Aku Bukan Tidak Bisa Melupakanmu
Selamat malam, Kamen
R-ku.
Aku sudah lama sengaja tidak menyapamu dengan surat resmi
semacam ini. Beberapa yang aku ceritakan adalah tentang hidupku sekarang yang
(berusaha kubuat) baik-baik saja tanpa kehadiran kamu. Selain karena aku tak
ingin kau tahu atau kamu menilaiku tidak tahu malu, aku selama ini bingung
sebenarnya kemana surat-surat itu kutuju. Entah padamu, atau entah pada Tuhan
yang semakin tak terdefinisikan.
Apa kabar?
Beberapa hari yang lalu, pesanmu mampir di ruang obrolan blackberry massenger-ku. Kamu
berbasa-basi sedikit, melemparkan jokes
absurd yang amat-sangat-luar-biasa aku rindukan. Aku tak menampik bahwa aku
senang ternyata aku masih kauingat. Aku senang bahwa nyatanya kamu juga tak
ingin hubungan kita semakin memburuk. Mungkin, kamu agak bertanya-tanya betapa
aku berusaha menghindari kamu sekuat yang aku bisa. Bahkan saat kemarin kita
berbalas pesanpun aku membatasi diri agar tidak menanggapi banyolanmu
berlebihan—seperti dulu. Aku tertawa seperlunya, pun membalas pertanyaanmu
seadanya, tanpa balik bertanya. Bukan apa-apa, bukan juga aku membencimu
seperti yang pernah kita lakukan dulu. Aku hanya sedang meredam semua perasaan
yang akan meledak jika aku terus-terusan berada di hadapanmu, tertawa
bersamamu, atau mengulang semua kedekatan kita ... dulu.
Setahun lebih aku berusaha menerima segalanya. Menganggap
bahwa semua sudah berbeda dan aku tidak perlu mengubahnya kembali seperti
semula. Tidak benar jika dikata aku tidak berusaha melupakanmu, juga salah jika
kaumengira bahwa aku tidak berjalan maju. Aku sama sekali tidak terpaku pada
masa lalu, sungguh. Aku hanya sedang membangun pondasiku kuat-kuat,
mengembalikan agar hatiku menjadi benar-benar utuh. Hingga kelak ketika aku
sudah siap untuk bertemu denganmu, kita bisa kembali bertukar cerita kembali
seperti semula, dan hatiku baik-baik saja.
Aku mengaku bahwa sesekali aku masih tersipu mengingat
perlakuan manismu dulu—yang kata sahabat-sahabatku adalah palsu. Aku tak bisa
menahan hatiku yang menghangat saat aku dalam kondisi begitu merindukanmu. Karenapun,
kamu memiliki andil besar dalam prestasi-prestasi yang kuraih selama setahun
belakangan ini sejak kau pergi. Namamu masih menjadi yang kutulis nomor tiga,
sebagai motivator terbesarku untuk terus melangkah maju setelah ayah dan ibuku.
Untuk beberapa alasan, aku masih merindukanmu.
Tapi, aku paham benar bahwa saat ini, semua tak lagi
sama. Tak ada yang perlu aku ubah, aku hanya perlu menerimanya. Pun kamu. Jadi,
aku berharap kamu bisa paham mengapa aku masih gencar menghindarimu berusaha
melupakanmu selupa-lupanya. Aku tidak membencimu, pun aku sudah tak lagi
mencintaimu. Hanya bagiku, aku butuh waktu untuk diriku sendiri, memperbaiki
diri agar menjadi lebih berarti lagi bagi siapapun. Aku butuh beberapa saat
untuk aku saja—hidup di dunia tanpa tergantung kamu.
Saat ini, aku sudah tidak mencintaimu. Rasa sayang yang
kupupuk benar selama tiga tahun lamanya sudah menguap benar, menghilang benar
seiring waktu yang membawanya berlalu. Aku sudah melupakanmu, percaya padaku. Tak
ada lagi luka dan air mata. Aku tidak membencimu, aku hanya butuh waktu. Sesekali
aku rindu, tapi itu tidak akan mengubah apa-apa.
Aku hanya ingin sendiri lebih lama lagi, sampai hatiku
sembuh benar. Hingga saat aku melihat kamu tersenyum lebar, dadaku tak lagi
berdebar.
Sekian, Kamen R-ku.
Berbaik-baik sajalah, berbahagialah. Aku akan selalu mendoakanmu.
Komentar
Posting Komentar