Hampa

            Aku terbangun dengan perasaan kosong, menatap langit-langit kamar yang sama kosongnya. Satu hal yang kudapati saat itu adalah hampa.

            Setelah kita bermaafan, aku pikir akan ada yang berubah, atau minimal bergerak maju. Tapi nyatanya; semua berjalan sama saja. Menurutku, masih banyak yang disembunyikan oleh kita berdua. Entah itu tentang luka, rasa sakit yang sama, atau penolakan pada semesta. Banyak hal yang masih kita simpan di lubuk hati masing-masing.

            Sebab kita belum berdamai dengan diri kita sendiri. Kita masih sibuk dengan presepsi masing-masing, sibuk menebak-nebak, tenggelam oleh spekulasi. Nyatanya, aku masih belum bisa memaafkan diriku sendiri yang tidak bisa mengerti perasaanmu. Aku masih menyalahkan diriku atas semua yang terjadi dan menjelma tak terkendali. Aku masih merasa bodoh atas masalah ini dan aku tidak memiliki usaha apapun untuk menyelesaikannya.

            Aku berkata padamu bahwa sebenarnya banyak hal yang ingin kukatakan, tapi begitu melihatmu semua kata-kata itu malah hilang. Lenyap bersama debur waktu. Bahkan aku yakin kamu tidak menatapku dengan hatimu. Kamu memang di sini, tapi kamu yang di hadapanku duduk tanpa hati. Aku berkali-kali berkelakar soal perasaanku, dan aku bahkan yakin kamu tidak mendengarkannya. Aku ingin bertanya ada apa, tapi ternyata aku masih takut padamu. Aku takut pada tanggapanmu.

            Aku melibatkan perasaan. Aku merasa kacau. Apa kau benar-benar sebahagia itu? Sementara kau sudah mulai bebas berlari, aku bangkit berdiri saja sulitnya luar biasa. Disaat kau mulai tahu caranya tertawa, bahagia saja masih terasa terpaksa buatku. Apa hidup tanpamu benar-benar sebaik-baik saja itu—buatmu? Sebab semua terasa sepi dan mencekam. Perasaanku kosong melompong, hatiku bolong. Seperti kepergianmu membawa serta rasaku dalam setiap langkahnya. Seolah bagian-bagian dari kebahagiaan itu turut menghilang bersamamu. Aku bahkan takut untuk mendapati pagi, sebab aku tahu kini kenyataan tak sama lagi.

            Aku tertidur, tak selarut dulu, karena aku tak ingin menyiksa diriku dengan ingatan panjang dan kesedihan yang tak tahu jalan pulang. Sebab waktu-waktu penghujung sepi memang tak baik buat hati. Sialnya, bangunku lebih pagi, dan itu artinya aku masih punya waktu kosong untuk memikirkan kondisi kita. Aku kehabisan tenaga untuk menangis, tapi perasaanku malah lelah karena tak ada wadah yang bisa menampungnya. Aku sangat merindukanmu, tapi aku tidak tahu harus mengapakan perasaan ini. Tidak mungkin mengabaikannya, dan menebusnya jauh lebih mustahil sebab kini aku hanya bisa melihat punggungmu yang menjauh dan terus menjauh. Melewatiku begitu saja, seolah aku bukan apa-apa. Padahal, dulu kita begitu dekat, begitu mudahkah aku terlewat?

            Dia selalu di sisimu. Kamu mengekori ia ke mana-mana. Sementara aku hanya duduk diam di sudut ruangan, mencoba lari dengan mendengarkan musik, menahan gejolak di dadaku sendiri. Sebab aku tidak boleh mengejarmu. Sebab meski hatiku mati-matian ingin menatapmu, berbicara denganmu, atau bahkan dengan tidak tahu diri mengajakmu bercanda, aku tidak boleh melakukannya. Aku hanya perlu membiarkanku pergi dengan dia, yang jelas mampu membuatmu bahagia, tertawa lebar, dan membuatmu melupakan semua masalah itu. Kini, tak ada sela dalam hidupmu yang perlu aku isi. Bagian-bagian itu sudah penuh. Hanya menunggu waktu sebelum aku akan sepenuhnya terlupakan.

            Temanku bilang, aku terlihat depresi, frustasi, dan berantakan. Aku menyerah. Padahal, aku sudah mati-matian membubuhkan fondation untuk menutupi kantung mataku, membubuhkan banyak liptin untuk mengusir pucat, dan aku berusaha tersenyum. Aku berusaha terlihat segar, terlihat baik-baik saja, terlihat bahagia. Akting bahagia itu mungkin berhasil untuk beberapa orang, tapi jelas gagal total untuk diriku sendiri. Sebab dalam lamunku aku masih tidak bisa mengusir kesepian. Kosong yang mematikan. Aku bahkan takut untuk melihat bayangmu, karena ada yang asing di sana. Sesuatu yang bukan lagi milikku. Tak bebas kusentuh lagi, tak bebas kutatap lama-lama lagi. Sesuatu yang tampak nyata tapi sesungguhnya samar-samar. Di mataku kini, kau hanya sesuatu yang abu-abu. Kamu delusi.

            Aku sedang mengalami sepi tingkat paling mematikan. Sepi di keramaian. Karena telingaku tuli, tak ada yang kudengar selain bisikan kehilangan yang bernyanyikan namamu. Aku benci perasaan ini. Saat aku sendirian dan tiba-tiba saja pandanganku kabur, pelupuk mataku basah. Belum apa-apa, belum begitu lama, tapi seperti ada sesuatu yang menumpuk. Aku ingin menangis, tapi air mata ini tak akan pernah kau pahami.

            Aku bukan diabaikan, sejak awal—bagimu, aku tak pernah sepenting itu. Kapan? Aku mulai lelah bertanya tentang kondisi yang berjalan dengan tidak pasti. Kamu bilang, bahwa kamu juga mengharapkan agar semua kembali seperti dulu; nyatanya sikapmu tak menunjukan hal itu. Aku malah semakin terpuruk sebab ketiadanku  terkesan membahagiakanmu.

            Maaf, mungkin aku terlihat egois—sangat-sangat-sangat egois di matamu. Karena aku tak lebih seperti seorang manusia yang memperjuangkan kebahagiaannya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Maaf, mungkin aku terlihat sangat menyebalkan di matamu. Aku adalah manusia paling brengsek. Aku bukan teman yang bisa diandalkan. Aku bukan seseorang yang kau mau.     

            “Let me be what you need,” kataku. Tapi aku malah menjelma manusia yang sangat tidak berguna di hidupmu.

            Aku benci kata orang-orang yang mengatakan bahwa persahabatan kita sudah dicampuri oleh perasaan masing-masing. Sebab bagiku, sesungguhnya letak masalahnya bukan di situ. Ini bukan tentang apa-apa, hanya dua orang sahabat yang mencoba tumbuh dewasa dengan tak lagi saling menggantungkan hidup satu sama lain, dan salah satunya baru menyadari betapa sulit hidup tanpa melewatinya bersama-sama, sementara yang satunya mulai menyenangi hidup yang sendiri-sendiri itu. Siapa yang egois? Kita. Kita yang egois. Sebab kita menyangkali waktu dan menyalahkan keadaan, memanipulasi semuanya seolah bukan kita yang melakukannya, menipu diri dengan menyalahkan kondisi, dan berteriak bahwa kita sudah terlalu lelah untuk mengahdapi kenyataan ini. Padahal, siapa yang suruh kita lari? Tidak ada. Bahkan kita tidak benar-benar lari. Kita hanya jalan di tempat, terpaku di situ entah sampai kapan, dan berpikir seolah kita telah saling meninggalkan satu sama lain. Padahal kita tidak ke mana-mana, tapi mengapa aku tidak bisa menjangkaumu?

            Tembok besar itu, yang entah mengapa seperti tertulis, “Jangan dekati aku!” Katamu, aku sendiri yang membuatnya. Aku yang menciptakannya. Aku yang membuat jarak itu. Aku sendiri tidak tahu. Tapi, jika benar aku yang membuatnya, mengapa semua terasa sulit? Mengapa aku tidak mampu hidup tanpamu?

            Aku tidak berharap kamu akan membaca tulisan ini. Hidupmu bukan lagi kapasitasku dan tak ada celah yang bisa kumengerti—seperti katamu. Aku sudah tidak berani menginginkan apapun lagi karena pada akhirnya aku paham yang membuat mati adalah harapanku sendiri. Makanya aku membiarkan semua berjalan tetap seperti ini, sesekali berdoa siapa tahu Tuhan berubah pikiran dan jadi mengembalikan semuanya. Tapi, satu hal yang ingin kutanyakan;

            Jika aku menghentikan egoku, akankah kamu menghentikan egomu?

            Aku kehabisan akal, kehabisan cara. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana sebab bagiku semua arah seolah salah. Ada lagu yang sayup-sayup. Banyak mengoceh membuat sakit perut. Ada suara yang kosong; keras tapi tak terdengar apa-apa. Aku mendengarkan lagu yang kacau balau, berantakan, kasar, dan menyedihkan. Dan lagu itu menyindir kita.


            Selamat malam, Tuan. Aku merindukanmu. Jika masih boleh dan jika menurutmu; kita masih teman.

Komentar

What's most