Rindu dan Semarang

            Apa kabar?

            Bulan lalu, aku berhasil meraih prestasi pada bidang yang sering kau remehkan dulu. Menjadi finalis kejuaraan menulis tingkat nasional, walau aku kalah, aku tetap bangga karena pada akhirnya aku berhasil membuktikan pada semua orang bahwa menulis bukan sekedar hobi yang menghabiskan waktu. Terlebih, karena kejuaraan itu membawaku ke kotamu, kota yang selalu kauceritakan, kota yang begitu kaubanggakan, dan kota yang pernah kaujanjikan akan membawaku jalan-jalan mengitarinya. Menyusuri sudut-sudut kota, menyaksikan gemerlap lampu-lampu jalan dan kendaraan yang begitu indah di malam hari, menyaingi cahaya bintang di langit. Pada akhirnya aku berhasil melakukan semua itu, tanpamu.

            Benar, bulan lalu aku mengunjungi kota itu. Kota tempatmu berada, tempat kau melakukan segala aktivitasmu di sana. Kertas-kertas berisi tulisan essai-ku yang membawaku ke sana; Semarang.

            Aku melewati tempat-tempat yang sering kauceritakan. Walau ini bukan pertama kalinya aku ke Semarang, tapi ini pertama kalinya aku mengunjungi kota ini lagi setelah kaubuat patah hati. Mengunjungi tempat di mana pria yang membuatku terluka tengah berkeliaran di daerah yang sama. Setelah keluar dari stasiun, aku buru-buru mencari taksi untuk menuju tempat dilaksanakannya presentasi karya; Universitas Negeri Semarang. Awalnya, aku mengira tak akan ada yang menarik dari perjalanan ini. Keramaian, kesibukan kota, dan lalu lalang membuatku sedikit tidak nyaman. Tapi, begitu taksi berjalan menembus kepadatan ibu kota provinsi Jawa Tengah ini, aku baru merasakan atmosfer udara yang penuh mengingatkanku akan sosokmu. Pria berkulit cokelat, berhidung mancung menggemaskan, yang menghabiskan waktunya selama belasan tahun di kota ini. Benar, kota ini adalah tentangmu, pria-ku, dan aku mengunjunginya; seolah atmosfer udara kota ini seperti mesin waktu yang membawaku pada ingatan tentangmu, dan tentu saja; kita.

            Tak perlu kuceritakan bagaimana hatiku terasa hangat begitu aku menyusuri jalan-jalan menuju Unnes. Aku ingat ceritamu dulu, kamu selalu naik bus saat berangkat atau pulang sekolah. Halte-halte di pinggir jalan itu ... aku seperti melihat sosokmu di sana. Ada dan begitu nyata. Seolah seluruh penjuru adalah kamu, dan wajahmu tak mau pergi di setiap sudut-sudut yang dijamah oleh mataku. Perih mengingat bahwa realisasi wajahmu itu hanya manipulasi otakku. Nyatanya kamu tak ada, kamu tak di sana.

            Aku melewati sesi presentasi dan tanya jawab dengan cukup lancar. Walau pertanyaan juri yang terkesan memojokanku membuatku kelabakan, aku mampu menjawabnya meski, yah ... dia terlihat tidak puas. Tidak masalah, menjadi satu dari sepuluh finalis dan mengalahkan ratusan orang di seluruh Indonesia membuatku lebih dari sekadar bangga.

            Aku meninggalkan gedung C Unnes pukul sembilan malam. Kemudian menelepon taksi, dan mencari travel. Taksi-ku melewati jalan lenggang di Semarang malam, dan saat itulah aku memanjakan mataku untuk melihat lampu-lampu jalanan dan lampu-lampu kendaraan yang tampak seperti bintang yang berjatuhan. Bersinar, berkerip-kerlip, dan sangat indah. Benar katamu, pria-ku, aku akan menyukai ini. Aku sangat menyukainya. Bahkan saat sang supir taksi mengajakku bicara, aku mengabaikannya dan memilih terus menikmati kerlip-kerlip lampu itu. Air mataku menetes perlahan. Aku memang menyaksikan semua pemandangan ini, tapi aku sendiri, tak ada kamu yang dulu berjanji hendak menemani.

            Aku sedih melihat sesuatu yang seharusnya kulihat bersamamu, tapi yang kudapati hanya pemandangan indah yang kunikmati sendiri. Semua terasa hangat, tapi aku tetap kesepian. 

            Aku merindukanmu, pria-ku. Aku tidak peduli sekalipun ayahku tidak menyukaimu, aku tidak peduli sekalipun agama menjauhkan kita, aku tidak peduli meskipun banyak hal yang akan menghalangi cinta ini, aku tidak peduli. Aku masih ingin terus memperjuangkanmu saat pada akhirnya kamu lebih memilih pergi dan meninggalkan segalanya. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi setelah rasa sakit karena perbedaan ini, kamu lebih menyiksaku karena kamu pergi. Saat itu aku lebih memilih untuk tidak peduli pada apapun selain kamu, tapi kamu justru menyerah pada keadaan, dan menyerahkan semua pada takdir. Membiarkan waktu semakin membunuh cinta yang pernah nyaris merekah di antara kita. Kamu lebih memilih menyerah, dan pergi.

            Aku menghapus air mataku yang tiba-tiba saja sudah meluncur bebas di pipiku. Aku semakin merindukanmu, ketahuilah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk meredam perasaan ini. Aku benci rindu, karena hadirnya membuatku mengingat bahwa sudah tak ada lagi kamu di sisiku.

            Aku kehilangan cara untuk melupakanmu. Begitu banyak hati yang aku lewati, begitu banyak bahagia yang aku ratapi. Tapi, tanpamu semua hanya jadi tawa kosong yang sepi; tak punya arti. Tentangmu adalah apa yang kupanggil rindu. Karena sejauh ini, tak ada yang pernah bisa menggantikan sosokmu, belum ada yang bisa mendudukisinggasana milikmu.

            Sesungguhnya, aku mulai bengah. Aku kelelahan karena terus-terusan melompat dari satu hubungan ke hubungan lain, mencari sesuatu yang mungkin sama dengan kenyamanan yang kau berikan dulu. Berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain, berharap dapat menemukan yang sehangat milikmu dulu.

            Hal yang membuat seseorang berhenti mencari adalah karena ia tak pernah menemukan. Sementara, bagaimana mungkin aku akan menemukan jika apa yang kaucari itu hanya ada padamu seorang? Aku tidak tahu apa yang punya kharismatik seperti yang biasa kautunjukan, apa orang lain ada yang memiliki lelucon bodoh—seabsurd milikmu—tapi mampu membuatku tertawa terbahak-bahak, seolah di dunia ini tak ada yang lebih lucu daripada dagelan milikmu. Aku benci pada kenyataan yang tak berpihak sedikitpun kepadaku.

            Semarang dan kamu adalah kesatuan, aku ingat betul seberapa sering kamu mengatakan itu. Jadi, tentu saja aku tak bisa berharap banyak.

            Mengapa?

            Karena aku tak akan bisa menggantikan Semarang—untuk bersatu denganmu.

            Kalau aku bilang rindu,

            Itu berarti selalu.


Komentar

What's most