Biarkan Aku Mengaku
Selamat malam, Gadisku.
Aku sejujurnya tak terbiasa menulis tentang perasaanku—atau
perihal apapun. Nilaiku di mata bidang Bahasa Indonesia selalu pas di nilai
rata-rata. Tapi, aku sudah kehabisan cara untuk terus memendamnya. Ada berpuluh
sesak yang minta wadah sebagai tempat pelepasan, dan kelihatannya; ini adalah
satu-satunya cara yang tepat.
Ah, aku tahu kamu tidak suka jika aku terlalu
bertele-tele. Maka, biarkan aku memulai segalanya dari sini. Dari sini, dari
satu bagian yang sejujurnya tak pernah kau mengerti, tak pernah benar-benar kau
mengerti. Jangan berpikir, otakmu akan terlalu cepat menerkanya dan semua tak
lagi jadi rahasia. Kecerdasanmu itu—ah, kadang bisa membuatmu tampak brilian,
tapi juga jadi tampak begitu bodoh. Dan buta.
Aku tidak akan berkelakar banyak. Karena sekali lagi, aku
tak terbiasa menulis tentang apapun. Hanya sekata dua kata yang kukira akan
mewakili seluruh perasaanku, yang tidak pernah kau tahu.
Jika kau mau tahu, semua terjadi sejak pertama kali kita
dekat—menjadi sahabat. Gemuruh itu muncul begitu saja, yang tak kutahu akan
bergerak ke mana dan menuju ke ranah apa. Semula, aku menyikapinya dengan
rasional. Barangkali apa yang terjadi hanya sementara, kekaguman semata seperti
yang pria-pria itu rasakan terhadapmu. Tentu saja, siapa yang bisa menolak
pesonamu? Kelihaianmu melukis, kefasihanmu berbahasa Inggris, selera musikmu
yang menakjubkan, dan segala yang ada pada dirimu.
Tapi kemudian, rasa itu menjelma menjadi sesuatu yang
entah-apa, tidak kutahu. Aku tidak mengerti mengapa rindu mulai menelusup pelan
ke dalam rongga-rongga hatiku, yang memperbanyak dirinya hingga sampai memenuhi
lakmus-lakmus otakku. Gadisku, aku tidak tahu ini dimulai sejak kapan, tapi aku
sering memikirkanmu. Membayangkan tawamu, mengingat bagaimana kita menghabiskan
waktu berdua, aku tak bisa mencegah bayangan itu berlalu lalang di otakku. Aku
tidak bisa menahan diri untuk menghubungimu, sekadar menanyakan apa yang sedang
kaulakukan atau kautelah mengusaikan tugas harian.
Semula, aku berusaha mencegahnya. Tapi, rasa itu
bertumbuh terlalu cepat. Aku bahkan tidak tahu apa yang membuatnya menjadi
tertanam sedalam itu.
Aku benci ketika teman-temanku mengira bahwa aku mulai
mencintaimu. Aku benci ketika teman-temanku berkata bahwa aku mulai
mengharapkanmu lebih. Aku benci mendengar kelakar mereka perihal perasaanku
yang mulai berbeda terhadapmu. Aku benci ejekan mereka perihal debar jantungku
yang berirama lebih merdu saat bersamamu.
Aku benci karena mereka benar tentang itu. Aku hanya
menolak menerimanya.
Aku juga benci karena nyatanya aku malah tidak berani
berharap banyak. Aku tidak mampu untuk sekadar mengendalikan semuanya—mengembalikan
semua seperti semula. Karena sejak awal aku tahu; aku tidak boleh mencintaimu.
Aku telah membatasi diriku sedemikian rupa untuk tidak menaruh hati ke padamu.
Tapi, semua menjelma menjadi apa yang tak lagi menjadi kapasitasku. Aku tidak
tahu bagaimana ini bisa terjadi. Maafkan aku, aku seharusnya tidak mencintaimu.
Sesuai dugaanku—bahkan lebih parah, kau pergi dengan
segala yang telah kupercaya. Aku sering melihat di drama-drama picisan, atau
dari cerita temanku yang menggilai kisah-kisah fiksi semacam itu, jika pria dan
wanita bersahabat dan salah seorang jatuh cinta, maka mereka akan kehilangan
satu sama lain. Aku bahkan belum mengungkapkan perasaanku ketika pada akhirnya
entah karena sebab apa kau meninggalkanku.
Kamu tidak akan tahu bagaimana rasanya hati yang perih
tertusuk oleh harapan yang hancur sedetik sebelum kau ingin memperjuangkannya
agar menjadi nyata. Hidup adalah tentang pilihan, tapi ketika pada akhirnya aku
berani memilih, ia berubah menjadi sesuatu yang kosong, abu-abu, dan hampa.
Semua membusuk dan yang tersisa hanya ampas yang sia-sia. Aku tidak tahu
haruskah aku membenci keadaan atau membenci diriku sendiri yang tak bisa menerima
apapun. Apapun.
Aku tidak bisa
menerima apapun yang berhubungan dengan kepergianmu.
Aku baru saja hendak memulai memperjuangkanmu tapi kau
memilih melenggang dengan segala keangkuhan yang kubenci setengah mati tapi
juga jatuh bangun kukagumi. Aku benci dia—yang kini mengisi hari-harimu—karena kelihatannya
kau lebih bahagia bersamanya. Kau terlihat lebih nyaman bersamanya dan tak lagi
membutuhkanku di helaan napasmu. Aku benci mengatakannya tapi; tanpaku kau
malah lebih bahagia.
Aku sejujurnya tak terbiasa menulis tentang perasaanku—atau
perihal apapun. Nilaiku di mata bidang Bahasa Indonesia selalu pas di nilai
rata-rata. Tapi, aku sudah kehabisan cara untuk terus memendamnya. Ada berpuluh
sesak yang minta wadah sebagai tempat pelepasan, dan kelihatannya; ini adalah
satu-satunya cara yang tepat.
Jadi lewat surat yang kulayangkan lewat hembusan angin
ini, bairkan aku mengaku pada hujan yang belum habis benar. Atau pada udara
malam yang semakin dingin tak terkendalikan. Biarkan sejenak aku berdamai pada
semesta yang menolak kita. Biarkan barang sejenak dua jenak, aku mengabaikan
segala ketidakmungkinan yang ada.
Biarkan, barang sejenak dua jenak saja. Biarkan aku
mengaku.
Aku mencintaimu.
Dengan semua yang kupikir akan berjalan sesuai dengan
yang kumau—tapi nyatanya tidak. Aku mencintaimu, dengan segala harapan yang
telah hancur lebur ini. Aku mencintaimu, dan karenanya ...
Sudikah
kau kembali dan menjadi temanku lagi?
Komentar
Posting Komentar