Untuk T dan Cerita yang Tak Pernah Dimulai
Dear, T.
Berkali-kali aku mendapati diriku
menatap angin kosong. Beberapa hal terasa berbeda, beberapa lagi masih persis
sama. Tapi, yang begitu nyata kurasakan; betapa kehilangan itu habis menghajar
kita.
Aku tidak ingin lagi bercerita
mengenai kesedihanku. Semua itu membuatmu terlalu muak, aku tahu. Akulah yang
paling tahu tentangmu lebih dari siapapun meski aku tidak pernah bisa mengerti
kamu betul-betul. Karena perasaanmu terlalu dalam, T. Selain butuh waktu lama
untuk bisa memahaminya dengan baik, aku tahu aku tak akan cukup mampu. Duniaku
masih berotasi, dan aku yakin duniamu tak berhenti. Sesekali hanya semesta terasa
terlalu kurang ajar pada perasaanku. Hatiku dibiarkannya terlantar,
dibiarkannya terkapar, sampai aku sendiri lupa benda itu kutaruh di mana. Yang
mengisi rongga dadaku hanya lirik-lirik lagu yang tak kupahami betul maknanya,
sisanya tentang sisa-sisa kenangan yang entah masih berharga atau tidak.
Beberapa hari ini aku memikirkan
banyak hal, T. Karena aku tidak tahu perasaanmu, aku akan menceritakannya dari
sudut pandangku sendiri. Aku ... kehilangan kamu. Benar-benar seperti ada yang
direnggut paksa dariku, ada yang terpaksa lari tanpa aku diizinkan mengejar,
ada yang meninggalkan tanpa aku tahu alasannya. Seperti tak ada yang tersisa
dari kita, sedalam apapun aku mengais sampai jemariku terluka. Aku membiarkan
diriku sendiri tenggelam dalam rasa sakit yang sama; sebab aku tahu hanya itu
satu-satunya cara untuk mengingatmu. Karena bukan kamu yang menjauh
pelan-pelan, aku yang menawarkan diri untuk ditinggalkan.
Aku tahu. Sikapku. Keegoisanku.
Semuanya. Aku tahu.
Jika seandainya kamu membenciku,
tidak apa-apa. Asalkan kamu bahagia bagiku saja cukup. Kamu tahu, T, bahagiamu
begitu menular. Hanya dengan melihatku keadaanmu utuh tak kurang satu apapun
saja sudah membuatku lega. Aku yakin ini bukan karena permintaanku yang ingin
melihatmu tetap bahagia meskipun itu pura-pura, aku yakin. Karena ada yang
tulus di sana, sesuatu yang tak pernah kutemukan di manapun selain pada tatapan
matamu. Bahagiamu saja sudah cukup karena dengan begitu aku juga bisa ikut
berbahagia.
Aku tidak memiliki firasat apa-apa
sejak awal. Maafkan aku dan segala ketidakpekaanku. Tapi, mengenai cerita kita,
aku sudah berhenti mengharapkannya agar bisa kembali seperti semula atau
dimulai lagi. Karena jauh sebelum kita bertemu, kita sudah terlatih untuk
tersiksa dengan cara yang berbeda. Kita tiba di satu tempat yang sama dengan
membawa banyak beban. Kita tiba pada tempat itu bersamaan dengan rasa sakit.
Kita terluka dengan cara sendiri-sendiri, tidak dewasa dengan caranya sendiri.
Luka itu membawa kita tumbuh menjadi pribadi yang egois, gengsi, dan pandai
menyembunyikan perasaan. Kita tak lebih dari masokis yang senang menyakiti
dirinya sendiri. Sampai pada akhirnya, meski kita tiba di tempat yang sama,
waktu yang bersamaan pula, kita tidak bertemu. Mungkin, Tuhan ingin kita
belajar caranya pulih sendirian. Tak ada bayangan tentang saling mengobati,
kita hanya perlu berjalan pada dongeng kita sendiri-sendiri. Karena tempat itu
tak membiarkan kita untuk menikmati rasa lebih lama. Tempat itu mengalir dan
bermuara pada kebohongan. Muara kepalsuan yang kita sebut persahabatan.
Kalau saja kamu tahu apa yang
terjadi padaku dan hatiku. Kalau saja kamu tahu bagaimana seringnya aku—iya,
sama sepertimu—bersahabat dengan rasa sakit dan kepedihan perihal perpisahan.
Kalau saja kamu tahu, mungkin kamu akan mengerti mengapa aku begitu takut.
Aku takut kehilangan kamu, sangat
takut. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakanya. Sebab kalimat, “Aku takut
kehilangan kamu.” saja tak akan pernah cukup. Mungkin saja sikapku berlebihan,
mungkin saja aku posesif, atau mungkin saja aku menjelma manusia tidak tahu
diri yang berdiri di sampingmu, menggenggam lenganmu erat dan mencegahmu pergi
walau hanya selangkah di depanku. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya agar
Tuhan mengizinkanku, permintaanku, tentang menjauhkan aku dari kehilangan dan
menghindarkan aku dari rasa sakitnya.
Aku menyesal atas hari-hari yang
berlalu dan kamu terus menjadi pengerti tanpa mendapat pengertian. Aku menyesal
atas kenangan yang tidak sempat aku perjuangkan. Aku menyesal atas perasaanmu
yang tidak mampu aku jaga. Aku menyesal atas cerita yang terpaksa kubiarkan
usai tanpa pernah dimulai.
Aku ingin minta maaf lagi padamu.
Aku ingin berdamai pada waktu yang membawamu pergi jauh dan membuat kita
berpisah. Aku ingin meminta pada semesta untuk menyesuaikan keadaan agar
kembali seperti semula.
Meski di dalamnya tak ada kita.
Maaf, T. Sampai saat ini aku masih
tidak tahu caranya bersikap dan mengambil posisi. Sebab hatiku masih rapuh dan
berdiriku masih sempoyongan. Maaf karena ternyata aku butuh waktu begitu lama
untuk menata perasaanku yang berantakan. Maaf karena aku tidak bisa membantumu,
menjadi sahabat terbaik buatmu, padahal itu yang aku mau. Aku minta maaf karena
sampai saat ini aku masih tidak mengatakan apapun, tidak memberimu penjelasan;
seperti yang aku tuntut darimu. Aku minta maaf karena aku ternyata memilih
berjalan menjauh. Bukan, aku tidak berjalan; aku berlari kencang. Aku minta
maaf karena satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah melarikan diri.
Aku menemukan mimpi, tekad, beban,
dan ketakutan. Banyak hal pada dirimu adalah tentang kebaikan yang kautularkan
pada banyak orang. Tapi, semua beban dan ketakutan itu kamu sembunyikan di
balik senyum ringan.
Pengabaianmu juara nomor satu, T.
Namun aku lega karena meskipun bahagiamu tak lagi melibatkan aku, kamu tetap
bisa tersenyum dan bebas tertawa. Meski sedikit tidak adil, aku bangga padamu
dan perjuanganmu melepaskan diri dari belenggu luka meski kamu mengaku sudah
terbiasa tapi masih terasa sakit. Aku memang masih tidak jujur, tapi aku serius
tentang kebahagiaanku melihat kebahagiaanmu.
Ini adalah saat yang tepat untuk
kembali ke tempat kita sebelumnya dan belajar agar tidak terburu-buru mengejar
sesuatu. Mungkin, dengan kembali ke dunia nyata tanpa melibatkan satu sama lain
akan mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Tidak ada semoga, kamu tahu aku
selalu mendoakan kamu agar bahagia—dan membahagiakan. Selalukan itu, T. Aku
sudah cukup bahagia karena aku yakin bahwa kamu kelak akan bahagia.
Satu hal; aku tidak akan ke
mana-mana, tapi aku ikhlas jika inginmu adalah kepergian tanpa pulang.
Selamat malam, T. Kamu menghadapi
dirimu sendiri dan kamu sudah menang.
Seseorang yang pernah berusaha
mencairkan gunung es
yang benci matahari.
Komentar
Posting Komentar