Bring Your Shadow
source |
Aku
melihatmu dari sini. Dengan Astoria di sampingku dan Scorp di depanku.
Meyakinkan diri bahwa aku tak akan memelukmu setelah melihatmu utuh—dan begitu
baik-baik saja. Menahan diri habis-habisan untuk tak lagi berjuang untuk
meraihmu. Menahan jantungku sendiri yang berdebar begitu keras, karena
jantungku telah kembali menemukan pemacunya.
Betapa kau masih begitu sama. Walau
kau tak lagi muda, walau kau bukan lagi gadis umur enam belas tahun yang begitu
kucintai. Rambutmu yang cokelat mengagumkan kau gelung tinggi sehingga kau
terlihat begitu anggun dan cerdas. Dan matamu, cokelat madu, yang terlihat
begitu manis sampai begitu memabukkan. Betapa kau masih begitu sama—pun
perasaanku. Yang berbeda, bahwa kini kau bukan lagi Granger, melainkan Weasley.
Apa Weaselbee itu menjagamu dengan
baik? Pasti. Karena kau yang kulihat kini adalah kau yang sangat segar dan
sangat baik-baik saja. Dan, tiba-tiba saja, rindu bodoh-sialan yang selama
belasan tahun kupendam berenang naik ke permukaan. Aku merasa pening, dan King
Cross’s mendadak berputar. Aku bahkan tak mampu melihat Astoria yang kini
sedang menasihati Malfoy kecilku tentang Hogwarts. Seluruh gravitasi lenyap dan
semesta mendadak berhenti bekerja. Rotasi bumi melambat dan tiba-tiba saja, aku
tak mampu melihat apapun selain dirimu—yang turut menatapku.
Kau menyunggingkan senyum
tipis—begitu tipis—tapi sangat mengiris-iris nadiku. Kalau kau mau tahu, aku
hampir mati menahan hasrat untuk tidak berlari memelukmu, mencium bibirmu
ratusan kali bahkan sampai kau kehabisan napas, lalu bersujud di kakimu;
meneriakkan maaf. Maaf, karena aku telah begitu sombong dan keras kepala, serta
begitu egois. Maaf karena selama ini aku selalu salah dalam menentukan pilihan.
Dan maaf, karena aku telah lancang mencintaimu dan tak sedikitpun berani untuk
memperjuangkan cinta itu.
Bahkan ketika aku tahu kau merasakan
hal yang sama.
Tahun keenamku di Hogwarts merupakan
gambaran sederhana neraka. Dark Lord, yang kini sudah mati (dan aku ternyata
begitu bahagia karenanya) menyuruhku untuk membunuh Albus Dumbledore. Aku
sedang berusaha membetulkan lemari penukar di ruang penyimpanan ketika kau
memergokiku. Kau yang hendak menyimpan topi rajut yang tak kutahu apa fungsinya
terlonjak hampir histeris saat menyadari bahwa di lenganku terdapat tanda
kegelapan. Kau nyaris melaporkan semua yang kau lihat pada Potter sebelum aku
bersujud, memohon kepadamu untuk tetap diam dan merahasiakannya. Kau tercenung.
Kaget.
Karena seorang Draco Malfoy, a pure-blood, takkan pernah memohon pada
siapapun, apalagi pada seorang mud-blood
seperti Hermione Granger.
Aku menangis, meraung sampai kau
mendekatkan diri padaku untuk memelukku dan aku tak menolaknya. Aku menangis
sampai puas, sampai lemas. Sampai seolah seluruh ketakutan, kegelisahan, dan
rasa sakit di dadaku ikut hilang bersama air mata itu. Untuk pertama kalinya,
aku merasa begitu lega. Aku merasa aman, nyaman, dan terlindungi. Seperti aku
menemukan keberanian untuk menatap hari esok, dan yakin bahwa setelah hari ini
semua akan baik-baik saja. Dan kau, Granger, yang berhasil menciptakanku yang
begitu berani untuk berharap banyak. Kau berhasil membuatku mencadi manusia
konyol yang berani menggantungkan hidup pada harapan sekecil apapun itu.
Mulai detik itu, aku mulai
mencintaimu. Seorang Slytherin yang mencintai Gryffindor. Ambisi yang mencintai
keberanian. Tanpa mengucapkan sepatah katapun bahkan setelah hari kau memelukku
dan menangis bersamaku. Aku mencintaimu dalam keheningan yang menyenangkan, dan
takkan pernah dipahami oleh siapapun. Bahkan oleh diriku sendiri.
Aku terus bertahan dalam
keheninganku sampai hari Dumbledore wafat. Kau masih berpikir bahwa aku yang
membunuhnya. Kau mendatangiku yang tengah diseret oleh Snape ke hutan
terlarang—entah harus kucap berani atau tolol. Kau memohon pada Snape untuk
memberi waktu agar bisa berbicara padaku. Dan keberanianmu itu membuat Snape
mau menunggu sepuluh menit bagi kita untuk berbicara.
“Aku kira kau bukan pembunuh,
Malfoy,” ujarmu dengan suara bergetar.
Aku yang menahan emosiku
habis-habisan, menahan ekspresiku agar tetap datar dan dingin. “Tidak ada yang
minta pendapatmu, filthy mud-blood.”
Kau tercenung, tak mengira sama
sekali bahwa aku akan mengatakan hal seperti itu. Kalau kau mau tahu, Granger,
aku bahkan saat itu tak mampu mendengar bunyi detak jantungku sendiri.
Kau menangis. Dan rasanya aku ingin
mati melihatmu sesenggukan.
“Benar. Kau tak perlu meminta
pendapatku atas apapun yang kau lakukan,” kau berlutut. Memeluk dirimu sendiri
dan menangis semakin keras. “Bahkan meskipun aku berusaha mati-matian untuk
melindungimu. Meskipun aku hampir gila karena berusaha menyangkal tentang apa
yang kaurasakan. Benar, sejak awal aku tak pernah berhak apapun atas dirimu.
Sehebat apapun debaranku ketika memikiranmu, sedalam apapun perasaan yang ada di
hatiku. Aku tak pernah berhak. Ya, Malfoy, kau benar.”
Aku terdiam mendengar ucapanmu, ikut
tenggelam dalam emosi yang kau keluarkan lewat air mata. Aku lebih gila,
Granger, dan debaranku lebih hebat sampai rasanya seperti akan keluar dari
rongganya. Aku berharap dalam hati saat itu. Berteriak pada Merlin, meminta
agar kau berhenti mengatakan hal-hal tentang perasaanmu.
“Aku mencintaimu, Malfoy. Sejak hari
itu, sejak hari aku menyadari bahwa kesedihan dan kegelisahanmu ikut membuatku
menderita. Aku sangat mencintaimu—meski aku tahu hal ini adalah sebuah
kesalahan, aku rela berdosa untuk melakukannya.” Kau menangis tanpa suara kali
ini, tapi air matamu lebih deras dan kau gemetar hebat.
“Pergilah, Malfoy. Tapi, sebelum
itu, bolehkah aku menanyakan satu hal saja sebelum kita bepisah?” kau
mengangkat wajahmu memberanikan diri menatapku. Aku tetap bertahan tanpa
ekspresi.
“Apa aku bertepuk sebelah tangan?”
Tidak, Granger, kau sama sekali
tidak bertepuk sebelah tangan.
Tapi, aku tidak mengatakan apapun. Aku
malah berlari menyusul Snape dan dengan begitu angkuh meninggalkanmu yang
menangis semakin keras. Aku semakin jauh dan meninggalkan kau di belakang.
Bersama seluruh rasa sakit dan cinta yang menguap sebelum tertelan.
Aku meninggalkan seluruh kenangan itu,
bersama hatiku turut serta. Melangkah menginjak kepingannya yang berserakan.
---
Anak-anak kita; aku dan Astoria, dan
kau dengan Weasley, telah naik ke Hogwarts Express yang melaju perlahan
meninggalkan stasiun ini. Aku melihatmu menitikkan air mata sambil menatap
anakmu Rose yang melambai-lambaikan tangannya. Air mata itu ... lagi-lagi.
Mungkin menyadari bahwa sedang
diperhatikkan, kau ikut menatapku. Dan saat itulah pandangan kita bersibobrok.
Bola mata kita bertemu, saling menyerang, saling kesakitan.
Aku masih sangat mencintaimu. Andai
kau bisa mendengarnya. Andai aku bisa mengubah waktu dan memperbaiki keadaan.
Dan kau juga tak menghentikan
tatapanmu membuatku bertanya-tanya apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan
lewat tatap mata itu. Aku menghela napas, aku ingin berhenti.
Kau juga menghela napas, lalu
menghentikan pertemuan tatap mata kita. Weasley sudah menggenggam tanganmu
kemudian membawamu berjalan menjauh seperti yang kulakukan belasan tahun lalu.
Meninggalkanku yang menggelepar, berteriak dalam hati agar kau tidak pergi.
Perasaan ditinggalkan yang rasa sakitnya begitu asing. Apa perasaan semacam ini
yang kau rasakan dulu, Granger?
Kau berjalan semakin jauh. Lebih
jauh dan menjadi semakin tak terlihat. Tak ada yang kautinggalkan, selain
milikku yang kau kembalikan. Cinta yang lama kupendam lama kini bergerak
menunjukan eksitensinya. Aku tak tahu perpisahan sunyi ini akan membawaku ke
mana, tapi keheningan ini membuatku tenggelam hampa.
Astoria menggenggam tanganku,
membawaku pergi juga dari tempat itu. Aku menurutinya dan berjalan tanpa
melepaskan genggaman tangannya yang entah mengapa begitu dingin. Atau aku
sendiri memang tak pernah merasakan hangat itu sendiri?
Aku juga berjalan menjauh membawa
semuanya. Bayanganmu dan sisa-sisa dirimu yang masih bisa kuraih. Yang akan
kugenggam dalam ketiadaan.
Selalu, selamanya.
Komentar
Posting Komentar