Benar, Aku Sehancur Itu

            Aku pernah membaca sebuat kutipan yang berbunyi, bahwa setelah patah hati, semua orang tidak akan menjadi orang yang sama lagi. Entah mereka akan enjadi dewasa atau dipurki waktu, yang jelas mereka yang patah hati bukan lagi pribadi mereka yang dulu. Patah hati, entah itu yang biasa saja atau yang maha dahsyat, akan membawa banyak sekali perubahan.

            Maka dari itu, T, aku menulis ini.

            Beberapa minggu belakangan, pikiran dan perasaanku sedang benar-benar kacau. Kamu bisa lihat sendiri, kehancuran itu tertuang nyata dalam barisan-barisan paragraf tulisan di blog ini. Aku sedih, kecewa, marah, tapi yang jelas aku terluka parah. Kepergianmu, pertengkaran kita—yang entah layak disebut apa, percakapan-percakapan yang menguap sebelum terucapkan, juga sebuah cerita yang dipaksa selesai saat aku tengah terbuai pada alurnya. Kisah yang berhenti di tengah-tengah, tidak dilanjutkan pun di akhiri. Tapi sang pencerita memutuskan mengakhiri sebab kini keadaan berubah drastis. Semua yang datang bertubi-tubi, tiba-tiba ... semuanya. Semua yang hadir dan menghancurkan kita.

            Salahkan waktu, T, atau kau juga bisa menyalahkan aku.

            Mulanya, kita berjalan searah. Kita tahu ke mana kita akan menuju dan jalan-jalan mana yang memang sebaiknya kita lewati. Kita berjalan, terus berjalan, sesekali berlari untuk mengusir bosan; sebab kita tahu bahwa yang monoton tak pernah menyenangkan. Dan lalu, kita sampai pada titik ini. Sebuah tempat di mana semua arah seolah salah, sebuah persimpangan yang membuat kita terjebak di antara waktu. Mungkin karena sudah lelah mengalah, kita tak lagi mampu sepakat memilih arah. Aku ingin ke kanan, kamu ingin ke kiri. Maka itu, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan, keputusan terakhir, jalan tengah; berpisah. Kita mulai melangkah pada jalan sendiri-sendiri. Meskipun sebenarnya, yang aku inginkan adalah kembali.        

            Kembali pada tempat awal kita melangkahkan kaki untuk memulai segalanya. Kembali pada masa saat semua itu, masalahmu, masalahku, rasa sakit kita, belum ada. Kembali pada tempat saat tawa masih begitu mudah pecah, dan senyum begitu tulus merekah. Kembali pada masa saat kita baik-baik saja.

            Kembali.

            Kata itu rasanya memiliki kekuatan magis yang mampu membuat harapan mencuat lagi. Entah mengapa ‘kembali’ malam ini mampu membuat air mataku menetes lagi. Air mata yang sudah lama berhenti. Air mata yang sudah bosan terjatuh dan menciptakan hatiku menjadi angkuh. Aku hampir saja berpikir mampu memulai segalanya lagi, bangkit berdiri lagi, sebelum aku melihatmu bernyanyi dan hatiku retak lagi. Segala perih tertuang di situ. Ketahuilah, T, hati ini bisa menyanyikan lagu yang seratus kali lebih sedih dari pada nyanyian yang kau nyanyikan tadi pagi.

            Jika aku bisa memutar waktu, beberapa detik saja, sebelum Senin berminggu-minggu yang lalu; aku tidak akan melakukan hal-hal yang membuat perasaanmu tumpah ruah. Jika aku bisa memutar waktu, aku tidak akan memohon padamu untuk memakiku. Jika aku bisa memutar waktu, aku tidak akan menangis bodoh dan menyakitimu. Jika aku bisa memutar waktu, aku akan membiarkan semuanya berjalan seolah semua biasa saja, tidak terjadi apapun. Aku akan mengizinkanmu membullyku, memainkan ikatan pada kerudungku, menuliskan apapun pada bagian belakang bukuku, menyentuh pundakku dan bahkan memukulnya, mengizinkanmu menyanyikan lagu apa saja tanpa mengatur suaramu, melakukan apapun yang kau mau, menyukai atau membenci siapapun. Aku tidak akan marah untuk hal-hal sepele padamu, menangis, membahas hal-hal yang tidak ingin kau bahas, dan apapun. Jika aku bisa memutar waktu, aku akan melakukan hal-hal yang seharusnya kulakukan meski aku tidak tahu apa karena kau tidak pernah mengatakannya.

            Meski sudah, aku tetap tidak ingin kau membenciku, T.

            Kemarin, untuk pertama kalinya, aku menanyakan banyak hal tentang dirimu pada dia; gadis yang kau percaya. Dan aku hampir mati saat mendengar bahwa kau mengira bahwa orang-orang yang menanyakan keadaanmu adalah suruhanku.

            Tolong, T, aku hampir frustasi dengan hatiku sendiri dan aku masih sempat menyuruh orang untuk menanyakan padamu apa yang sedang kau rasakan? Ada apa denganmu, T? Mengapa kamu jadi sepicik itu?

            Sialan, malam ini aku benar-benar menangis lagi. Bukannya kamu yang melahirkan angan-angan dan menghidupkan setiap harapan yang beterbangan? Tapi, mengapa kamu sendiri yang menjatuhkannya jadi kepingan-kepingan kecewa yang beterbangan?

            Biar kujelaskan satu hal bahwa aku tidak pernah menyuruh siapapun untuk menanyakan kondisimu. Jika memang iya, tentu aku tidak perlu sulit-sulit menahan sakit, menuliskan semuanya seperti hanya itu satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Rindu ini membuatku sekarat, T, dan kamu masih bisa bilang seperti itu?

            Benar. Kalau kamu ingin tertawa sekarang, silakan saja. Hidupku memang kacau dan berantakan. Semua berjalan monoton. Kosong. Sepi.

            Semua karena ketiadaanmu.

            Kamu pergi dan tidak menyisakan apapun. Bagaimana aku bisa hidup dengan segala kekosongan itu? Apa perasaanmu benar-benar semati itu? Apa sudah tak ada lagi kesempatan buatku? Apa sudah tak ada lagi ruang buat kita?

            T, ada perih bertumpuk-tumpuk yang menaungi dadaku. Setiap hari, T, setiap hari! Aku harus terbangun dan mendapati diri merasa takut untuk menghadapi hari. Takut menghadapi kenyataan yang kini tak sama lagi. Lihat, T, siapa yang pergi dan siapa yang mati di sini?

            Aku sedih, aku kecewa, aku marah, aku membenci semuanya. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku sendiri. Semua perkara tentang rasa menjelma menjadi tidak sederhana. Mengapa semua jadi tak adil buatku, T?

            Terus terang, aku benci melihatmu bisa baik-baik saja begitu. Aku benci sekali. Aku muak pada diriku sendiri karena aku tidak bisa menjalani hidup senormal kamu. Aku benci karena otakku masih penuh dengan pikiran tentang kamu. Aku benci karena tatapan matamu kini menjelma asing. Aku benci karena sosok yang dulu kukenal dengan baik kini menjadi seseorang yang tak pernah kutemui sebelumnya.

            T, keadaan ini membuatku frustasi. Aku terus-terusan bertanya tentang mengapa tapi tak ada seorangpun yang menjawabnya. Dan rasanya sakit sekali. Sebuah luka yang sama sekali tidak mudah untuk disembuhkan. Aku hanya terus-terusan menatap udara di depanku dengan tatapan kosong. Terus memeyakinkan diri bahwa kini tak ada kamu lagi. Terus mengendalikan perasaanku sendiri. Membiarkan hatiku menjadi kosong. Satu kesepian yang tidak akan pernah dipahami siapapun.

            Aku juga seperti orang bingung. Lupa nama, lupa peran. Aku hanya seorang pemain drama linglun yang menghancurkan panggungnya sendiri. Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Aku mati rasa.Aku tidak berhasil memahami maksud dan kemauan Tuhan mengapa ia membuat semuanya menjadi berantakan. Banyak orang yang menafaatkan keadaan ini, dan mereka membuatku semakin benci. Aku juga ingin egois, T! Aku juga ingin memiliki kadar gengsi setinggi kamu! Aku juga ingin amnesia dan melupakan segalanya! Aku juga ingin semuanya kembali normal dan baik-baik saja.

            Tapi semuanya terlanjur hancur dan aku tetap tak bisa menerimanya!

            Kamu egois, T! Kamu munafik!

            Tidakkah kamu tahu betapa sulitnya posisiku sekarang? Tidakkah kau akan paham betapa lebarnya lukaku sekarang? Aku tahu aku juga tidak memahami kamu, tapi mengapa kamu tetap tidak pernah bilang dan membiarkanku menebak-nebak, menyimpulkan segalanya sendiri, lalu mati oleh kesimpulan itu?

            T,


            Mengapa kamu sejahat itu?

Komentar

What's most