Kertas Contekan
Setiap orang tentu punya masa lalu yang tak bisa—atau tak
ingin dilupakan. Entah itu kenangan yang manis, romantis, pedih, perih, atau
bahkan sampai kisah yang selalu menimbulkan tangis jika mengingatnya.
Dan aku punya kenangan itu, entah disebut kenangan yang
manis atau kisah yang menjadi penimbul tangis, aku tak tahu. Yang jelas, setiap
mengingatnya, aku selalu ingin kembali pada masa-masa itu. Walau mungkin
rasanya tak akan sama, aku benar-benar ingin mengulangnya.
Kenangan itu terjadi tepatnya tiga puluh tahun yang lalu,
ketika aku masih berumur belasan dan masih mengenakan celana putih biru. Saat
itu, aku baru saja tumbuh menjadi pria yang akan belajar dewasa. Aku mulai bisa
melihat warna baru dunia dan melihatnya dari sisi yang berbeda.
Saat SMP, aku tumbuh menjadi pria yang benar-benar biasa.
Aku tak begitu tampan, juga tak begitu pintar. Saat ulangan, terutama ulangan
Fisika, aku sering membuat contekan kecil yang kusisipkan di tempat alat tulis
atau di saku celana. Sebenarnya, bukan hanya aku saja yang sering ngepek saat ulangan tiba.Bahkan, banyak
di antara temanku yang skill
menconteknya lebih parah daripada aku.
Kebiasaan mencontek itu berlangsung sampai tahun terakhir
aku bersekolah di SMP. Sampai ada satu hal yang membuatku meninggalkan penuh
kebiasaan buruk itu.
Aku masih ingat saat itu, aku tengah sibuk mencoret-coret
kertas berukuran kecil. Aku mengisi baris kosongnya dengan rangkaian rumus
Fisika—mata pelajaran yang kubenci setengah mati—yang menurut intuisiku akan
keluar pada ulangan siang hari ini. Aku menengok ke arah jam dinding, mata
pelajara Fisika akan dimulai sekitar lima menit lagi, dan aku mempercepat
kinerja jemariku.
“Widih, lagi belajar, nih, yee!” sebuah suara terdengar
riang dari belakangku. Aku menengok dan mendapati Anisa, gadis bertubuh mungil
yang rambutnya selalu dikucir ekor kuda. Anisa, gadis itu satu-satunya wanita
di kelas ini yang mau berteman dekat denganku. Anisa sangat ceria, ramah, dan
juga manis. Sungguh aku tak bohong bahwa Anisa ini adalah gadis yang sangat
mudah dikagumi.
Aku tersenyum, “Iya, dong. Fisika, nih.” Anisa tertawa
mendengar penuturanku. Dia mengambil tempat di kursi sebelahku yang kosong. Aku
kembali pada kesibukanku membuat contekan sementara Anisa memerhatikanku. Dia
berpangku tangan, matanya melihat ke arah kertas kecil yang kini mulai terisi
penuh itu.
“Jangan kebanyakan nyontek,
lah, Lim. Kita udah hampir ujian kelulusan, loh. Masak kamu mau bergantung sama
kertas contekan itu terus?” Ujar Anisa lembut. Ah, suara Anisa memang selalu
terdengar lembut dan merdu, juga selalu berhasil menggetarkan hatiku. Saat itu,
aku tak tahu hal yang membuat hatiku bergetar itu apa namanya, tapi belakangan
aku tahu bahwa hal itu disebut cinta.
Aku menatap mata Anisa, membuatnya merubah posisi
duduknya menjadi bersandar di kursi. “Ulangan harian doang, kok, Nis.”
“Tapi harusnya kamu mulai belajar untuk gak bergantung
pada kertas contekan itu.” Anisa berkata lagi. Tapi kali ini, ada yang berbeda
dari nadanya; terdengar serius dan dewasa.
Aku menghentikan aktivitasku. Kertas kecil yang kini
telah terisi penuh itu kuselipkan di saku celana. Kini, aku serius menatap
Anisa.
“Aku nggak mau kamu nggak lulus, Alim.” Kata Anisa.
“Aku pasti lulus, Nis. Percaya, deh.” Ucapku tak kalah
serius. Aku mengunci tatap mata Anisa dengan tatapanku juga. Ia merapatkan
tubuhnya pada tubuhku. Kemudian, jemari mungilnya menggenggam tanganku. Detak
jantungku memburu, debarnya mulai tak keruan. Aku tak bohong. Ada perasaan aneh
yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku, entah apa namanya.
“Kamu mau janji sama aku?” mata bening Anisa menatapku
lebih dalam lagi dan debar jantungku mulai mengeraskan volumenya lagi. Aku
terpaku, tapi melihatku bergeming seperti itu, Anisa malah mempererat
genggamannya pada tanganku.
“Janji apa?” tanyaku.
“Jangan pernah nyontek
lagi. Janji sama aku,” ujarnya. Aku sedikit tersentak mendengarnya. Tidak kaget
sebetulnya karena Anisa sering mengatakan ini, tapi kali ini aku yakin bahwa ia
benar-benar serius dengan ucapannya.
“Tapi ...” Anisa semakin mempererat genggamannya, seolah
ingin mempermainkan detak jantungku yang semakin tak karuan. Mata beningnya
mempertajam tatapannya pada mataku.
Aku menyerah.
Dan, entah mendapat ilham dari mana, aku menganggukan
kepalaku. Mata Anisa berbinar dan bibir kecilnya melengkung; menciptakan
senyuman manis yang membuatku mabuk kepayang. “Aku janji.”
Saat itu, saat aku mulai berjanji pada Anisa bahwa aku
tak akan mencontek lagi, aku juga menyadari bahwa aku mulai jatuh cinta pada
gadis itu.
---
“Pagi, Anak-anak.” Suara tegas dan berwibawaku menggema
ke seluruh ruangan kelas ini, membuat semua murid-murid yang mengenakan seragam
putih biru itu sontak terdiam. Yang tadinya penuh tawa mendadak sunyi senyap
tanpa suara. Peristiwa yang biasa terjadi saat aku masuk kelas ini. Predikat
guru killer yang melekat kuat padaku
membuat mereka selalu takut jika harus menghadapi kelas mata pelajaranku.
Fisika.
Ya, sekarang umurku 35 tahun, aku bujangan dan aku sudah
bekerja menjadi guru Fisika.
Bujangan? Ya, aku masih bujangan. Satu-satunya alasanku
masih memilih sendiri di usiaku yang sudah sangat cukup untuk berkeluarga ini
adalah, aku masih ingin menikmati karierku sebagai guru. Aku ingin menikmati
hasil dari perjuanganku selama ini. Aku menyelesaikan kuliahku selama tiga
setengah tahun dan mendapat predikat cumlaude.
Aku bangga, sangat bangga pada diriku sendiri, mengingat bahwa saat SMP
kapasitas otakku sangat minimalis. Kebanggaan kuadratku adalah, semua prestasi
yang kudapatkan itu ada di bidang IPA, terutama Fisika.
Walau sesungguhnya kebangganku kurang lengkap mengingat
satu-satunya seseorang yang membuatku seperti ini justru tak bisa menemaniku
sukses sekarang.
Anisa.
Aku tak tahu bagaimana keadaan dan kondisinya sekarang.
Terakhir kali kita bertemu adalah saat kelulusan SMP tiga puluh tahun lalu.
Gadis itu banyak merubahku. Dia membawaku dalam perubahan besar yang positif.
Walau saat itu—ketika pertama kalinya aku berjanji padanya untuk tidak
mencontek—aku mendapat nilai tiga, aku senang karena dengannya aku bisa
membahagiakan Anisa.
Setelah
lulus SMP, Anisa pindah keluar kota dan aku tak punya akses komunikasi
dengannya sama sekali. Aku kehilangan jejaknya, tapi aku tak kehilangan
semangatnya. Aku kehilangan sosoknya, tapi aku tak kehilangan rasa cintaku
terhadapnya. Tapi, satu-satunya hal yang membuatku menyesal adalah, aku tak
pernah sedikitpun berani untuk mengungkapkan perasaanku. Mungkin, cintaku
terlalu dalam hingga yang bisa kulakukan hanya memendam.
Atau,
silakan maki aku; pengecut.
“Bapak
kecewa sama kalian. Nilai Fisika kalian benar-benar hancur. Tidak ada yang
mendapat lebih dari tujuh.” Aku membuka pagi ini dengan kalimat barusan yang
membuat raut wajah seluruh muridku mendadak tegang. “Terutama kamu, Rayya,
nggak biasanya kamu mendapat nilai empat.”
Gadis
yang namanya kusebut itu menundukan kepalanya. Rayya adalah salah satu murid
kebanggaanku. Dia sangat pintar dalam mata pelajaran Fisika dan dia cukup aktif.
Saat ada satu hal yang tak ia mengerti, ia langsung menanyakan padaku. Bagiku,
pertanyaan murid adalah sebuah penghargaan,
karena dari situ aku tahu bahwa murid itu memperhatikanku.
“Bapak
pikir, seharusnya kalian bisa mendapat nilai lebih dari ini mengingat kita
barus saja membahasnya minggu lalu,” kataku lagi. Aku memperhatikan raut wajah
mereka satu persatu. Ada yang kecewa, ada yang sedih, ada yang takut, ada yang
tegang, dan ada juga beberapa yang sedang menahan tangis.
“Baiklah,
Bapak harap kalian bisa memperbaiki nilai kalian di ulangan minggu depan.
Sekarang, buka halaman 72, kita pelajari materi kalor.”
---
Jam
sudah menujukan pukul dua. Semua kelas di sekolah ini sudah dibubarkan sejak
tadi. Beberapa guru pun sudah mulai meninggalkan kantor. Aku masih sibuk
memasukkan nilai para murid ke dalam tabel. Dan ketika selesai, aku segera
bersiap untuk pulang.
Hari
ini, aku pulang naik bis. Mobilku masuk bengkel kemarin karena ada mesinnya
yang soak. Aku berjalan menuju halte yang terletak tepat di seberang sekolah.
Aku
melihat Rayya duduk di halte sendirian sambil membaca buku. Tanpa ragu, aku
segera menghampirinya. “Selamat siang, Rayya.”
Rayya
sedikit terkejut melihatku, tapi ia segera menundukan kepalanya dan tersenyum.
Aku mengambil posisi duduk di sampingnya. “Naik bis, Rayya?”
Gadis
kecil itu menggeleng. Ia menaruh bukunya ke dalam tas, “Saya dijemput Mama,
tapi belum datang dari tadi.” Aku mengangguk mendengar penuturannya.
“Oh,
ya, Rayya, kenapa kamu bisa dapat nilai empat?” Mendengar penuturanku, ia
segera menundukan kepalanya. Rambutnya yang diikat ekor kuda sedikit terjatuh
ke samping kanan kepalanya. Hei, kenapa aku jadi teringat seseorang?
"Saya lupa belajar, Pak.” Katanya dengan nada suara yang terdengar amat menyesal.
Bola matanya yang bening tampak berkaca-kaca, menyadari itu aku segera
menyentuh pundaknya, “Ya sudah, tidak apa-apa. Lain kali belajar—“
“Rayya!”
Aku
dan Rayya sontak menengok ke arah suara dan mendapati seorang wanita baru saja
turun dari mobil di seberang sana, yang kira-kira seumuran denganku tengah
melambai ke arah kami. Rayya balas melambaikan tangannya ke arah wanita itu.
Dan tiba-tiba saja, jantungku berdebar begitu kencang.
“Sudah
lama, Nak?” suara itu. Sama merdunya seperti tiga puluh tahun lalu. Sama
lembutnya seperti tiga puluh tahun lalu. Juga tampaknya, masih ada getaran yang
sama di hatiku.
“Lama,
Ma. Tapi ditemenin sama Pak Guru, kok.”
Anisa.
Aku yakin wanita yang tengah berdiri di samping Rayya itu adalah Anisa. Anisa
yang kucintai sejak tiga puluh tahun lalu. Anisa yang membuatku menghilangkan
kebiasaan mencontekku. Anisa yang suaranya mampu menggetarkan hatiku.
“Terima
kasih, ya, Pak. Maaf merepotkan.” Ia terdengar menyesal. Tapi, aku tak
mempedulikan itu. Yang kupedulikan adalah, debar jantungku yang sudah tak
karuan sejak tadi, dan hatiku yang mulai retak pelan-pelan. Ya, Anisa sudah
melupakanku.
“Ya
sudah, kami permisi dulu, ya, Pak. Terima kasih sudah menemani Rayya. Ayo,
Rayy, salim dulu.” Rayya menyalamiku sambil menyunggingkan senyumnya. Aku tak
berkata banyak, hanya mengangguk dan tersenyum, dan kemudian menatap punggung
Anisa dan Rayya yang mulai menjauhiku, menyeberang menuju mobilnya. Sebelum
melajukan mobil, Anisa menganggukan kepalanya padaku dan tersenyum yang kubalas
dengan tindakan serupa.
Aku
tidak berbuat lebih.
Ah,
ternyata aku masih sepengecut waktu itu.
Hei,
Anisa, apa aku harus membuat kertas contekan agar lulus dalam ujian
melupakanmu?
Komentar
Posting Komentar