Sepi

            Aku tidak tahu lagi.  Aku tidak bisa menulis apapun. Aku hanya merindukanmu. Aku ingin kamu kembali. Aku tahu aku egois tapi  aku ingin semua kembali baik-baik saja. Aku melupakan penyakitku dan kamu melupakan masalahmu. Semuanya. Aku menginginkan semuanya.

            Sebab aku menemukan semangat untuk hidup kembali pada setiap jengkal senyummu. Sebab aku menemukan hembus-hembus napasku pada kebahagiaan yang kau berikan. Dan saat aku kehilangan semuanya, salahkah jika aku memilih menyerah dan membiarkan semesta mengendalikan perasaanku semaunya?

            Aku berkata perihal memulai semuanya sejak awal tapi melangkah dari tempatku sekarangpun aku belum mampu. Aku masih terpaku di tempatku, menatap punggungmu yang semakin jauh ... jauh ... jauh. Menjauh.

            Sepi ini serupa sayup-sayup yang bisa kudengar teriakannya. Bahwa kesepian merupakan pembunuh paling nyata yang pernah ada. Perpisahan ini terlalu tergesa-gesa. Tidak ada air mata lagi, memang, tapi ada yang mengerang lebih keras. Ada sesuatu yang jauh lebih memilukan dari itu. Aku tidak membencimu, tapi aku benci perasaan yang mendapatimu berubah—bukan, kembali menjadi sosok asing. Seperti bangunan yang kini menjadi puing-puing. Kamu ada, kamu nyata, tapi mengapa sosokmu terlihat begitu abu-abu, samar-samar, dan sulit kusentuh?

            Aku tahu kamu di sini, tapi hatimu pergi. Mungkin hanya perasaanku tapi gaung hampa itu memang sengaja menjauhkan kita. Kepergianmu, egoisme ku, gengsi kita.

            Aku tidak tahu lagi.

            Apa yang harus kutulis?

            Apa yang harus kukatakan?

            Diksi-diksi yang membawaku menang di berbagai kompetesi seolah lenyap dari lakmus-lakmus otakku. Mereka menghilang dan tidak ada satupun yang tersisa.

            Kosong.

            Hampa.

            Sepi.


            Mengapa kehilanganmu bisa semematikan ini?

Komentar

What's most