyayanginya sampai sejujurnya ia rela menukar apapun untuk hidup anak lelaki itu. Tapi, Harry telah bertahan hidup begitu lama. Dan itu bukan kebetulan, melainkan takdir.  Apalagi dia anak Lily.

            Anak Lily. Semua dilakukan Snape karena Harry anak Lily. Dan itu membuatnya merasa seperti sedang melakukan kebaikan tanpa keikhlasan. Tapi, apa yang harus dia ceritakan? Toh, dia memang melakukannya karena Harry anak Lily. Harry memiliki mata Lily. Meski dia juga anak James Potter, Snape memandangnya sebagai anak Lily. Lily Evans. Ya, dengan Evans.

            Snape membuka matanya ketika dia merasakan kehadiran sesuatu dan dia mendapati rusa betina perak sedang berlari-lari mengelilinginya. Ia kenal yang satu itu. Patronus. Tapi, siapa yang sempat-sempatnya mengiriminya patronus? Atau itu adalah patronus miliknya (mengingat bentuknya memang sama persis dengan miliknya)?

            Tidak. Memang sama, tapi itu bukan miliknya. Ia tidak merapalkan expecto patronum dan dia bahkan tak tahu di mana tongkatnya sekarang.

            Tapi, ketika Snape mencoba tidak ambil pusing dengan patronus itu, ia melihat cahaya perak itu menguar dan berubah tak lagi menjadi rusa betina, melainkan bayangan manusia. Mata Snape terbelalak. Cahaya perak itu berubah menjadi bayangan sosok yang begitu ia kenali. Bayangan sosok Lily.

            “Menyedihkan,” cahaya perak itu—Lily, berbicara. Snape bergeming. Ia terlalu terkejut bahkan untuk menyadari  bahwa patronus itu bisa berbicara, dengan suara yang begitu jelas, dan suara sama seperti yang terakhir Snape dengar entah berapa belas tahun yang lalu.

            “Kau mati untuk cinta, Severus? Jangan membuatku tertawa.” Lily berbicara dengan suara bergetar—Snape mulai menyadari itu.

            “Lily?” tanpa bangkit, Snape menjulurkan tangannya dan berusaha meraih cahaya perak itu. Tapi dia menyentuh udara. Dia tak merasakan apapun selain kesejukan yang menjalar ke seluruh tubuhnya yang terasa perih dan sedetik setelahnya Snape merasa sembuh.

            “Kau menyedihkan, Severus, sangat menyedihkan.” Lily berhenti untuk menatap tajam mata kelam Snape, “Dan, ya, ini aku.”

            “Mmm-maaf, Lily, aku memang menyedihkan. Aku hh-hanya merasa perlu melakukan sesuatu—“

            “Selama ini, Severus, selama ini! Bagaimana mungkin kau bisa bertahan bahkan tanpa mengatakan apa-apa? Bagaimana mungkin aku mengerti bahwa kau telah merasakan itu begitu lama?” Snape tahu Lily menangis. Bayangan di depannya itu menangis.

            “Bagaimana kau bisa datang, Lily?”

            “Karena kau ingin aku datang, Severus.”

            Snape menghela napas. Kebahagiaan itu tiba-tiba muncul dan masuk ke dalam perutnya. Satu fakta: Lily datang untuk menjemputnya.

            “Kau membuatku merasa bodoh, Severus. Hidup dalam ketidaktahuan dan aku membawa mati segala kebodohan itu.” Lily tak melepaskan pandangan dari matanya. Bayangan perak itu menunduk dan kini berlutut di sebelahnya. Jemari Lily membelai rambut Snape. Kebahagiaan yang asing, yang belum pernah Snape rasakan sebelumnya, mengakar masuk ke dalam rongga dadanya yang kini terasa kosong lalu mengisinya.

            “Maafkan aku, Lily, maafkan aku,” ujar Snape membuat Lily menatapnya sedih.

            “Bukan salah siapa-siapa, Severus. Lupakan saja. Toh, semua sudah selesai.”

            Lily tersenyum menatap Snape. Senyuman yang masih seindah dulu, saat pertama Snape menemukan wanita ini di hutan bersama sepupunya, Petunia. Senyuman yang masih diingat Snape ketika mereka sering menghabiskan waktu berdua. Senyuman yang membuatnya mencintai Lily selama ini.

            “Terima kasih karena kau telah menjaga Harry, Severus, walaupun dengan cara yang begitu menyedihkan.”

            Snape mencoba menggerakkan bibirnya untuk tersenyum, “Dia punya matamu, Lily.”

            “Wajah dan tubuhnya persis James, kalau kau lupa.” Kata-kata Lily membuat Snape tercenung. Benar, dia melupakan James. Bahwa dia adalah pria yang dibenci Snape dan bahwa dia adalah suami Lily sekaligus ayah Harry.

            “Di mana Potter?” tanya Snape dingin. Membuat Lily tersenyum geli.

            “Maafkan dia, Severus.”

            “Di mana Potter?” ulang Snape lebih dingin, datar, dan menusuk. Membuat Lily menyadari bahwa Severus Snape yang dikenalnya, yang kini terbaring sekarat di hadapannya, masih sama.

            “Bersiap menjemput Harry,” jawab Lily, dengan suara sedih.

            Snape terperanjat. “Anak itu ... akan mati?” tanya Snape.

            “Bukan kapasitasku untuk menjawab pertanyaanmu, Severus. Aku tidak bisa memastikan apa-apa. Tapi, Harry akan memanggil kami setelah ini; aku, James, Remus, dan Sirius. Tentunya setelah aku selesai menjemputmu.” 

            Snape mengangguk mencoba mengerti kata-kata Lily. Banyak hal yang ingin ia tahu, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat.

            “Kau sudah begitu dekat, Severus. Terima kasih untuk segalanya. Keberanianmu, perlindunganmu untuk Harry, dan segalanya. Terima kasih karena kau masih memperjuangkanku bahkan setelah aku mati.” Kali ini, Lily benar-benar menangis. Ia menelungkupkan wajahnya dan sesenggukan di sana. Snape mengulurkan tangannya, dan kini ia berhasil menyentuhnya.

            Cahaya perak itu ... sedingin es ... tapi begitu hangat dalam jemarinya.

            Dia membelai rambut Lily yang tengah menangis. Mungkinkah Lily menangis untuknya?

            “Terima kasih, Severus, terima kasih karena telah mencintaiku begitu lama. Teri—terima kasih, Severus.”

            Snape menitikkan air mata. Ini adalah detik akhir dalam hidupnya dan segalanya begitu dramatis. Sosok Lily berlutut di sampingnya dan walaupun berupa cahaya perak, wanita itu tampak nyata.

            “Maaf karena aku tak bisa melindungi anakmu sampai akhir, Lily.”

            “Itu sudah lebih dari cukup, Severus.”

            Lily tersenyum dan Snape membalas senyum itu. Kali ini, ia sudah benar-benar siap. Snape menatap mata hijau bersinar Lily, untuk terakhir kalinya, lalu memejamkan mata.

            Kemudian, dua cahaya patronus membentuk dua ekor rusa betina yang berlari-lari mengitari ruangan sebelum menguar menjadi cahaya yang berpendar lalu menghilang. Meninggalkan jasad Snape di ruangan itu yang mati dalam keadaan bahagia.

            “After all this time?

            “Always.

--- 

I wrote this story to commemorate the death of Alan Rickman, the man who played Severus Snape in Harry Potter. 
Raise your wand, and say always. 


Komentar

What's most